Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua Fraksi PKS di DPR Sukamta mengapresiasi adanya perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura.
Ia menilai hal tersebut adalah kemajuan untuk penanganan hukum di tanah air.
Advertisement
Baca Juga
"Selain kesepakatan perjanjian ekstradisi juga disepakati penyerahan zona pengawasan udara bagi penerbangan komersil di sebagian wilayah Riau dan Natuna yang selama puluhan tahun dikelola Singapura kepada Indonesia. Saya kira ini sebuah kemajuan," kata Sukamta dalam keterangannya, Rabu (26/1/2022).
Namun, terkait adanya wacana menggelar latihan tempur di perairan Indonesia, ia mengingatkan bahwa hal itu harus dikaji ulang.
"Tentu ini perlu dicermati terkait potensi ancaman terhadap kedaulatan Indonesia. Perlu dikaji dari sisi geostrategi dan geopolitik, mengingat kawasan Laut Cina Selatan yang terus memanas. Jangan sampai Indonesia terjebak pada kutub konflik yang sedang berlangsung," kata Sukamta.
Selain itu, dia menyinggung soal RUU Perjanjian Ekstradisi pada masa SBY, di mana DPR saat itu menolak paket kerja sama pertahanan.
"Apakah yang saat ini DPR akan menolak atau menyetujui ratifikasi perjanjian ekstradisi, tentu konstelasi politiknya berbeda dengan dulu," lanjutnya.
Meski saat ini hampir semua usulan pemerintah dikabulkan DPR, Sukamta memastikan kasus ekstradisi ini DPR akan benar-benar cermat.
"Saat ini hampir semua RUU usulan pemerintah diamini dan disetujui DPR. Namun demikian tentu pencermatan atas pasal-pasal perjanjian penting untuk dilakukan, guna memastikan keuntungan bagi Indonesia dan tetap prioritaskan keamanan kedaulatan wilayah Indonesia," pungkas dia.
Perjanjian Ekstradisi
Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menyepakati sejumlah kesepakatan saat melakukan pertemuan bilateral dengan PM Singapura Lee Hsien Loong di Bintan, Selasa 25 Januari 2022.
Bahkan, salah satunya menjadi sejarah melalui penandatanganan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura, setelah mulai diupayakan pemerintah Indonesia sejak 1998.
Adapun jenis-jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi menurut perjanjian ekstradisi ini berjumlah 31 jenis di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan, perjanjian ekstradisi ini memiliki masa retroaktif atau berlaku surut terhitung tanggal diundangkannya selama 18 tahun ke belakang. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan maksimal daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia.
"Perjanjian ekstradisi ini memungkinkan kedua negara melakukan ekstradisi terhadap pelaku tindak pidana yang meskipun jenis tindak pidananya tidak lugas disebutkan dalam perjanjian ini namun telah diatur dalam sistem hukum kedua negara," kata dia.
Advertisement