Liputan6.com, Jakarta - Warga Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah bersikeras menolak penambangan batu andesit di tanah kelahiran mereka. Sebab penambangan itu akan mengancam keberadaan 27 mata air sebagai sumber kehidupan.
Pasokan batuan andesit itu akan digunakan sebagai material pembangunan Bendungan Bener yang merupakan salah satu proyek strategis nasional.
Tak mau ekosistem dan sumber kehidupannya hilang, warga Wadas harus berhadapan dengan ribuan aparat kepolisian bersenjata lengkap usai berbagai protes tak digubris dan pengajuan gugatan terhadap Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ditolak pengadilan.
Advertisement
Belum ada solusi jitu dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik ini.
Pengamat Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun menilai penambangan batu andesit di Desa Wadas jelas merusak lingkungan dan menghilangkan matapencaharian warga.
"Penambangan andesit itu merusak lingkungan sekaligus menghilangkan mata pencaharian mereka yang sudah mereka jalani secara turun temurun sejak nenek moyang mereka," ujar Ubedilah kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis, (10/2/2022).
Untuk itu, dia menyarankan pemerintah agar membatalkan penambangan andesit di Desa Wadas. Sebagai gantinya, pemerintah dapat mencari wilayah pertambangan lain yang tidak menganggu ekosistem dan perekonomian masyarakat. Saran ini diharapkan dapat menjadi jalan tengah sehingga tak merugikan warga dan pembangunan Bendungan Bener tetap berjalan.
"Cari lokasi lain yang tidak mengganggu ekosistem lingkungan alam dan ekonomi masyarakat desa. Jika di Jawa Tengah tidak memungkinkan maka coba kerja sama dengan provinsi lain yang memiliki daerah penambangan andesit yang tidak merusak ekosistem ekonomi masyarakat desanya," ujar dia.
Ubedilah juga mengkritik upaya penyelesaian masalah yang dilakukan pemerintah dengan mengerahkan aparat keamanan.
Dia menilai, salah satu prinsip penting pembangunan nasional yang sering diabaikan oleh pemerintah adalah partisipasi. Di mana rakyat mestinya diberi ruang partisipasi dan didengar pendapatnya.
"Apa yang terjadi di Wadas adalah peristiwa empirik yang menunjukan pengabaian partisipasi rakyat, pengabaian suara rakyat dalam pembangunan," kata Ubedilah.
Sementara Pengamat Politik dan Sosial dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin meminta pemerintah pusat dan daerah memiliki solusi yang tidak merugikan masyarakat. Misalnya, dengan merelokasi warga Desa Wadas ketempat yang baik. Di mana lingkungan dan ketersediaan lapangan pekerjaannya terjamin.
"Jadi tidak sesederhana ganti lahan tapi juga faktor ekonomi, sosial, budaya juga, jadi ini tindakan prioritas pemerintah untuk mengambil kebijakan menguntungkan warga Wadas," kata Ujang kepada Liputan6.com.
Ujang meminta negara jangan melakukan represi kepada masyarakatnya jika tak menemukan titik temu atas persoalan lahan pertambangan ini.
"Jangan negara yang secara teori bisa melakukan kekerasan malah itu yang dilakukan. Negara itu harus hadir menjaga, mengayomi jangan represif. Jadi ke depan, solusinya tindakan dialogis harus dilakukan," kata Ujang.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengaku sudah menempuh proses panjang terkait pembangunan Bendungan Bener ini. Selama proses itu, pihaknya membuka lebar ruang dialog kepada masyarakat, khususnya yang masih menolak.
"Beberapa kali kami mengajak Komnas HAM, karena Komnas HAM menjadi institusi netral untuk menjembatani. Kami minta mereka yang setuju dan belum setuju dihadirkan, tapi kemarin saat dilakukan dialog, pihak yang belum setuju tidak hadir," ucapnya.
Ganjar mengatakan, sudah berdiskusi dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md secara virtual pada Rabu 9 Februari 2022 malam, diikuti oleh seluruh stakeholder yang terlibat. Ganjar berharap ruang dialog terus dibuka untuk memberikan pemahaman pada warga yang masih menolak.
"Saya sampaikan ruang dialog yang harus dibuka dengan melibatkan banyak tokoh termasuk dari Komnas HAM. Itu kita sampaikan kepada beliau," kata Ganjar ditemui di kantornya, Kamis (10/2/2022).
Ganjar mengatakan, dalam forum dibahas tentang masih adanya warga yang menolak dengan beragam alasan.
"Terhadap kawan-kawan yang belum setuju, yang kemarin pada isu soal quarry, potensi lingkungan yang akan rusak. Kondisi geologis yang ada di sana, saya kira itu butuh ruang untuk menjelaskan sehingga para ahli akan bisa diberikan ruang dan waktu untuk bisa menjelaskan kepada meraka," jelas Ganjar.
Ganjar mengatakan, ruang dialog penting agar masyarakat yang kontra dan para ahli bisa saling menjelaskan dan mendengarkan.
"Maka pertemuan dengan kelompok yang kontra menurut saya menjadi penting, saya sampaikan juga kepada Pak Mahfud dan insyaallah sekarang dirumuskan agar ini semua nanti bisa terlaksana dan membuka ruang dialog seluas-luasnya," kata Gubernur yang juga berasal dari Purworejo tersebut.
Proses Pembebasan Lahan
Ganjar mengungkapkan bahwa proses pembebasan tanah per November 2021 telah mencapai 57,17 persen atau setara dengan Rp 698 miliar. Sedangkan, terdapat 1167 bidang tanah yang sedang dalam proses pengajuan pembayaran.
"Jika ini terbayar maka proses pembayarannya jadi 72,3 persen dan terdapat sisanya 27,7 persen yang belum mendapat pembayaran atau penggantian," ujar Ganjar.
Menurut dia, 27 persen warga yang belum mendapat pembayaran karena berbagai kendala mulai administrasi hingga proses gugatan perdata. Namun, sebanyak 21 persen di antaranya adalah penolakan pengukuran lahan di Desa Wadas.
"Data lahan terdampak dari 617 bidang, 133 masih menolak, 346 setuju, dan sisanya belum memutuskan," ucapnya.
Negara Sedang Tak Berpihak Pada Rakyat
Manajer Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar menilai pemerintah lebih mementingkan proyek strategis nasional ketimbang kepentingan masyarakat. Di mana keselamatan warga dan ruang hidupnya dirampas negara dengan dalih pembangunan Bendungan Bener.
"Jadi polemik wadas ini mau menunjukkan bahwa negara ini memang tidak sedang berpihak kepada warga, tetapi dia lebih penting dengan agenda investasinya. Dia tidak peduli dengan keselamatan warga dan ruang hidupnya itu sendiri," kata Melky kepada Liputan6.com di Jakarta.
Melky mengatakan, mayoritas warga Desa Wadas menggantungkan hidup dan perekonomiannya dari sektor pertanian. Ada begitu banyak tanaman-tanaman umur pendek dan umur panjang sebagai sumber utama kesejahteraan warga Wadas selama ini. Tak heran warga menyebut Wadas sebagai tanah surga.
Namun, kemudian pemerintah tiba-tiba ingin merampas tanah dan merusak ekosistem dengan melakukan penambangan batu adesit. "Jadi dari titik ini saja frasa untuk kepentingan umum itu tidak dibenarkan. Itu tidak masuk akal," kata dia.
Melky menilai proyek tambang andesit di Wadas untuk membangun bendungan dengan dalih "demi kesejahteraan masyarakat" sebagai kebijakan pembangunan yang ngawur.
"Tidak masuk diakal bahwa ini untuk kepentingan publik. Jadi itu hanya dalil saja yang terus dihembuskan oleh pemerintah untuk menutupi kebobrokan yang telah mereka lakukan sejak awal," ujarnya.
Untuk itu, Jatam meminta agar pemerintah menghentikan sementara seluruh proses yang ada. Serta mencabut izin tambang yang telah dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
"Karena itu sebagai salah satu pemicu utama mengapa kemudian polemik Wadas itu kembali terjadi," tandas Melky.
Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi, Fanny Tri Jambore meminta rencana penambangan batu adesit di Wadas ditangguhkan. Hal ini sesuai dengan Putusan MK nomor 91/PUU-XVIII/2020 dalam amarnya memerintahkan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas.
“Kegiatan pengadaan tanah untuk quarry Bendungan Bener mustinya dihentikan sebagaimana seluruh PSN yang harus ditangguhkan terlebih dahulu. Kegiatan untuk PSN yang menyandarkan pada UU Cipta Kerja ditangguhkan berdasarkan Putusan MK nomor 91/PUU-XVIII/2020”, ungkapnya.
Selain itu, Walhi meminta dilakukan audit lingkungan agar kegiatan penambangan tersebut tak merusak ekosistem dan kehidupan warga. Serta meminta Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk mencabut Ijin Penetapan Lokasi (IPL) pertambangan quarry di Desa Wadas.
Advertisement
Bermula dari Rencana Pembangunan Bendungan
Konflik antara aparat dan warga desa Wadas bermula dari rencana pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo.
Bendungan Bener merupakan salah satu Proyek Strategis nasional (PSN) yang ditargetkan menjadi bendungan tertinggi di Indonesia dan nomor dua di Asia Tenggara. Nantinya Bendungan Bener akan memiliki ketinggian 159 meter dengan panjang timbunan 543 meter dan lebar bawah 290 meter.
Selain itu, Bendungan Bener ditargetkan memiliki kapasitas sebesar 100.94 meter kubik diharapkan dapat mengairi lahan seluas 15069 Ha, mengurangi debit banjir sebesar 210 M³/detik, menyediakan pasokan air baku sebesar 1,60 M³/detik, dan menghasilkan listrik sebesar 6,00 MW.
Tak hanya itu, Bendungan Bener ditargetkan mampu menyuplai kebutuhan air sebanyak 1.500 liter/detik untuk Kabupaten Purworejo, Kebumen dan Kulonprogo. Airnya sendiri dikumpulkan dari aliran sungai Bogowonto yang diapit dua bukit di lokasi tersebut.
Air dari bendungan itu juga akan memasok sebagaian besar kebutuhan air ke Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.
Kemudian nantinya akan dibangun juga PLTA dengan besaran 6 Megawatt (MW). Proyek ini sudah dijalankan sejak Mei 2019.
Proyek tersebut memerlukan pasokan batuan andesit sebagai material pembangunan. Oleh pemerintah, kebutuhan batu andesit ini diambil dari lahan seluas 145 hektar di Kabupaten Purowrejo, Jawa Tengah, tepatnya di Desa Wadas.
Berdasarkan SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 509/41/2018, Desa Wadas ditetapkan sebagai lokasi penambangan batuan andesit material pembangunan proyek Bendungan Bener.
Penambangan akan dilakukan di atas lahan seluas 145 hektare ditambah 8,64 hektare lahan untuk akses jalan menuju proyek.
Penambangan akan dilakukan menggunakan metode blasting atau bahan peledak.
Dikutip dari laman resmi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, walhi.or.id, proyek tambang di Desa Wadas ini merupakan tambang quarry atau penambangan terbuka (dikeruk tanpa sisa) yang rencananya berjalan selama 30 bulan dengan cara dibor, dikeruk, dan diledakkan menggunakan 5.300 ton dinamit atau 5.280.210 kg, hingga kedalaman 40 meter.
Tambang quarry batuan andesit di Desa Wadas menargetkan 15,53 juta meter kubik material batuan andesit untuk pembangunan Bendungan Bener, dengan kapasitas produksi 400.000 meter kubik setiap tahunnya.
Walhi menilai penambangan itu akan menghilangkan bentang alam dan memaksa warga untuk hidup dengan kerusakan ekosistem.
Warga Wadas telah melakukan berbagai perlawanan atas rencana pembangunan bendungan ini mulai dari protes hingga mengajukan gugatan terhadap Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Gugatan terhadap Ganjar diajukan warga di PTUN Semarang tahun lalu namun pada 13 Agustus 2021, gugatan tersebut ditolak. Warga Wadas pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung hingga keluar putusan pada tanggal 29 November 2021 yang menyatakan kasasi juga ditolak.
Penolakan warga pun terus berlanjut hingga aparat melakukan represi.