Sukses

Menkumham Dorong Percepatan Ratifikasi Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura

Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly menegaskan pemerintah terus berkomunikasi dengan DPR agar proses ratifikasi perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura dapat segera diselesaikan.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly menegaskan pemerintah terus berkomunikasi dengan DPR agar proses ratifikasi perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura dapat segera diselesaikan.

"Pemerintah akan mendorong percepatan proses ratifikasi dan kami percaya bahwa seluruh pihak terkait akan memiliki pandangan yang sama, mengingat besarnya manfaat yang akan kita peroleh dalam upaya mengejar pelaku tindak pidana," ujar Yasonna dalam keterangannya, Rabu (2/2/2022).

Menurut Yasonna, DPR harus segera meratifikasi perjanjian ekstradisi RI-Singapura demi memudahkan penegak hukum mengejar buronan yang masih berkeliaran di luar negeri, khususnya Singapura. Sebab, bila DPR belum meratifikasi, maka penegak hukum tak bisa adal comot buronan di Singapura.

"Perlu dipahami bahwa selama ini, upaya memulangkan pelaku tindak pidana yang melarikan diri ke Singapura maupun transit di Singapura, kandas karena tidak adanya perjanjian bilateral," kata Yasonna.

Menurut Yasonna, perjanjian ekstradisi pada pokoknya adalah perjanjian yang mengatur tata cara penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu tindak pidana oleh suatu negara, kepada negara yang meminta penyerahan.

Bentuk kejahatan yang disepakati untuk dapat dijadikan dasar ekstradisi juga diatur dalam perjanjian tersebut. Sesuai hasil kesepakatan, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura mencakup 31 tindak pidana, antara lain tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme, serta korupsi.

Tidak hanya itu, perjanjian ini juga bersifat dinamis karena kedua negara sepakat menggunakan prinsip open ended dalam menentukan jenis tindak pidana yang dapat diekstradisi. Hal ini merupakan upaya untuk mengantisipasi kejahatan lainnya di masa mendatang yang disepakati kedua pihak, sehingga mekanisme ekstradisi dapat tetap dilaksanakan.

Selain itu, dengan memanfaatkan ketentuan retroaktif yang diperpanjang menjadi 18 tahun, ekstradisi masih dapat dimohonkan untuk mereka yang melakukan tindak pidana tersebut di masa lampau.

"Jika perjanjian ekstradisi ini selesai diratifikasi dan disahkan dengan undang-undang, penegak hukum dapat langsung memanfaatkan mekanisme ini untuk mengejar pelaku tindak pidana. Tentunya, kami selaku central authority dari ekstradisi akan memberikan upaya terbaik untuk membantu menangani permohonan yang disampaikan," ujar Yasonna.

2 dari 2 halaman

Babak Baru Penegakan Hukum Indonesia

Yasonna yakin perjanjian ini awal dari babak baru dalam penegakan hukum Indonesia. Apalagi, menurut Yasonna, Satgas BLBI sempat menjelaskan penegak hukum dapat memanfaatkan perjanjian ini untuk mengejar obligor dan debitur yang mengalihkan aset jaminan BLBI.

Dalam perkembangannya, Pemerintah berupaya memulihkan kerugian negara akibat BLBI dengan melakukan eksekusi aset yang menjadi jaminan. Namun, proses eksekusi tersebut mengalami hambatan karena banyaknya aset yang telah mengalami peralihan kepemilikan.

Oleh karena itu, masa retroaktif selama 18 tahun ini sudah dapat memfasilitasi kebutuhan untuk menjerat mereka.

"Pemerintah tentunya memiliki berbagai pertimbangan dan telah melakukan inventarisasi kepentingan dalam melakukan negosiasi untuk mengubah masa retroaktif menjadi 18 tahun," Yasonna menandaskan.