Sukses

Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura, Ngabalin: Jangan Coba-Coba Korupsi

Ali Mochtar Ngabalin mengatakan, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ini merupakan warisan yang ditinggalkan Presiden Jokowi di sisa masa pemerintahannya.

Liputan6.com, Jakarta - Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin mengatakan, ditandatanganinya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura merupakan bukti komitmen Presiden Joko Widodo atau Jokowi terhadap pemberantasan korupsi.

Dengan adanya perjanjian ini, Ngabalin mengingatkan semua pihak untuk tidak mencoba-coba melakukan korupsi.

"Perjanjian ekstradisi yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan PM Singapura adalah bukti nyata komitmen (Presiden) Jokowi terhadap semua orang yang melakukan kejahatan, kejahatan pencucian uang, kejahatan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi)," jelas Ali Mochtar Ngabalin kepada wartawan, Rabu (26/1/2022).

"Dan jangan coba-coba ada lagi yang mau main-main dengan melakukan Tipikor di negeri ini," sambung dia.

Menurut dia, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ini merupakan warisan yang ditinggalkan Presiden Jokowi di sisa masa pemerintahannya. Terlebih, perjanjian ekstradisi ini akhirnya berhasil disepakati setelah melewati perjalanan panjang selama 24 tahun.

"Jadi perjanjian kerja sama itu adalah bukti nyata legacy yang ditinggalkan oleh Presiden Jokowi," kata dia.

2 dari 2 halaman

Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura Ditandatangani

Pemerintah Indonesia dan Singapura akhirnya menandatangani perjanjian ekstradisi, yang sejak 1998 telah diupayakan. Perjanjian ekstradisi ini bertujuan mencegah dan memberantas tindak pidana yang bersifat lintas negara seperti korupsi, narkotika, dan terorisme.

"Untuk Perjanjian Ekstradisi, dalam perjanjian yang baru ini, masa retroaktif diperpanjang dari semula 15 tahun menjadi 18 tahun sesuai dengan Pasal 78 KUHP," jelas Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat menyampaikan keterangan pers usai perjanjian diteken di Bintan Kepulauan Riau, Selasa 25 Januari 2022.

Perjanjian ekstradisi ini menyepakati bahwa penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan. Hal ini untuk mencegah privilege yang dapat timbul akibat pergantian kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana guna menghindari proses hukum terhadap dirinya.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menjelaskan jenis-jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi menurut perjanjian ekstradisi ini berjumlah 31 jenis. Mulai dari, tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.

Dengan ditekennya perjanjian ekstradisi dengan Singapura, Yasonna meyakini perjanjian ekstradisi ini akan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana di Indonesia dalam melarikan diri. Dia menuturkan perjanjian ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura.

"Dengan perjanjian ekstradisi ini, maka koruptor hingga bandar narkoba tak lagi bisa bersembunyi di Singapura," ujar Yasonna dikutip dari siaran persnya, Selasa.

Â