Liputan6.com, Jakarta Penandatanganan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura membuat Kejaksaan Agung (Kejagung) langsung bergerak mengumpulkan data-data Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buron hingga menyisir aset-aset kasus korupsi, seperti Asabri dan Jiwasraya.
Direktur Upaya Hukum Eksekusi dan Eksaminasi (Uheksi) pada Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Andi Herman memyampaikan, pihaknya tentu mengapresiasi perjanjian ekstradisi tersebut.
"Tentu ini dengan adanya perjanjian ekstradisi nih, akan mmberikan kemudahan lah. Baik dari terpidana mau pun dalam hal penyelesaian aset ya. Kita tahu ada beberapa aset yang penanganan perkaranya diduga disimpan di Singapura. Tentu ini jadi bagian yang dikoordinasikan. Termasuk yang sudah kita koordinasikan di dalam penanganan perkara Asabri," tutur Andi di Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (26/1/2022) malam.
Advertisement
Andi menyatakan, pihaknya akan menelusuri semua aset para pelaku tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri. Terlebih, memang diketahui beberapa terdeteksi berada di Singapura.
"Jiwasraya, yang sudah kita koordinasikan dengan Singapura. Hanya memang proses-proses hukumnya di Singapura tentu berbeda dengan proses acaranya di kita. Sehingga kita mengikuti hukum acara yang ada di Singapura. Sementara kita pantau juga perkembangannya," kata Andi.
Pemerintah Indonesia dan Singapura akhirnya menandatangani perjanjian ekstradisi, yang sejak 1998 telah diupayakan. Perjanjian ektradisi ini bertujuan mencegah dan memberantas tindak pidana yang bersifat lintas negara seperti korupsi, narkotika, dan terorisme.
"Untuk perjanjian ekstradisi, dalam perjanjian yang baru ini, masa retroaktif diperpanjang dari semula 15 tahun menjadi 18 tahun sesuai dengan Pasal 78 KUHP," jelas Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat menyampaikan keterangan pers usai perjanjian diteken di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa 25 Januari 2022.
Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura ini menyepakati bahwa penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan. Hal ini untuk mencegah privilege yang dapat timbul akibat pergantian kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana guna menghindari proses hukum terhadap dirinya.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menjelaskan, jenis-jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi menurut perjanjian ekstradisi ini berjumlah 31 jenis. Mulai dari, tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.
"Indonesia juga berhasil meyakinkan Singapura untuk menyepakati perjanjian ekstradisi yang bersifat progresif, fleksibel, dan antisipatif terhadap perkembangan, bentuk, dan modus tindak pidana saat ini dan di masa depan," kata Yasonna.
Â
Menciptakan Efek Gentar
Melalui perjanjian ini, Indonesia dan Singapura sepakat melakukan ekstradisi bagi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah negara diminta dan dicari oleh negara peminta. Hal ini termasuk untuk penuntutan atau persidangan atau pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat diekstradisi.
Hingga kini, Indonesia telah memiliki perjanjian dengan Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Australia, Republik Korea, Republik Rakyat Tiongkok, dan Hong Kong SAR.
Dengan ditekennya perjanjian ekstradisi dengan Singapura, Yasonna meyakini perjanjian ekstradisi ini akan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana di Indonesia dalam melarikan diri.
"Dengan perjanjian ektradisi ini, maka koruptor hingga bandar narkoba tak lagi bisa bersembunyi di Singapura," ujarnya.
"Perjanjian Ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar (deterrence) bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura," sambung Yasonna.
Advertisement