Sukses

3 Tanggapan Pakar Hukum hingga Kejagung soal Vonis Nihil Heru Hidayat

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis nihil terhadap Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat.

Liputan6.com, Jakarta - Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis nihil terhadap Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat.

Tak hanya itu, tuntutan hukuman mati yang dimohonkan JPU terhadap terdakwa kasus korupsi Heru Hidayat juga ditolak.

Berbagai tanggapan pro kontra pun bermunculan. Salah satunya Kejaksaan Agung (Kejagung) yang akan mengajukan banding atas putusan nihil Heru Hidayat tersebut.

"Terhadap putusan Majelis Hakim tersebut, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus telah memerintahkan Penuntut Umum untuk segera melakukan upaya perlawanan banding," ujar Kapuspenkum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangannya, Rabu (19/1/2022).

Sementara itu, Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Miko Ginting mengimbau, agar para pihak dan masyarakat menghormati putusan pengadilan yang telah dijatuhkan.

Dia menuturkan, vonis hakim membuat adanya perdebatan hukum terkait apakah seseorang yang sebelumnya telah dijatuhi pidana seumur hidup harus tetap dicantumkan vonis yang sama dalam kasus lainnya.

Berikut sederet tanggapan usai Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis nihil terhadap Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dihimpun Liputan6.com:

 

2 dari 5 halaman

1. Direktur Solusi dan Advokasi Institut

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memutus bersalah Heru Hidayat melakukan tindak pidana korupsi dan TPPU dalam perkara Asabri. Namun, hakim memvonis nihil Heru Hidayat. Alasannya, terdakwa sudah mendapatkan putusan maksimal di kasus Jiwasraya.

Menanggapi hal itu, Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut), Prof Suparji Ahmad menegaskan, putusan tersebut aneh, dilihat dari aspek rasa keadilan masyarakat. Ia juga menyebut, putusan tersebut mencederai nalar hukum.

"Putusan ini jauh dari tuntutan pidana dari penuntut umum dan mencederai nalar hukum. Karena orang yang merugikan negara dengan sangat banyak malah tidak diberi pidana penjara,” terang Suparji, Rabu (19/1/2021).

Pakar Hukum Pidana ini mengakui, putusan hakim memang harus dihormati. Namun patut dikritisi. Salah satu yang perlu dieksaminasi adalah pertimbangan hakim yang berkutat pada tidak dimasukkannya Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dalam surat dakwaan, yang kemudian menjadi dasar tidak diberinya sanksi pidana.

"Hakim terkesan terbelenggu pada konsep keadilan prosedural, namun bukan keadilan substantif yang diharapkan oleh masyarakat luas. Hakim seharusnya progresif untuk menemukan hukumnya bukan menyerah pada sifat prosedural hukum dengan menafikan rasa keadilan masyarakat," terang dia.

"Dapat dibayangkan Heru Hidayat dihukum seumur hidup dalam perkara tipikor Asuransi Jiwasraya dengan kerugian negara yang timbul sebesar Rp16,7 triliun. Akan tetapi tanpa menjatuhkan hukuman pidana kepada Heru Hidayat dalam kasus Asabri padahal kerugian yang timbul lebih besar yaitu Rp22,7 triliun," sambungnya.

Suparji juga menilai, Hakim terkesan tidak melihat akibat yang mungkin terjadi apabila Heru Hidayat menggunakan upaya hukum peninjauan kembali atas putusan perkara Jiwasraya yang untuknya dijatuhi hukuman seumur hidup. Dan putusan peninjauan kembali tersebut, umpamanya memutuskan dengan hukuman pidana penjara 10 tahun atau 15 tahun.

“Itu artinya Pengadilan telah memutuskan 2 perkara Jiwasraya dan Asabri dengan total kerugian keuangan negara sekitar Rp39 triliun dengan hukuman pidana yang teramat ringan yaitu 10 tahun atau 15 tahun,” ulasnya.

Suparji Ahmad mendukung sikap Jaksa Penuntut Umum yang langsung menyatakan, banding dengan tanpa mengurangi penghormatan atas putusan hakim. Upaya Hukum Banding ini, menurut Suparji merupakan, upaya Jaksa Penuntut Umum untuk menegakkan rasa keadilan masyarakat yang terluka dan menegaskan bahwa hukum itu tajam ke atas dan tumpul ke bawah.

"Kita berharap Putusan Banding nantinya Hakim akan progersif dan mengutamakan keadilan substantive untuk mengobati rasa keadilan masyarakat yang terluka atas putrusan tingkat pertama," ujar dia.

Sebab, jika menilik ketentuan pasal 193 ayat 1 KUHAP, apabila hakim menyatakan terdakwa bersalah maka terdakwa dijatuhi pidana. Putusan a quo nyatakan perbuatan terdakwa terbukti mestinya dipidana bukan nihil. Sesuai pasal 240 KUHAP putusan itu keliru sehingga jaksa harus banding.

"Putusan mati sebenarnya itu paling proporsional dan sesuai tuntutan keadilan mengingat perbuatan terdakwa sangat rugikan negara, masyarakat/nasabah dan berulang. Seandainya hakim tidak sependapat dengan tuntutan Jaksa, mestinya hukuman bersyarat lebih memenuhi ketentuan hukum acara dengan tetap jatuhi hukuman. Bersyarat maksudnya, dihukum seumur hidup dengan syarat tidak perlu dijalani apabila putusan sebelumnya (kasus Jiwasraya) tidak ada pengurangan hukuman. Bila ini ditempuh merupakan bentuk progesivitas putusan hakim," tutup dia.

 

3 dari 5 halaman

2. Kejagung

Kejaksaan Agung (Kejagung) akan mengajukan banding atas putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang menjatuhkan vonis nihil terhadap Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat, terdakwa kasus korupsi PT Asabri.

"Terhadap putusan Majelis Hakim tersebut, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus telah memerintahkan Penuntut Umum untuk segera melakukan upaya perlawanan banding," tutur Kapuspenkum Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangannya, Rabu (19/1/2022).

Menurut Leonard, alasan pengajuan banding tersebut antara lain karena putusan Majelis Hakim dinilai tidak berpihak dan telah mengingkari rasa keadilan masyarakat.

Praktik rasuah yang dilakukan Heru Hidayat telah merugikan negara hingga Rp 39,5 triliun, dengan rincian dalam kasus PT Asuransi Jiwasraya sebesar Rp 16,7 triliun dan PT Asabri Rp 22,78 triliun.

"Yang seharusnya bisa dimanfaatkan bagi kepentingan bangsa dan negara, di mana putusan sebelumnya pada PT Asuransi Jiwasraya, terdakwa divonis pidana penjara seumur hidup. Sementara dalam perkara PT Asabri yang menimbulkan kerugian negara yang lebih besar, terdakwa tidak divonis pidana penjara," jelas dia.

Lebih lanjut, jika Heru Hidayat dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan mendapatkan potongan hukuman, maka terdakwa bisa menerima hukuman yang sangat ringan dan putusan tersebut melukai hati masyarakat Indonesia.

"Bahwa pertimbangan hakim dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 16,7 triliun dihukum seumur hidup sedangkan dalam perkara PT Asabri yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 22,78 triliun tidak dihukum, artinya Majelis Hakim tidak konsisten dalam pertimbangan hakim terhadap terdakwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi namun tidak diikuti dengan menjatuhkan pidana penjara," kata Leonard menandaskan.

 

4 dari 5 halaman

3. Komisi Yudisial

Putusan majelis hakim terhadap Heru Hidayat menuai polemik. Heru divonis nihil dalam kasus Asabri oleh hakim sebab yang bersangkutan telah dijatuhi hukuman seumur hidup dalam kasus lain yaitu Jiwasraya.

Menanggapi hal itu, Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Miko Ginting mengimbau, agar para pihak dan masyarakat menghormati putusan pengadilan yang telah dijatuhkan.

"Menghormati putusan dalam arti, apabila dirasa tidak puas dengan substansi dari putusan tersebut, maka jalur yang tersedia adalah upaya hukum," kata Miko dalam keterangan tertulis diterima, Rabu (19/1/2022).

Dia menuturkan, vonis hakim membuat adanya perdebatan hukum terkait apakah seseorang yang sebelumnya telah dijatuhi pidana seumur hidup harus tetap dicantumkan vonis yang sama dalam kasus lainnya. Sebab, hukuman seumur hidup adalah hukuman terberat, kecuali terdapat hukuman yang lebih berat lagi seperti hukuman mati.

"Satu sisi, KUHAP menyatakan suatu putusan harus memuat pemidanaan jika terdakwa dinyatakan bersalah. Tapi sisi lain, jika dicantumkan akan ada dua pemidanaan seumur hidup dari dua putusan berbeda. Saya kira ini area para pakar dan pengamat hukum pidana untuk memberikan pendapat," urai Miko.

Meski demikian, dia memastikan KY akan terbuka bila ada dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam memeriksa dan memutus perkara terkait.

"Komisi Yudisial akan mempelajari lebih lanjut putusan yang dimaksud beserta hal-hal lain yang muncul dalam pemeriksaan di persidangan," kata Miko.

5 dari 5 halaman

Kasus Jiwasraya dan Asabri