Sukses

Temuan Kerangkeng Manusia di Langkat, Tidak Berstandar Tempat Rehabilitasi?

Puluhan warga yang disinyalir sedang menjalankan rehabilitasi narkoba ditemukan di area rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin.

Liputan6.com, Jakarta - Kerangkeng manusia yang ditemukan di area rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin menghebohkan publik. Sebab, puluhan orang ditemukan tinggal di ruangan serupa penjara. Ruangan ini hanya berukuran 6x6 meter dengan pintu jeruji besi dan bergembok.

Keberadaan kerangkeng manusia di belakang rumah Terbit dibenarkan oleh Kapolda Sumut Irjen Pol Panca Putra Simanjuntak. Menurut Panca, kerangkeng manusia itu diketahuinya saat membantu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penggeledahan pasca Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 18 Januari 2022.

Pendalaman oleh Polda Sumut mengenai keberadaan kerangkeng manusia pun dilakukan. Hasilnya, korban di balik jeruji besi tersebut dinyatakan sedang menjalankan rehabilitasi narkoba.

Badan Narkotika Nasional (BNN) meragukan kerangkeng manusia di Kabupaten Langkat merupakan tempat rehabilitasi. Keraguan itu timbul karena kerangkeng manusia itu dinilai jauh dari standar balai rehabilitasi.

Setidaknya, untuk menjadikan sebuah rehabilitasi, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Mulai dari persyaratan formil dan materiil. Persyaratan formil meliputi perizinan-perizinan. Seperti izin lokasi, operasional, dan izin fisik yang diterbitkan oleh Pemprov setempat.

"Syarat materiil ada lokasi tempatnya, ada operator, ada pelaksananya, dokternya, psikolog-nya, ahli gizi, dan sebagainya," kata Kepala Biro Humas dan Protokol BNN, Brigjen Pol Sulistyo Pudjo Hartono saat dihubungi Liputan6.com.

Selain itu sebuah tempat rehabilitasi harus memiliki program mengenai masa berapa lama pengobatan yang harus dilakukan oleh pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika. Progam yang dijalankan didasarkan pada kategori dan tingkat penyalahgunaannya.

Pakar Hukum Pidana Narkotika dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Slamet Pribadi menyebut balai rehabilitasi harus memiliki standar yang bersifat internasional. Untuk melaksanakan rehabilitasi harus melibatkan tim assessment terpadu yang meliputi dokter, psikolog, kepolisian, jaksa, hingga lembaga peradilan.

"Kalau ini enggak punya izin kan tidak sah. Kalau itu rehab mandiri di luar prosesnya hukum misalnya, tetep prosedur itu harus gunakan tim assessment terpadu dulu baru dia melakukan rehab medis, dilakukan rehab sosial," kata Slamet kepada Liputan6.com.

 

Aturan mengenai rehabilitasi untuk pecandu narkoba telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 56 disebutkan bahwa rehabilitasi medis pecandu narkotika harus dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk pemerintah.

Lembaga milik pemerintah atau swasta juga baru bisa melakukan rehabilitasi narkoba setelah mendapat persetujuan menteri. Sedangkan rehabilitasi itu terbagi menjadi dua yaitu medis dan sosial.

Dalam pelaksanaannya juga diperkuat melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 2415 Tahun 2011 tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika. Sedangkan untuk rehabilitasi sosial harus berdasarkan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 16 Tahun 2020 tentang Asistensi Rehabilitasi Sosial.

"Jadi harus ada perizinan, misalnya itu daerah harus dari Dinas Kesehatan maupun Dinas Sosial sebagai bagian dari jajaran Kemenkes dan Kemensos," ucap dia.

Selain itu fasilitas kesehatan yang diterima para pecandu untuk proses pengobatan harus memadai. Tenaga kesehatan yang bertugas pun telah memiliki keahlian, keterampilan khusus ataupun mengerti dalam hal adiksi.

Sebab dalam proses rehabilitasi diperlukannya perawatan atau terapi khusus. Lalu, kekerasan fisik ataupun psikologis juga dilarang terjadi di dalam balai rehabilitasi yang diakui pemerintah. Karena hal itu, Slamet menyebutkan tak dapat sembarangan masyarakat luas dapat menyelenggarakan tempat rehabilitasi.

"Kalau saya lihat video yang beredar itu ada yang lebam kan. Tidak ada rehab itu sampai lebam-lebam begitu. Berarti ada penganiayaan di dalam situ tidak ada rehab itu sampai ada penganiayaan," ucap dia.

2 dari 2 halaman

Dugaan Kekerasan

Awalnya, temuan kerangkeng manusia itu diterima oleh Komnas HAM berdasarkan laporan dari Migrant Care pada 24 Januari 2022. Kerangkeng manusia itu diduga digunakan oleh Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin untuk mengurung puluhan pekerja sawit miliknya.

Setidaknya ada tujuh perlakuan tidak manusiawi yang diduga terjadi di kerangkeng manusia tersebut. Pertama, Terbit Rencana membangun kerangkeng yang menyerupai penjara belakang rumahnya. Lalu, lokasi itu digunakan untuk menampung pekerja sawit setelah mereka bekerja.

Bahkan sejumlah orang di kerangkeng manusia itu tak mempunyai akses ke mana-mana. Selain itu, Migrant Care menduga adanya kekerasan yang diterima oleh para korban kerangkeng manusia tersebut.

"Keempat dari mereka mengalami penyiksaan dipukul, lebam, dan luka, kelima mereka diberi makan tidak layak hanya 2 kali sehari, keenam mereka tidak digaji selama bekerja. Ketujuh tentu tidak punya akses komunikasi dengan pihak luar," kata Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah.

Perlakuan itu, menurut Anis merupakan bentuk kejahatan manusia dan melanggar Undang-Undang Nomor 21 Nomor 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Meskipun, kerangkeng manusia dianggap sebagai lokasi rehabilitasi Migrant Care mengharapkan adanya pendalaman lebih lanjut dari temuan tersebut.

Rehabilitasi lanjut Anis, bukanlah bentuk alasan untuk mempekerjakan orang tanpa gaji hingga adanya dugaan kekerasan. Selain itu, lokasi penyelenggaraan rehabilitasi telah ditentukan dan memiliki standar tersendiri.

"Meski dia kepala daerah, kemudian dia buat penjara, itu enggak boleh. Itu abuse of power," Anis menjelaskan.