Liputan6.com, Jakarta Indonesia dan Singapura mencatatkan sejarah melalui penandatanganan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa 25 Januari 2022.
Perjanjian ini akhirnya ditandatangani setelah mulai diupayakan pemerintah Indonesia sejak 1998.
Advertisement
Baca Juga
Adapun jenis-jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi menurut perjanjian ekstradisi ini berjumlah 31 jenis di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.
Terkait kasus korupsi, ada sejumlah koruptor yang diduga masih dan sempat kabur ke Singapura. Dihimpun Liputan6.com, Rabu (26/1/2022), yakni:
1. Paulus Tanos
Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tanos merupakan tersangka kasus megakorupsi e-KTP yang tinggal di Singapura. Paulus Tanos diduga turut terlibat dalam bancakan proyek senilai Rp 5,9 triliun. Dalam perkara ini negara merugi Rp 2,3 triliun.
Paulus Tanos dijadikan tersangka oleh KPK pada Agustus 2019. Lantaran Tanos tinggal di Singapura, KPK sempat kesulitan dalam memeriksa Tanos. Hal tersebut sempat diungkap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
"KPK beberapa kali sudah mengirimkan surat panggilan kepada yang bersangkutan, saya tidak tahu apakah sudah ada balasan nanti akan kita periksa," ujar Alex di Gedung KPK, dikutip Jumat 1 Oktober 2021.
Alex mengatakan pihaknya juga sudah meminta bantuan Biro Investigasi Praktik Korupsi (CPIB) Singapura untuk memeriksa Tanos. Alex mengatakan siap memeriksa Tannos di Singapura jika berkenan. Hanya saja Tanos belum merespon terkait surat pemberitahuan pemeriksaan penyidik KPK.
"Kalau dia maunya diperiksa di CPIB-nya, tentu kita ke sana," ujar Alex.
Selain Tanos, kasus BLBI masih menjadi sorotan meskipun KPK sudah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Namun, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menyebut, perjanjian ekstradiksi tersebut siap untuk mengimplementasikan Keputusan Presiden terkait Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI.
Berikut daftarnya:
1. Bambang Sutrisno
Bambang adalah mantan Komisaris Bank Surya yang telah divonis penjara seumur hidup oleh PN Jakarta Pusat pada Desember 2003. Bambang terbukti bersalah dalam kasus penyelewengan dana BLBI yang disinyalir merugikan keuangan negara Rp 1,5 triliun.
Vonis dibacakan dengan in absentia, alias tanpa kehadiran terdakwa lantaran Bambang masih menjadi buronan sejak 2002. Hingga kini Bambang masih menghirup udara bebas. Namun diduga Bambang berada di Singapura.
2. Sjamsul Nursalim dan istri, Itjih Nursalim dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) oleh KPK sejak September 2019. Keduanya menjadi buron dalam kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).
Perkara ini diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun.
Sjamsul dan Itjih yang merupakan pemegang saham pengendali BDNI ini dijadikan tersangka dalam kasus ini pada Juli 2019. Setelah dua kali pemanggilan namun tak kunjung hadir, KPK menetapkan keduanya sebagai buronan.
Surat pemanggilan pemeriksaan sebagai tersangka kepada mereka telah dikirim KPK ke lima alamat berbeda di Indonesia dan Singapura. KPK juga sempat meminta bantuan CPIB Singapura dalam upaya pemanggilan terhadap mereka.
Namun pada akhirnya KPK era Firli Bahuri mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap Sjamsul dan Itjih.
Â
Daftar Buronan yang Pernah di Singapura
Berikut daftar buronan korupsi yang pernah atau sempat berada di Singapura:
1. Muhammad Nazaruddin
Muhammad Nazaruddin dijerat sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet. Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka pada Juni 2011.
Namun, sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Nazaruddin sudah kabur ke Singapura. Nazaruddin kabur satu hari sebelum KPK melayangkan surat pencegahan ke luar negeri atas nama Nazaruddin ke pihak Imigrasi. Nazaruddin kabur ke Singapura pada 23 Mei 2011.
Namun kemudian Nazaruddin ditangkap di Cartagena de Indias, Kolombia pada 7 Agustus 2011. Nazaruddin diketahui menggunakan paspor sepupunya, Syarifuddin, untuk berpergian ke luar Indonesia setelah paspornya telah dicabut oleh Imigrasi.
Nazaruddin kemudian divonis 7 tahun penjara oleh MA dalam perkara korupsi Wisma Atlet. Nazaruddin juga divonis 6 tahun penjara dalam kasus gratifikasi dan pencucian uang.
2. Djoko Soegiarto Tjandra
Djoko Tjandra merupakan buronan dalam kasus korupsi hak tagih Bank Bali yang kabur dan menetap di Singapura. Djoko Tjandra dijerat sebagai tersangka sejak tahun 1999. Namun dalam beberapa kali persidangan perbuatan Djoko Tjandra dinyatakan bukan pidana, melainkan perdata.
Kemudian pada Oktober 2008, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengajukan peninjauan kembali (PK) atas pembebasan Djoko Tjandra. Sehari sebelum putusan, Djoko Tjandra terbang ke Papua Nugini pada 11 Juni 2009. Dalam PK, Djoko Tjandra divonis 2 tahun penjara oleh MA.
Setelah sekian lama kabur, akhirnya Djoko Tjandra kembali ke Indonesia untuk mengajukan PK atas vonis 2 tahunnya dan penghapusan red notice. Namun dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 7 Juli 2020, Djoko Tjandra tak muncul.
Pengacaranya, Anita Kolopaking menyebut Djoko Tjandra berada di Malaysia. Pada 30 Juli 2020, Djoko Tjandra ditangkap di Malaysia dan kemudian diadili dalam kasus suap terhadap Jaksa Pinangki Sirna Malasari, dan dua jenderal polisi. Dalam ruang sidang, Djoko mengungkap jika selama masa menjadi buronan, dirinya berada di Singapura, China, Australia, dan Malaysia.
3. Nunun Nurbaeti
Nunun adalah istri dari mantan Wakapolri Adang Daradjatun. Dia dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus suap pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia Miranda Gultom pada 23 Mei 2011.
Selama proses persidangan dalam kasus ini, Nunun tak pernah hadir sebagai saksi. Nunun beralasan sakit, sampai akhirnya bertolak ke Singapura dengan dalih berobat.
Setelah menghilang dan menjadi buronan, Nunun akhirnya ditangkap Kepolisian Thailand di sebuah rumah di Bangkok pada Rabu, 7 Desember 2011. Penangkapan berlangsung usai otoritas keamanan negara melakukan pencarian berdasarkan foto-foto dan berkas dari KPK.
Kepolisian Thailand lantas meneruskan informasi penangkapan itu kepada Mabes Polri dan KPK. Tim dari KPK langsung berangkat ke Thailand pada Kamis, 8 Desember 2011 malam.
Nunun akhirnya divonis 2 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor pada Mei 2012.
4. Maria Pauline Lumowa
Maria Pauline Lumowa merupakan buronan kasus pembobolan kas BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif. Pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro atau sama dengan Rp 1,7 triliun dengan kurs saat itu kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.
Aksi PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari 'orang dalam' karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI.
Pada Juni 2003, pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor.
Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, namun Maria Pauline Lumowa sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 alias sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri.
Selama buron, Maria sempat bolak balik Singapura-Belanda. Maria diketahui sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979. Pemerintah Indonesia juga sempat meminta Kerajaan Belanda untuk mengektradisi Maria namun ditolak.
Maria akhirnya ditangkap di Serbia oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla Serbia pada 16 Juli 2019. Penangkapan berdasarkan red notice yang diterbitkan Interpol pada 22 Desember 2003.
Menkumham Yasonna akhirnya membawa Pauline ke Indonesia pada 9 Juli 2020. Yasonna menyebut, jika Maria tidak segera dibawa ke Indonesia, maka pada 16 Juli 2020 mendatang, pemerintah Serbia harus melepas Maria dari tahanan.
5. Eddy Sindoro
Eddy merupakan tersangka dalam kasus suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution. Eddy sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Desember 2016. Eddy dijerat terkait penyuapan dalam pengurusan sejumlah perkara hukum beberapa perusahaan di bawah Lippo Group, yang ditangani di PN Jakarta Pusat.
Selama dua tahun menjadi tersangka, Eddy tak pernah memenuhi panggilan pemeriksaan. Alhasil, KPK mengirimkan surat pencegahan ke luar negeri atas nama Eddy Sindoro kepada pihak Imigrasi pada 28 April 2016. Pihak Imigrasian menyatakan, Eddy memang sempat berada di Singapura.
Dalam mencari Eddy, KPK sempat meminta bantuan berbagai pihak, salah satunya Interpol. Eddy juga sempat dideportasi Malaysia ke Indonesia. Namun Eddy dibantu pengacara Lucas mampu kembali memberangkatkan Eddy ke luar negeri.
Lucas mencegah Eddy masuk kembali ke yurisdiksi Indonesia. Namun pada akhirnya Eddy menyerahkan diri pada oktober 2018. Eddy divonis 4 tahun penjara dalam perkara ini.
6. Gayus Tambunan
Gayus dijerat dalam kasus mafia pajak. Nama Gayus mulai dikenal ketika Komjen (Pol) Susno Duadji menyebutkan bahwa Gayus menyimpan uang Rp 25 miliar di rekening banknya, plus uang asing senilai Rp 60 miliar dan perhiasan senilai Rp 14 miliar di brankas bank atas nama istrinya.
Gayus sempat melarikan diri ke Singapura beserta anak istrinya sebelum dijemput kembali oleh Satgas Mafia Hukum di Singapura. Kasus Gayus mencoreng proses reformasi perpajakan di Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang saat itu gencar digulirkan Sri Mulyani dan sekaligus menghancurkan citra aparat perpajakan Indonesia.
Pada 19 Januari 2011 untuk pertama kalinya Gayus Tambunan menerima vonis. Hukuman pertamanya adalah vonis 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta atau subsider 3 bulan kurungan.
Gayus juga divonis dalam beberapa kasus pajak lainnya hingga membuatnya harus menjalani hukuman selama 29 tahun.
Advertisement