Liputan6.com, Jakarta - Tuntutan hukuman mati yang dimohonkan JPU terhadap terdakwa kasus korupsi PT Asabri, Heru Hidayat ditolak Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat. Mantan Komisaris PT Trada Alam Sejahtera itu divonis pidana nihil.
Majelis Hakim berpandangan bahwa vonis hukuman mati yang merujuk pada Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor tidak ada dalam dakwaan. Sementara, sejak semula dakwaan yang dipakai adalah Pasal 2 Ayat 1 dengan hukuman maksimal seumur hidup.
Advertisement
Baca Juga
"Sehingga majelis hakim tidak dapat membuktikan unsur Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, akan tapi majelis hanya membuktikan Pasal 2 Ayat 1," kata Majelis Hakim saat sidang pembacaan putusan, Selasa (18/1/2022).
Terlebih, Majelis Hakim menilai berdasarkan pasal 182 ayat 4 KUHAP bahwa musyawarah harus didasarkan surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti di sidang, karena dakwaan adalah sebagai batasan dan rujukan dalam pembuktian.
"Maka putusan yang dijatuhkan tidak boleh keluar dari dakwan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Surat dakwaan adalah pagar atau batasan yang jelas dalam memeriksa di persidangan bagi pihak-pihak untuk penuntut umum agar tidak melampaui kewenangan," kata majelis
Sementara, dari pertimbangan penuntut umum soal pemakaian Pasal 2 Ayat 2 perihal hukuman mati, dengan alasan keadaan tertentu. Majelis hakim berpandangan jika alasan keadaan tertentu adalah sebagai pemberantan bagi tindak pidana korupsi bila negara dalam keadaan bahaya.
"Sebagaimana undang-undang yang berlaku pada waktu bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi dan pada waktu negara dalam krisis ekonomi dan moneter. Keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan sebagaimana Pasal 2 Ayat 2," jelasnya.
Tidak bisanya kondisi tertentu dijadikan alasan hukuman mati, karena tindakan pidana korupsi yang dilakukan Heru pada Pengelolaan Keuangan dan Dana Investasi PT Asabri berlangsung pada periode tahun 2012-2019. Majelis Hakim berpendapat dalam kondisi itu tidak ada faktor atau alasan keadaan berbahaya.
"Penuntut umum tidak membuktikan kondisi-kondisi tertentu penggunaan dana yang dilakukan terdakwa pada saat melakukan tindak pidana korupsi. Berdasarkan fakta terdakwa melakukan tindak pidana korupsi pada saat situasi negara aman," katanya.
Di sisi lain, Majelis Hakim juga berpendapat jika alasan pengulangan tindak pidana korupsi (Tipikor) Heru yang jadi alasan pemberatan tidak lah terbukti. Karena, telah dijatuhi hukuman seumur hidup dalam perkara tindak Pidana Korupsi PT Asuransi Jiwasraya berdasarkan keputusan PN Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi Jakarta dan Mahkamah Agung.
"Terdakwa telah menjalani sebagian atau baru dalam tipikor Jiwasraya yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut. Tipikor dalam Jiwasraya berbarengan dengan tipikor yang dilakukan terdakwa dalam perkara PT Asabri. Sehingga lebih tepat dikategorikan Concursus Realis atau Merdaadse Samenloop bukan sebagai pengulangan tindak pidana," bebernya.
"Oleh karena itu beralasan hukum untuk mengesampingkan tuntutan mati yang diajukan penuntut umum dalam tuntutannya. Karena tuntutan mati pasal 2 Ayat 2 sifatnya fakultatif artinya pilihan tidak ada keharusan untuk menjatuhkan hukuman mati," tambahnya.
Alasan Dijatuhi Vonis Nihil
Alhasil, Majelis Hakim berpandangan karena vonis yang dijatuhkan dalam perkara Korupsi Jiwasraya sudah hukuman maksimal selama seumur hidup. Maka vonis pada perkara korupsi Asabri harus dikesampingkan dan tidak boleh dijatuhi pidana lainnya.
Kecuali, pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim sebagaimana pasal 67 KUHP. Maka menurut majelis hakim ketentuan tersebut mutlak harus dipedomani.
"Berdasarkan pertimbangan tersebut meski terdakwa dinyatakan terbukti bersalah tapi karena terdakwa telah dijatuhi hukuman seumur hidup dalam perkara Jiwasraya maka pidana yang dijatuhkan dalam perkara a quo adalah nihil," jelasnya.
Adapun untuk Heru, karena sedang menjalani pidana dalam pekara lain dan tidak dilakukan penahanan maka tidak diperlukan perintah penahanan terhadap terdakwa.
Kemudian, dalam pertimbangannya majelis hakim turut mempertimbangkan hal yang memberatkan yakni, perbuatan terdakwa merupakan kejahatan extraordinary crime yang artinya korupsi dapat berdampak pada bangsa dan negara.
Lebih lanjut, perbuatan Heru tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menyebabkan kerugian sebesar Rp 22 triliun.
"Sedangkan penyitaan aset hanya Rp 2 triliun tidak sebanding dengan perbuatan terdakwa. Terdakwa merupakan terpidana kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya," kata Hakim Anggota.
Sementara hal yang meringankan tidak dianggap, meski dalam persidangan terungkap hal-hal yang meringankan. Perbuatan tersebut dianggap tidak sebanding dengan perbuatan terdakwa, sehingga keadaan meringankan patut dikesampingkan.
Reporter: Bachtiarudin Alam
Merdeka.com
Advertisement