Liputan6.com, Jakarta Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan, penegakan hukum bukanlah hanya sekadar memenuhi nilai kepastian dan keadilan. Tapi juga kemanfaatan dari penerapan hukum itu sendiri demi mencapai keadilan yang sebenarnya.
"Penegakan hukum harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, karena hukum ada untuk menjawab kebutuhan masyarakat, sehingga apabila penegakan hukum dipandang tidak memberikan kemanfaatan bagi masyarakat, maka itu sama dengan hukum telah kehilangan rohnya," tutur Burhanuddin dalam keterangan tertulisnya, Kamis (27/1/2022).
Baca Juga
Sejalan dengan itu, lanjut dia, penerapan keadilan restoratif atau restorative justice (RJ) sebagai salah satu alternatif penyelesaian hukum telah banyak menuai respon yang sangat positif.
Advertisement
"Oleh karena itu, dengan pertimbangan kemanfaatan bagi masyarakat, ruang lingkup dan cakupan RJ dirasa perlu diperluas, sehingga kemanfaatan penegakan hukum yang berhati nurani dapat dirasakan oleh masyarakat dalam lingkup yang lebih luas lagi," jelas Burhanuddin.
Dia menyinggung salah satu contoh penegakan hukum yang dinilai tidak mampu menyerap rasa keadilan di masyarakat, yakni kasus KDRT di Kejaksaan Negeri Karawang. Di mana tuntutan jaksa nampak sekali telah mengabaikan rasa keadilan dan kemanfaatan, sehingga menimbulkan kegaduhan.
"Oleh karenanya saya minta kepada Kajati dan Kajari untuk mencermati rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat. Salah satu tolak ukur terpenuhinya rasa keadilan adalah ketika penegakan hukum yang dilakukan diterima dan dirasa manfaatnya oleh masyarakat," kata Burhanuddin.
Â
Tak Semua Bisa Diselesaikan dengan Restorative Justice
Meski begitu, Burhanuddin mengingatkan jajaran kejaksaan tetap perlu menyosialisasikan kepada masyarakat bahwa tidak semua perkara dapat diselesaikan dengan mekanisme restorative justice. Penegakan hukum tentu harus berjalan objektif dan profesional, meskipun mendapat tekanan publik.
"Apabila terdapat perkara yang menarik perhatian masyarakat dan berpotensi menimbulkan kegaduhan, segera ambil langkah taktis secara cepat dengan mengedukasi dan menjelaskan duduk perkara melalui media massa, sehingga masyarakat mengerti dan mendukung langkah Kejaksaan menuntaskan perkara tersebut di pengadilan," ujar Burhanuddin.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung, Fadil Zumhana menambahkan, Jaksa Agung telah memerintahkan jajaran untuk mengedepankan keadilan restoratif dan membentuk Kampung Restorative Justice. Dengan begitu, jaksa dituntut untuk mengasah kearifan lokal setiap daerah demi mewujudkan keadilan di tengah masyarakat setempat.
"Jaksa harus bisa mengasah kearifan lokal dalam hal memberikan keadilan restoratif pada suatu perkara itu, atau belum jadi perkara. Lalu peran jaksa dalam Kampung Restorative Justice harus lah proaktif dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum yang dialami rakyat kita. Selesaikan melalui kearifan," terang Fadil.
Fadil menyebut, dengan adanya Kampung Restorative Justice diharapkan sepertiga masalah dapat diselesaikan kejaksaan dengan mengasah kearifan lokal.
"Selain itu pula, institusi Kejaksaan RI dapat berkontribusi untuk memberikan keadilan yang terasa, cepat, tanpa biaya, dan sederhana kepada masyarakat serta juga kontribusi kepada pemerintah dalam mengatasi over crowded dalam Lembaga Pemasyarakatan ataupun Rumah Tahanan Negara (Rutan), karena akan berpengaruh banyak seperti biaya yang dikeluarkan negara dan tenaga penjaga atau sipir di Lembaga Pemasyarakatan mau pun di Rutan," Fadil menandaskan.
Jaksa Agung sendiri juga telah menerbitkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restoratif atau restorative justice sebagai pelaksanaan asas Dominus Litis Jaksa.
Tujuan dari pedoman tersebut adalah agar terciptanya pemulihan, baik itu pemulihan keadilan, pemulihan mental, dan pemulihan kesehatan penyalahguna sehingga diharapkan mampu menghadirkan kemanfaatan hukum.
Advertisement