Liputan6.com, Jakarta - Lokasi yang digunakan tak besar. Ada dua ruangan di dalamnya. Ukurannya hanya 6x6 meter dan satu ruangan dapat dihuni hingga 20 orang. Ruangannya pun tak ada pembatas antara tempat tidur dan kamar mandi. Hanya tembok dengan ukuran tinggi setengah meter.
Di dalam ruangan itu, ada panggung kayu yang disediakan dan dapat digunakan untuk beristirahat. Panggung kayu itu digunakan bagian atas dan bawah. Para penghuni hanya tidur beralaskan tikar. Sejumlah barang bawaan korban diletakkan di rak kayu yang dibuat memanjang menempel tembok bagian atas. Lalu, jeruji besi terpasang di bagian depan ruangan.
Baca Juga
Begitu kira-kira gambaran kondisi kerangkeng manusia yang ditemukan di area rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin.
Advertisement
"Kondisinya sangat memprihatinkan kalau dari segi fisik ya benar-benar enggak layak, ya WC-nya kotor tempatnya sempit ya benar-benar enggak layak lah, apalagi isinya (penghuni) banyak begitu," Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengungkapkan, kepada Liputan6.com.
Komnas HAM melakukan peninjauan ke lokasi setelah mendapatkan laporan dari Migrant Care pada tangal 24 Januari 2022. Saat kedatangan mereka ke lokasi, jumlah penghuni hingga detik terakhir berkisar 40 orang.
Temuan itu langsung menghebohkan publik. Sebab kondisi kerangkeng manusia dan penghuninya cukup memprihatinkan.
Lokasi kerangkeng manusia itu, menurut Komnas HAM, bukanlah tempat baru. Lokasi yang dianggap sebagai tempat rehabilitasi pecandu narkoba itu sudah beroperasi sejak tahun 2010. Namun hingga saat ini masih berstatus ilegal atau tanpa izin.
Pada 2017, Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Langkat sempat melakukan pengecekan dan meminta lokasi itu diurus sesuai prosedur perizinan yang ada. Permintaan tersebut belum terlaksana hingga saat ini. Selama lebih 10 tahun, tercatat sebanyak 656 orang pernah menghuni tempat itu.
Diakui Anam, masyarakat sekitar mengenal lokasi di area rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana ini sebagai tempat rehabilitasi. Namun, tak semua penghuni tersebut merupakan pecandu narkoba. Sejumlah keterangan saksi, korban, maupun keluarga telah dikantongi oleh Komnas HAM.
Hingga saat ini Anam belum dapat memastikan adanya dugaan pelanggaran dari penyelenggaraan balai rehabilitasi itu. Pihaknya juga masih menunggu keterangan lebih lanjut dari Terbit Rencana yang sekarang tengah menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa tahun 2020 sampai 2022 di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Dugaan Tindak Kekerasan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memfasilitasi pemeriksaan Komnas HAM dengan Terbit Rencana. Pertemuan keduanya diagendakan pekan depan. Selain terkait pelanggaran, Anam juga terus menyelidiki dugaan tindak kekerasan yang dialami para penghuni kerangkeng.
"Firm kekerasan terjadi di sana, korbannya banyak, termasuk di dalamnya adalah kekerasan yang menimbulkan hilangnya nyawa," ucap dia.
Kekerasan yang dialami para penghuni bervariatif. Untuk korban meninggal pun lebih dari satu orang dan kemungkinan bertambah. Kendati begitu, Anam tidak menjelaskan detail terkait kekerasan yang dialami para korban.
Â
Hanya saja informasi terkait pola kekerasan dan daftar pelaku telah dikantonginya. Peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak kekerasan telah diketahui. Selain itu, dalam penyelidikan juga diketahui adanya pemakaian istilah-istilah tindak kekerasan.
"Di sana juga kadang menggunakan alat termasuk di dalamnya juga menggunakan istilah-istilah tindak kekerasan itu berlangsung. Misalnya kayak mos, gas, atau dua setengah kancing," ujar Anam.
Temuan-temuan dari Komnas HAM sejalan dengan hasil pendalaman oleh Polda Sumatera Utara. Berdasarkan hasil temuan adanya tindak kekerasan itu, Anam mengharapkan aparat kepolisian bergegas mengusut dugaan tindak pidana yang ada.
Selain itu perlindungan untuk para saksi dan korban dibutuhkan. Sebab, lanjut dia, kemerdekaan berpendapat tanpa ada tekanan dari pihak manapun dapat membantu pendalaman kasus yang menghebohkan publik tersebut.
Komnas HAM berencana mengundang beberapa ahli untuk mendalami ada atau tidaknya kemungkinan perbudakan modern di kerangkeng manusia itu. Proses perekrutan penghuni kerangkeng, kondisi atau rekam medis hingga gaji yang diterima juga masih dipertanyakan.
Saat ini, dalam pantauan Liputan6.com, kondisi di lapangan sendiri sudah normal. Kerangkeng sudah dikosongkan dan area kerangkeng dijadikan TKP bersama rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin. Sementara warga memilih tutup mulut ketika dimintai keterangan.
Fakta Temuan Awal
Saat memberikan laporan ke Komnas HAM, Migrant Care menduga kerangkeng manusia itu diduga digunakan Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin untuk mengurung puluhan pekerja sawit miliknya.
Setidaknya ada tujuh catatan Migrant Care mengenai perlakuan tidak manusiawi yang diduga terjadi di kerangkeng manusia. Pertama, Terbit Rencana membangun kerangkeng yang menyerupai penjara belakang rumahnya. Lalu, lokasi itu digunakan untuk menampung pekerja sawit setelah mereka bekerja.
Bahkan, sejumlah orang di kerangkeng manusia itu tak mempunyai akses ke mana-mana. Selain itu, Migrant Care menduga adanya kekerasan yang diterima oleh para korban kerangkeng manusia tersebut.
"Keempat mereka mengalami penyiksaan dipukul, lebam, dan luka, kelima mereka diberi makan tidak layak hanya 2 kali sehari, keenam mereka tidak digaji selama bekerja. Ketujuh tentu tidak punya akses komunikasi dengan pihak luar," kata Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah.
Perlakuan itu, menurut Anis merupakan bentuk kejahatan manusia dan melanggar Undang-Undang Nomor 21 Nomor 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Meskipun, kerangkeng manusia dianggap sebagai lokasi rehabilitasi, Migrant Care mengharapkan adanya pendalaman lebih lanjut dari temuan tersebut.
Rehabilitasi lanjut Anis, bukanlah bentuk alasan untuk mempekerjakan orang tanpa gaji hingga adanya dugaan kekerasan. Selain itu, lokasi penyelenggaraan rehabilitasi telah ditentukan dan memiliki standar tersendiri.
"Meski dia kepala daerah, kemudian dia buat penjara, itu enggak boleh. Itu abuse of power," Anis menjelaskan.
Advertisement
Standar Penyelenggaraan Rehabilitasi
Keberadaan kerangkeng manusia di area rumah Terbit juga dibenarkan oleh Kapolda Sumut Irjen Pol Panca Putra Simanjuntak. Menurut Panca, kerangkeng manusia itu diketahuinya saat membantu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penggeledahan pasca Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 18 Januari 2022.
Pendalaman oleh Polda Sumut mengenai keberadaan kerangkeng manusia pun dilakukan. Hasilnya, korban di balik jeruji besi tersebut dinyatakan sedang menjalankan rehabilitasi narkoba. Namun tempat tersebut jauh dari standar balai rehabilitasi.
Badan Narkotika Nasional (BNN) juga meragukan kerangkeng manusia di Kabupaten Langkat merupakan lokasi rehabilitasi. Keraguan itu timbul karena kerangkeng manusia itu dinilai tidak memenuhi persyaratan sebagai lokasi rujukan rehabilitasi.
Setidaknya untuk menjadikan sebuah rehabilitasi, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Mulai dari persyaratan formil dan materiil. Persyaratan formil meliputi perizinan-perizinan. Seperti izin lokasi, operasional, dan izin fisik yang diterbitkan oleh Pemprov setempat.
"Syarat materiil ada lokasi tempatnya, ada operator, ada pelaksananya, dokternya, psikolog-nya, ahli gizi, dan sebagainya," kata Kepala Biro Humas dan Protokol BNN, Brigjen Pol Sulistyo Pudjo Hartono saat dihubungi Liputan6.com.
Selain itu sebuah tempat rehabilitasi harus memiliki program mengenai masa berapa lama pengobatan yang harus dilakukan oleh pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika. Progam yang dijalankan didasarkan pada kategori dan tingkat penyalahgunaannya.
Pakar Hukum Pidana Narkotika dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Slamet Pribadi menyebut balai rehabilitasi harus memiliki standar yang bersifat internasional. Untuk melaksanakan rehabilitasi harus melibatkan tim assesment terpadu yang meliputi dokter, psikolog, kepolisian, jaksa, hingga lembaga peradilan.
"Kalau ini enggak punya izin kan tidak sah. Kalau itu rehab mandiri di luar prosesnya hukum misalnya, tetep prosedur itu harus gunakan tim assessment terpadu dulu baru dia melakukan rehab medis, dilakukan rehab sosial," kata Slamet kepada Liputan6.com.
Aturan mengenai rehabilitasi untuk pecandu narkoba telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 56 disebutkan bahwa rehabilitasi medis pecandu narkotika harus dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk pemerintah.
Lembaga milik pemerintah atau swasta juga baru bisa melakukan rehabilitasi narkoba setelah mendapat persetujuan menteri. Sedangkan rehabilitasi itu terbagi menjadi dua yaitu medis dan sosial.
Dalam pelaksanaannya juga diperkuat melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 2415 Tahun 2011 tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.
Â
Sedangkan untuk rehabilitasi sosial harus berdasarkan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 16 Tahun 2020 tentang Asistensi Rehabilitasi Sosial.
"Jadi harus ada perizinan, misalnya itu daerah harus dari Dinas Kesehatan maupun Dinas Sosial sebagai bagian dari jajaran Kemenkes dan Kemensos," ucap dia.
Selain itu fasilitas kesehatan yang diterima para pecandu untuk proses pengobatan harus memadai. Tenaga kesehatan yang bertugas pun telah memiliki keahlian, keterampilan khusus atau mengerti dalam hal adiksi.
Sebab dalam proses rehabilitasi diperlukannya perawatan atau terapi khusus. Lalu, kekerasan fisik ataupun psikologis juga dilarang terjadi di dalam balai rehabilitasi yang diakui pemerintah. Karena hal itu, Slamet menyebutkan tak dapat sembarangan masyarakat luas dapat menyelenggarakan tempat rehabilitasi.
"Kalau saya lihat video yang beredar itu ada yang lebam kan. Tidak ada rehab itu sampai lebam-lebam begitu. Berarti ada penganiayaan di dalam situ tidak ada rehab itu sampai ada penganiayaan," ucap dia.
Dasar Pendalaman dan Investigasi
Sementara itu, kesimpulan sementara dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), kerangkeng manusia yang berlokasi di belakang rumah Terbit Rencana mengarah pada adanya dugaan tindak pidana. Dasar itu melalui sejumlah pendalaman dan investigasi. Seperti halnya menghilangkan kemerdekaan beberapa orang secara tidak sah.
Lalu, adanya dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Dugaan itu berkaitan dengan adanya pendayagunaan para penghuni kerangkeng untuk melakukan pekerjaan secara paksa di kebun sawit. Ketiga adanya dugaan tindak pidana lokasi balai rehabilitasi yang ilegal.
"Fasilitas yang ada di dalam kerangkeng atau penjara tidak memenuhi standar. Baik itu sebagai penjara sebagai pusat rehabilitasi," kata Ketua LPSK Hasto Atmojo di Kantor LPSK, Jakarta Timur, Senin (31/1/2022).
LPSK juga memaparkan 17 temuan dari hasil investigasi di lokasi kerangkeng manusia itu. Selain satu ruangan dihuni banyak orang, kerangkeng manusia itu hanya memiliki fasilitas sanitasi yang dinilai tidak layak. Penghuni kerangkeng yang sebagian besar merupakan pecandu narkoba itu tak hanya diisi oleh warga Kabupaten Langkat.
Tidak Ada Aktivitas Rehabilitasi
Kemudian tidak ada aktivitas rehabilitasi yang diterima para pecandu narkoba. Pembatasan kunjungan dari keluarga kepada penghuni yang baru masuk dilakukan, yaitu kurun waktu 3-6 bulan. Lalu para penghuni juga dilarang membawa alat komunikasi.
Istilah-istilah di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) digunakan para penghuni, misalnya piket malam, piket cuci piring, piket kereng, hingga uang tamu. Kondisi kerangkeng manusia tersebut selalu terkunci. Kemudian pembatasan pelaksanaan ibadah, tidak ada pengupahan, dan adanya dugaan pungutan di dalam kerangkeng.
Adanya temuan dokumen pernyataan mengenai adanya batas waktu penahanan selama 1,5 tahun, bahkan beberapa di antaranya ada yang hingga empat tahun. Terdapat pula dugaan pembiaran terstruktur oleh beberapa pihak juga.
"Karena kami melihat, kerangkeng ini kan sudah beberapa tahun, pasti ada pembiaran di sini," ucap Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi.
Edwin juga menemukan adanya dokumen pernyataan tidak akan menuntut bila penghuni sakit atau meninggal dari pihak keluarga korban. "LPSK menemukan adanya informasi dugaan korban tewas tidak wajar dan adanya dugaan kerengkeng III," Edwin menandaskan.
Advertisement