Sukses

DPR soal Masa Jabatan Penjabat Kepala Daerah Maksimal 2 Tahun: Pemerintah Harus Taat

Guspardi Gaus, mengatakan jika UU tidak secara terang menegaskan pembatasan masa jabatan penjabat kepala daerah, maka pemerintah mempunyai keluwesan dalam menafsirkan.

Liputan6.com, Jakarta - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebut bahwa masa jabatan penjabat kepala daerah hanya maksimal dua tahun. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).

Anggota Komisi II DPR, Guspardi Gaus, mengatakan jika pasal dalam UU itu tidak secara terang menegaskan pembatasan masa jabatan penjabat kepala daerah, maka pemerintah mempunyai keluwesan dalam menafsirkan penjalasan dalam pasal tersebut.

"Kalau seandainya tidak ada pembatasan, pemerintah juga diberikan keleluasaan untuk menentukan dan menetapkan orang itu (penjabat kepala daerah) terus. Jadi gak ada masalah itu, memang yang perlu diingatkan adalah pemerintah harus tahu bahwa Pjs (penjabat sementara) itu tidak boleh lebih dari setahun, kalau memang pun masanya belum selesai ditambahkan satu tahun lagi atau mencari orang lain," papar Anggota Fraksi PAN DPR RI itu kepada Liputan6.com, Senin (31/1/2022).

Pembatasan penjabat kepala daerah tertuang dalam Penjelasan Pasal 201 Ayat (9) UU No. 10 Tahun 2016. Adapun bunyinya sebagai berikut: "Penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota masa jabatannya 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) tahun berikut dengan orang yang sama/berbeda."

Dalam UU tersebut tidak diterangkan secara eksplisit mengenai pembatasan masa jabatan penjabat kepala daerah maksimal dua tahun. Menurut Guspardi, jika di dalam UU dimaksud diterangkan batas maksimal masa jabatan penjabat, maka pemerintah mesti menaati aturan tersebut.

"Ya pemerintah harus taat hukum, jadi pemerintah dalam menetapkan Pjs ini sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Kalau memang menurut UU Pjs itu dua tahun, ya dua tahun," tekan dia.

 

2 dari 3 halaman

Tak Ada Celah Multitafisir Pasal

Sementara itu Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil memastikan dalam penjelasan pasal dimaksud tak ada ruang bagi pemerintah untuk menafsirkan secara berbeda.

"Menurut saya tidak (ada) ruang menafsirkan lagi. Apalagi itu sudah penjelasan dan sudah sangat jelas," katanya saat dihubungi Liputan6.com, Senin (31/1/2022).

Menurut dia prinsip dalam menafsirkan norma hukum itu kalau sudah jelas, jangan ditafsirkan lagi.

"Norma ini menurut saya sudah sangat jelas. Kalau ada yang mau menafsir itu tentu berangkat dari itikad tidak baik," tandasnya.

 

3 dari 3 halaman

Infografis