Liputan6.com, Bekasi - Dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian masyarakat masih terus berlanjut. Salah satu yang paling terdampak, yakni kaum pemulung yang kerap dihimpit kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Semenjak pandemi, pendapatan para pemulung menurun drastis dari sebelumnya. Jaiman (42) misalnya, pemulung di TPST Bantargebang ini mengaku pendapatannya turun hingga 50 persen akibat pandemi.
"Sejak pandemi ini (pendapatan) menurun jauh, nyari ekonomi agak seret, susah. Sebelumnya Rp 100 ribu, sekarang cuma setengahnya," katanya kepada Liputan6.com, Jumat (11/2/2022).
Advertisement
Pria asal Surabaya itu mengaku kesulitan untuk mencukupi kebutuhan harian istri dan ketiga anaknya. Kondisi tersebut memaksa keluarga pemulung ini hanya makan dengan lauk seadanya.
Baca Juga
"Ya cukup enggak cukup, dicukupin. Sebenarnya mah enggak cukup, tapi anak-anak itu makan sama apa aja mau," ungkapnya.
Jaiman menuturkan, saat ini bantuan sosial kepada pemulung sudah sangat jarang. Ia mengaku hanya menerima bansos di saat awal-awal pandemi.
"Jarang ada bantuan. Cuma dulu aja, sekarang enggak ada lagi," akunya.
Jaiman berharap nasib para pemulung mendapat perhatian lebih dari pemerintah maupun pihak lain, sehingga bisa mengurangi kesulitan hidup mereka.
"Maunya ada yang bantu kayak biasanya, buat makan sama sekolah, biar anak saya bisa terus sekolah," imbuhnya.
Sementara itu, Ketua umum Ikatan Pemulung Indonesia (IPI), Prispolly Lengkong, saat ditemui di DPP IPI Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, menyampaikan kondisi para pemulung semakin memprihatinkan selama pandemi.
"Sangat memprihatinkan ya, karena berlakunya lockdown, PPKM. Barang yang ada di TPA ini kan sumbernya dari kota. Ketika dilockdown itu, masyarakat tidak produktif untuk konsumsi belanja, pengurangan di barang, harga tidak stabil," paparnya.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Ribuan Pemulung Terdampak Covid-19
Di tengah kondisi tersebut, kata dia, pemulung tidak bisa mendapatkan uang lebih meski mengambil banyak barang dalam sehari.
"Kan bosnya tidak mau mengambil resiko. Karena ketika dilockdown atau PPKM, pabrik-pabrik kan pada tutup. Kalau pabrik tutup, ya mereka bisa tiga empat bulan, atau mungkin setahun masih bisa makan. Tapi kalau pemulung, sehari ditutup aja bisa menjerit mereka," jelasnya.
"Ada juga ketika awal pandemi, ada anggota IPI Karawang yang sampai tiga hari tidak makan. Kita langsung turun, pas lagi mengeluarkan sembako di Jabodetabek. Alhamdulillah tertolong," ungkap Prispolly.
Menurutnya, ada sekitaran 6.000 pemulung di Bekasi yang terdampak pandemi, dengan rata-rata pendapatan menurun 25-30 persen. Bantuan pun sudah pernah datang dari pemerintah pusat, daerah, swasta, hingga sejumlah asosiasi.
"Dari Pemprov DKI melalui Dinas Lingkungan Hidup, kita mendapatkan bantuan kesejahteraan sosial di BPJS tenaga kerja. Ya Alhamdulillah sangat terbantu lah mereka," akunya.
Lanjut Prispolly, sejauh ini IPI Bekasi memiliki sekitar 6.000 anggota yang terus bertambah setiap tahunnya. IPI memiliki sumber dana mandiri yang berasal dari iuran maupun sumbangan tetap anggota.
"Tapi untuk iuran kayaknya enggak produktif untuk dijalankan karena pendapatan mereka juga sangat minim ya. Kita adakan kas organisasi dari teman-teman para pelapak, juga ada usaha kipkup yang kita salurkan supaya organisasi ini berjalan," jelasnya.
Prispolly mengaku pihaknya tidak pernah ikut dalam mobilisasi massa untuk kepentingan apapun. Hanya saja pihaknya sempat ingin berdemo terkait larangan penggunaan plastik oleh pemerintah di tahun 2016-2018, yang dinilai merugikan bagi pemulung.
"Alhamdulillah sekarang ini agak berkurang ya larangan plastik itu. Waktu kemarin kan benar-benar dimusuhkan," ujarnya.
Advertisement