Sukses

Aturan Presidential Threshold Kembali Digugat ke MK, Ini Alasannya

Pemohon menilai Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) membatasi jumlah calon presiden yang maju dalam Pemilu 2024.

Liputan6.com, Jakarta Menjelang Pemilihan Umum 2024 mendatang, permohonan uji materiil aturan mengenai ambang batas pencalonan presiden banyak berdatangan ke Mahkamah Konstitusi. Kali ini, Ikhwan Masyur Situmeang yang berprofesi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) menguji Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) yang dinilai membatasi jumlah calon presiden yang maju dalam Pemilu 2024.

Dalam permohonan yang diregistrasi dengan Nomor 7/PUU-XX/2022, Pemohon mendalilkan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

Pasal 222 UU Pemilu berbunyi: Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Menurut Pemohon, Pasal 222 UU Pemilu tidak memiliki konsistensi dengan Pasal 6A UUD 1945 karena dalam Pasal 6A UUD 1945 tidak disebutkan nominal persen ambang batas pencalonan presiden.

"Dalam Pasal 222 memberlakukan presidential threshold sebagai ambang batas yang justru membatasi jumlah calon presiden. Maka struktur Pasal 222 tidak memiliki kekonsistensian dengan Pasal 6A UUD 1945. Dalam Pasal 6A UUD 1945, tanpa angka persen. Terbuka bagi partai politik," ujarnya dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Daniel Yusmic P. Foekh tersebut.

Dalam permohonannya, Pemohon juga mendalilkan Pasal 222 UU Pemilu justru berdampak pada tiadanya kesempatan masyarakat untuk menilai calon-calon pemimpin bangsa yang dihasilkan dari partai politik peserta pemilu nantinya. Menurut Pemohon pula, ketentuan ambang batas tersebut dapat mempengaruhi masa depan demokrasi dan membiarkan ketentuan tersebut berarti membiarkan diri tercengkeram politik oligarki.

Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu. Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.

Terhadap permohonan ini, Ketua MK Anwar Usman memberikan catatan nasihat terhadap permohonan yang diajukan Pemohon. Pada permohonan yang diajukan pada perkara ini, Anwar melihat kesamaan alasan permohonan dengan permohonan yang telah diajukan dan diputus oleh Mahkamah pada sidang sebelumnya.

 

2 dari 2 halaman

Diminta Memperbaiki Permohonan

Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief terhadap perkara ini mempertanyakan identitas Pemohon yang pada KTP berstatus karyawan swasta, sedangkan pada permohonan berstatus ASN di Sekretariat Jenderal DPD RI. Selanjutnya, Arief menyebutkan beberapa perkara serupa yang telah diputus oleh MK, terutama terhadap kedudukan hukum perseorangan warga negara yang dapat menggeser pendapat Mahklamah.

Sebab pada perkara sebelumnya, MK memutuskan yang berhak mengajukan permohonan adalah partai politik, bukan perseorangan warga negara. Untuk itu, Pemohon diharapkan dapat menjelaskan kedudukannya dalam perkara ini berpengaruh bagi ketentuan norma yang diujikan sehingga Mahkamah dapat mengubah pendapatnya terhadap permasalahan yang diajukan dengan alasan yang kuat.

"Fungsi Mahkamah menjadikan UUD 1945 sebagai living constitution sehingga Pemohon diharapkan dapat meyakinkan Mahkamah dengan menjelaskan berbagai aspek yang komprehensif agar MK dapat kemudian mengubah pendiriannya terhadap hal ini," jelas Arief.

Pemohon diberikan waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonan. Selambatnya perbaikan permohonan diterima Kepaniteraan MK pada Senin, 7 Februari 2021.

Â