Liputan6.com, Jakarta - Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura akhirnya terwujud pada Selasa 25 Januari 2022 di Bintan, Kepulauan Riau antara Indonesia dan Singapura.
Adapun perjanjian ini akhirnya ditandatangani setelah mulai diupayakan pemerintah Indonesia sejak 1998.
"Setelah melalui proses yang sangat panjang akhirnya perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ini dapat dilaksanakan," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dalam keterangannya.
Advertisement
Baca Juga
Yasonna menjelaskan, perjanjian ekstradisi antara pemerintah Indonesia dengan Singapura dilakukan untuk mencegah praktik korupsi lintas batas negara.
Selain itu disepakati pula dalam perjanjian, penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan.
Berikut sederet fakta terkait Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura yang akhirnya terwujud dihimpun Liputan6.com:
1. Terwujud setelah 24 Tahun Diupayakan
Indonesia dan Singapura mencatatkan sejarah melalui penandatanganan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa 25 Januari 2022.
Adapun perjanjian ini akhirnya ditandatangani setelah mulai diupayakan pemerintah Indonesia sejak 1998.
"Setelah melalui proses yang sangat panjang akhirnya perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ini dapat dilaksanakan," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dalam keterangannya.
Advertisement
2. Perjanjian Telah Dirintis Sejak 1972
Dikutip dari berbagai sumber, perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura telah dirintis oleh Indonesia sejak 1972. Namun, pembahasannya baru dimulai pada tahun 2004.
Pemerintah Indonesia sendiri mulai mengupayakan perjanjian ini ditandatangani sejak tahun 1998, baik dalam pertemuan bilateral maupun regional dengan Singapura. Presiden RI sebelumnya juga telah mengupayakan agar perjanjian ekstradisi tersebut segera tercapai.
Mengutip Antara, Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri bertemu dengan Perdana Menteri Singapura Goh Chok Thong di Istana Kepresidenan Bogor Jawa Barat pada 16 Desember 2002. Saat itu, keduanya melakukan pertemuan bilateral.
Pertemuan itu membahas hal terkait pengembangan kerja sama kedua negara di segala bidang. Salah satu hasil pertemuan yakni, tercapainya kesepakatan bahwa Indonesia dan Singapura akan menyusun rencana aksi pembentukan perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura.
Kemudian, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menggelar pertemuan di Istana Tampaksiring Bali, pada 27 April 2007.
Kedua pemimpin negara itu menyaksikan penandatanganan perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Hasan Wirajuda dan Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo.
Perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura yang ditandatangani pada 2007 tersebut tidak dapat diberlakukan oleh kedua negara. Hal ini dikarenakan pemerintah Indonesia dan Singapura belum meratifikasi perjanjian tersebut.
Selanjutnya, digelar Leaders' Retreat Indonesia dan Singapura pada 8 Oktober 2019 untuk membahas kembali tentang persetujuan penyesuaian batas wilayah informasi penerbangan Indonesia dan Singapura (Realignment Flight Information Region/FIR) dan perjanjian kerja sama keamanan.
Menindaklanjuti hasil Leaders' Retreat 2019, Menteri Hukum dan Keamanan RI mengusulkan agar perjanjian ekstradisi yang sejak awal diparalelkan dengan perjanjian kerja sama keamanan kembali dibahas.
3. Perjanjian Ekstradisi Resmi Ditandatangani
Setelah melakukan korespondensi, konsultasi dan perundingan pada 22 Oktober 2021, pemerintah Singapura menerima usulan Indonesia. Keinginan lama Indonesia pun akhirnya terwujud, meski membutuhkan waktu yang panjang dan lama.
Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong tiba di Pelabuhan Bandar Bentan Telani Kabupaten Bintan pukul 09.37, Selasa 25 Januari 2022. Dia lalu bertemu Presiden Joko Widodo atau Jokowi di The Shancaya Resort Bintan untuk melakukan pertemuan bilateral.
Pertemuan Jokowi dan PM Lee itu pun mencapai sejumlah kesepakatan di bidang politik, hukum, dan keamanan antara Indonesia dengan Singapura. Salah satunya, Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Singapura.
"Untuk Perjanjian Ekstradisi, dalam perjanjian yang baru ini, masa retroaktif diperpanjang dari semula 15 tahun menjadi 18 tahun sesuai dengan Pasal 78 KUHP," ujar Jokowi saat menyampaikan pernyataan pers bersama PM Singapura.
Advertisement
4. Isi Perjanjian
Perjanjian ektradisi ini bertujuan mencegah dan memberantas tindak pidana yang bersifat lintas negara seperti korupsi, narkotika, dan terorisme.
"Untuk perjanjian ekstradisi, dalam perjanjian yang baru ini, masa retroaktif diperpanjang dari semula 15 tahun menjadi 18 tahun sesuai dengan Pasal 78 KUHP," ujar Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat menyampaikan keterangan pers usai perjanjian diteken di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa 25 Januari 2022.
Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura ini menyepakati bahwa penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan.
Hal tersebut untuk mencegah privilege yang dapat timbul akibat pergantian kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana guna menghindari proses hukum terhadap dirinya.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menjelaskan, jenis-jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi menurut perjanjian ekstradisi ini berjumlah 31 jenis. Mulai dari, tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.
"Indonesia juga berhasil meyakinkan Singapura untuk menyepakati perjanjian ekstradisi yang bersifat progresif, fleksibel, dan antisipatif terhadap perkembangan, bentuk, dan modus tindak pidana saat ini dan di masa depan," kata Yasonna.
Melalui perjanjian ini, Indonesia dan Singapura sepakat melakukan ekstradisi bagi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah negara diminta dan dicari oleh negara peminta. Hal ini termasuk untuk penuntutan atau persidangan atau pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat diekstradisi.
Hingga kini, Indonesia telah memiliki perjanjian dengan Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Australia, Republik Korea, Republik Rakyat Tiongkok, dan Hong Kong SAR.
Dengan ditekennya perjanjian ekstradisi dengan Singapura, Yasonna meyakini perjanjian ekstradisi ini akan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana di Indonesia dalam melarikan diri.
"Dengan perjanjian ektradisi ini, maka koruptor hingga bandar narkoba tak lagi bisa bersembunyi di Singapura," ujarnya.
"Perjanjian Ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar (deterrence) bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura," sambung Yasonna.
(Taufik Akbar Harefa)