Sukses

TNI Menyesalkan Pelantikan Panglima GAM Pidie

Pelantikan Panglima GAM dan Gubernur Wilayah Pidie, Aceh, dinilai tak sesuai dengan Perjanjian Damai RI-GAM. TNI akan melaporkan kasus tersebut ke Komite Keamanan Bersama.

Liputan6.com, Jakarta: Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto di Jakarta, Senin (27/1) siang menyatakan, pelantikan Panglima GAM dan Gubernur Wilayah Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, tak sesuai dengan Perjanjian Damai RI-GAM. Lantaran itu TNI akan melaporkan kasus tersebut ke Komite Keamanan Bersama atau Joint Security Committee (JSC). "Waduh, Saya terganggu dong panglima banyak amat, jadi gimana nih," kata Endriartono berkelakar.

Menurut Endriartono, pelantikan Panglima Pidie dinilai positif bila tujuannya untuk mengorganisir tanggung jawab dalam penggudangan senjata. Namun, bila tujuannya untuk persiapan perang, tentu TNI tak akan tinggal diam. Ini berarti, GAM sudah mengambil langkah-langkah yang tidak akomodatif dalam proses perdamaian.

Seperti diberitakan sebelumnya, Panglima GAM Komando Pusat Tiro Tengku Muzakir Manaf melantik Sarjani Abdullah sebagai Panglima dan Tengku Arief selaku Gubernur GAM Wilayah Pidie di Markas Komando Pusat Tiro, Kabupaten Pidie, belum lama berselang. Sarjani menggantikan Abu Razak yang kini dipromosikan sebagai Komandan Operasi Negara. Sedang Tengku Arief menggantikan Abu Khalidin. Pelantikan kedua pejabat teras GAM ini mendapat penjagaan ketat dan dihadiri seluruh petinggi GAM wilayah Pidie [baca: Panglima dan Gubernur GAM Wilayah Pidie Dilantik].

Dalam pidatonya, Tengku Muzakir meminta pejabat baru untuk meningkatkan koordinasi sehingga tak terjadi tumpang tindih dalam melaksanakan tugas. Ia juga mengatakan, Komando Pusat Tiro akan bertindak keras dan memberi sanksi hukum kepada anggota GAM yang melanggar kesepakatan perjanjian penghentian permusuhan antara RI-GAM di Jenewa, Swiss, 9 Desember 2002.

Seusai pelantikan, Muzakir Manaf mengakui selama ini memang mengutip dana dari masyarakat dalam memperjuangkan Aceh Merdeka. Dana tersebut berasal dari kalangan pengusaha, kontraktor, dan masyarakat yang mampu di Aceh. Meski begitu, Muzakir membantah penggalangan dana dari masyarakat itu disebut pemerasan. Menurut dia, dana yang dikutip adalah pajak untuk negara sehingga tak bertentangan dengan kesepakatan Jenewa.(YYT/Tim Liputan 6 SCTV)