Aktivis demokrasi Malari 1966, Hariman Siregar menilai saat ini Indonesia tengah mengalami defisit demokrasi. Aksi para aktivis mahasiswa dan masyarakat mencabut mandat pada 1998 hanya dijadikan hibah politik oleh para elit politik penguasa.
Defisit demokrasi menurutnya terlihat ketika bangsa Indonesia tengah memasuki musim kampanye seperti tahun ini. Ia menilai bahwa ketika masa kampanye dan pemilu, masyarat dipaksa dan dicekoki oleh ajakan-ajakan dan janji-janji palsu dari para elit politik dan hal tersebut diibaratkan seperti dipaksa 'tidur bersama'.
"Sebenarnya kalau kita lihat sejarah, dalam tahun ini, kita akan hadapi pemaksaan tidur bersama. Karena akan ada kampanye-kampanye," kata Hariman dalam pidatonya di acara HUT Indonesia Democracy Monitor (Indemo) di Teater Kecil TIM, Cikini, Jakarta, Selasa (15/1/2013).
Lebih jauh, Hariman juga menjelaskan, di masa-masa kampanye pemilu saat ini, elit politik mulai mendekati masyarakat untuk mencari simpati. Setelah masa kampanye selesai maka masyarakat akan kembali ditinggalkan oleh para elit politik.
"Hanya kampanye pemilu. Setelah selesai pemilu rakyat seperti istri dicerai. Lima tahun kemudian istri itu dipaksa untuk tidur bersama lagi. Itu defisit demokrasi. Dengan cara yang kita populerkan membajak demokrasi, makin hari keadaan Indonesia semakin tidak teratur. Betul-betul demokrasi dinikmati para pemodal," sesalnya.
Karena itu, Hariman menilai dengan defisitnya demokrasi di Indonesia, maka jurang antara si kaya dan si miskin kian dalam. "Jadi, dari seluruh bangsa Indonesia hanya 1 persen yang menikmati kekayaan, dan 99 persen hanya menjadi kuli di antara kapital-kapital itu," pungkasnya. (Mut)
Defisit demokrasi menurutnya terlihat ketika bangsa Indonesia tengah memasuki musim kampanye seperti tahun ini. Ia menilai bahwa ketika masa kampanye dan pemilu, masyarat dipaksa dan dicekoki oleh ajakan-ajakan dan janji-janji palsu dari para elit politik dan hal tersebut diibaratkan seperti dipaksa 'tidur bersama'.
"Sebenarnya kalau kita lihat sejarah, dalam tahun ini, kita akan hadapi pemaksaan tidur bersama. Karena akan ada kampanye-kampanye," kata Hariman dalam pidatonya di acara HUT Indonesia Democracy Monitor (Indemo) di Teater Kecil TIM, Cikini, Jakarta, Selasa (15/1/2013).
Lebih jauh, Hariman juga menjelaskan, di masa-masa kampanye pemilu saat ini, elit politik mulai mendekati masyarakat untuk mencari simpati. Setelah masa kampanye selesai maka masyarakat akan kembali ditinggalkan oleh para elit politik.
"Hanya kampanye pemilu. Setelah selesai pemilu rakyat seperti istri dicerai. Lima tahun kemudian istri itu dipaksa untuk tidur bersama lagi. Itu defisit demokrasi. Dengan cara yang kita populerkan membajak demokrasi, makin hari keadaan Indonesia semakin tidak teratur. Betul-betul demokrasi dinikmati para pemodal," sesalnya.
Karena itu, Hariman menilai dengan defisitnya demokrasi di Indonesia, maka jurang antara si kaya dan si miskin kian dalam. "Jadi, dari seluruh bangsa Indonesia hanya 1 persen yang menikmati kekayaan, dan 99 persen hanya menjadi kuli di antara kapital-kapital itu," pungkasnya. (Mut)