Sukses

Kemenaker: Klaim JHT Tetap Bisa Dicairkan Sebelum Peserta Berusia 56 Tahun

Kemenaker menjelaskan bahwa klaim JHT tetap bisa dicairkan sebelum peserta berusia 56 tahu. Namun besaran JHT yang bisa diambil hanya 30 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) meluruskan kabar soal jaminan hari tua (JHT) yang hanya bisa dicairkan apabila pekerja telah memasuki usia 56 tahun atau meninggal dunia.

Melalui akun Instagram resmi Kemenaker @kemnaker, Sabtu (12/2/2022), menjelaskan bahwa klaim JHT masih bisa dicairkan, kendati peserta BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) belum berusia 56 tahun.

Klaim jaminan hari tua dapat diambil sebagian untuk persiapan memasuki usia pensiun dengan ketentuan:

1) Telah memenuhi masa kepesertaan minimal 10 tahun; dan

2) Nilai yang dapat diklaim yaitu sebesar 30 persen untuk perumahan atau 10 persen untuk keperluan lainnya.

"Jadi asalkan sudah memenuhi masa kepesertaan tersebut, peserta dapat mengklaim sejumlah nilai persentase tersebut. Ini berlaku bagi peserta baik yang masih bekerja atau yang mengalami PHK," tulis akun tersebut.

Sementara sisanya dapat diambil pada saat peserta memasuki usia pensiun (dalam hal ini ditentukan pada usia 56 tahun).

"Selain karena memasuki usia pensiun, klaim JHT juga dapat dilakukan bila peserta meninggal dunia (diajukan oleh ahli warisnya) atau peserta mengalami cacat total tetap," jelas Kemenaker.

 

2 dari 2 halaman

PKS Menolak

Hadirnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) RI Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) menuai reaksi penolakan. Pada Permenaker ini disebut bahwa pembayaran JHT bagi buruh yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) baru bisa diambil pada usia 56 tahun.

Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher meminta pemerintah agar mengkaji ulang, bahkan mencabut peraturan tersebut. 

"Muatan permenaker tersebut mencederai rasa kemanusiaan dan mengabaikan kondisi pekerja yang tertekan dalam situasi pandemi," katanya dalam rilis media, Sabtu (12/02/22).

Menurut Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini, ada beberapa pasal dalam Permenaker yang muatannya menunjukkan ketidakpekaan pemerintah pada situasi pandemi yang membuat pekerja ter-PHK. 

"Misalnya, aturan mengenai penerimaan manfaat Jaminan Hari Tua yang baru diberikan kepada peserta setelah berusia 56 tahun. Bayangkan, seorang peserta harus menunggu 15 tahun untuk mencairkan JHT-nya jika ia berhenti di usia 41 tahun. Ini tidak masuk akal," ujar Netty.

Menurut Netty, aturan tersebut berlaku pada peserta yang berhenti bekerja karena mengundurkan diri, terkena PHK atau meninggalkan Indonesia selama-lamanya. Dan berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan per Desember 2021, total klaim peserta yang berhenti bekerja karena pensiun hanya 3 persen, sedangkan pengunduran diri 55 persen dan alasan terkena PHK mencapai 35 persen.

“Berhenti bekerja karena PHK tentu bukan keinginan pekerja. Berhenti karena pengunduran diri pun bisa karena situasi di tempat kerja yang sudah tidak nyaman. Jadi, mengapa JHT yang sebagiannya merupakan tabungan peserta ditahan pencairannya?  Bukankah dana yang tidak seberapa tersebut justru dibutuhkan mereka untuk bertahan hidup di masa sulit ini. Jika harus menunggu sampai usia 56 tahun, bagaimana keberlangsungan pendapatan pekerja?" tanya Netty. 

Oleh karena itu, Netty meminta pemerintah mencabut peraturan tersebut sebagai bukti empati dan keberpihakan kepada pekerja di tengah pandemi yang berdampak pada pemiskinan rakyat. 

"Apalagi, gelombang PHK dan merumahkan pekerja makin besar. Ini menjadi gambaran betapa pandemi menggerus kemampuan ekonomi keluarga Indonesia. Jika pemerintah tidak menggubris peringatan ini, saya khawatir tekanan hidup dan kesulitan akan membuat rakyat semakin keras menolak dan melawan pemberlakuan peraturan tersebut," cetus Netty.

Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI & Jamsos) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Indah Anggoro Putri menyampaikan, berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Ketenagakerjaan, jumlah pekerja yang berpotensi terkena PHK hingga akhir 2021 sebanyak 143.065 orang.

Sementara itu untuk jumlah pekerja yang berpotensi dirumahkan sebanyak 1.076.242 orang, sedangkan jumlah perusahaan yang berpotensi ditutup sebanyak 2.819 perusahaan. 

Terakhir Netty meminta pemerintah agar memperbaiki tata kelola komunikasi publiknya terkait penerapan aturan. 

"Pemerintah harus dapatmembuka ruang dialog dan mendengarkan aspirasi masyarakat dengan baik.  Lakukan sosialisasi dan edukasi secara utuh jika menyangkut regulasi yang pasti akan menyentuh berbagai ruang kehidupan masyarakat secara luas," pungkasnya.

 

Â