Liputan6.com, Jakarta - Awal Februari 2022, untuk kedua kalinya, Nathania Tambunan dinyatakan terpapar Covid-19. Namun, wanita yang bekerja di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan itu merasakan gejalanya lebih ringan daripada saat terpapar Covid-19 varian Delta pada Juli 2021.
Saat itu gejala yang dirasakannya demam, batuk, flu, dan sakit tenggorokan. Awalnya, Nathania mengira dirinya hanya flu biasa karena tidak merasakan demam tinggi dan nyeri badan seperti halnya terpapar varian Delta. Tapi dia memilih untuk melakukan tes swab antigen dan hasilnya negatif.
Selang dua hari kemudian Nathania direkomendasikan untuk tes PCR oleh atasannya di kantor karena batuknya yang berdahak. Hasil tes swab PCR-nya menunjukkan positif Covid-19 dan dia langsung melakukan isolasi mandiri.
Advertisement
"Hasil PCR, tulisannya probable Omicron. Demam tetap ada tapi enggak sampai bikin nyeri badan atau sampai nggak bisa bangun dari tempat tidur, flu juga ada hanya pilek aja, batuk enggak berat," kata Nathania kepada Liputan6.com.
Nathania merupakan satu di antara puluhan ribu orang yang dinyatakan terinfeksi Covid-19. Penambahan kasus harian positif Covid-19 di Indonesia sudah lebih 20 ribu orang 3 Februari 2022. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memprediksi puncak penambahan kasus di tanah air akan terjadi pada akhir Februari atau awal Maret 2022.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi memperkirakan kenaikan kasus dapat mencapai tiga sampai enam kali lipat dibandingkan saat ini. Dari penambahan kasus harian Covid-19 di Indonesia sebagian besar didominasi oleh varian Omicron.
"Kalau lihat data genome squencing yang digunakan oleh para surveilans (proporsi kasus) 96 persen itu oleh Omicron dari data kasus saat ini, 4 persen itu dari jenis varian yang lain," kata Nadia kepada Liputan6.com.
Peningkatan pelacakan kasus atau tracing kepada para kontak erat pasien Covid-19 sangat diperlukan. Hal itu, kata Nadia, guna membatasi atau memutus penyebaran Covid-19 yang semakin masif. Untuk itu dibutuhkan kerjasama dari Pemerintah Daerah (Pemda) dalam peningkatan testing dan tracing kepada masyarakat.
Peningkatan itu juga sebagai bentuk antisipasi adanya lonjakan tingkat keterisian tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR) di rumah sakit (RS) rujukan. Lanjut Nadia, sebagian besar pasien varian Omicron bergejala ringan bahkan tanpa gejala. Namun hal tersebut tidak dapat diremehkan begitu saja.
Masyarakat pun diimbau untuk tetap menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Lalu segera mendapatkan vaksinasi Covid-19 dosis lengkap hingga dosis ketiga untuk mereka yang telah enam bulan menerima dosis kedua. RS saat ini akan diprioritaskan untuk merawat pasien Covid-19 dengan gejala berat.
Untuk gejala ringan dan tak bergejala dapat melakukan isolasi mandiri ataupun terpusat dengan memanfaatkan layanan telemedisin. Isolasi mandiri untuk pasien tanpa gejala ataupun ringan dapat membantu mengurangi beban RS. Saat ini menurut Nadia, BOR secara nasional masih dalam angka aman, yaitu di bawah 60 persen.
"Kalau lihat angkanya walaupun ada beberapa provinsi yang cukup tinggi jumlah BOR (nasional) kita 24 persen (data Rabu, 9 Februari 2022)," ucapnya.
Prioritas Lansia dan Komorbid
Selain kasus positif, kematian akibat Covid-19 juga alami peningkatan meskipun tak sebanyak saat gelombang dua. Kematian akibat Covid-19 mayoritas terjadi pada lansia dengan penyakit penyerta atau komorbid yang tidak terkontrol.
Sebagian besar belum divaksin dan ada pula yang sudah divaksin. Saat ini Nadia juga meminta agar setiap Pemda dapat meningkatkan cakupan vaksinasi di wilayahnya berbarengan dengan dosis ketiga atau booster. Peningkatan itu untuk memperkuat imunitas masyarakat.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per Minggu (13/2/2021) pukul 12.00 WIB, cakupan vaksinasi Covid-19 di Indonesia mencapai 188.282.851 atau 90,41 persen untuk dosis pertama dan 135.766.676 atau 65,19 persen untuk dosis kedua. Lalu sebanyak 7.048.731 dosis atau 3,38 persen untuk booster.
Cakupan dosis pertama baru mencapai 73,89 persen atau 15.925.085 dari total 21.553.118 kelompok lansia. Dengan begitu, masih ada 26,11 persen atau 5.628.033 lansia yang belum menerima vaksinasi. Sedangkan untuk lansia penerima vaksinasi dosis kedua baru mencapai 50,36 persen atau 10.854.781 orang. Untuk mencapai cakupan vaksinasi lengkap sebesar 60 persen sejumlah pendekatan akan dilakukan.
"Vaksinasi door to door, vaksinasi RT/RW dan berbasis adat," ujar Nadia.
Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Erlina Burhan menyebut peningkatan jumlah pasien bergejala Covid-19 sudah terjadi sejak Januari 2022. Jumlah tersebut terus meningkat hingga saat ini. Rata-rata pasien yang berdatangan ke RS bergejala ringan.
Namun, saat datang ke RS dengan terkonfirmasi positif Covid-19 pasien akan dipilah berdasarkan gejala yang dirasakan. Pasien tidak bergejala dan ringan akan langsung diarahkan ke poliklinik dan nantinya dipulangkan untuk melakukan isolasi mandiri atau terpusat milik pemerintah. Sedangkan pasien bergejala sedang dan berat akan langsung mendapatkan perawatan di ruang isolasi.
Pasien akan dipindahkan ke ICU jika mengalami sejumlah penurunan. Seperti halnya laju nafas yang semakin cepat lebih dari 30 kali per menit ataupun saturasi di bawah 90 persen akan langsung diarahkan ke ICU. Sebab pasien tersebut membutuhkan perawatan yang lebih intensif.
"Ini membutuhkan pemberian oksigen yang lebih banyak dan itu bisa dilakukan melalui ventilator. Yang akhirnya pasien ini akan masuk ke ICU dan diberikan oksigen melalui ventilator," kata Erlina kepada Liputan6.com.
Dengan adanya peningkatan kasus Covid-19, Erlina menyebut 80 persen dari mereka diakibatkan varian Omicron. Sebenarnya diagnosis Omicron harus berdasarkan pemeriksaan khusus yakni whole genome sequencing (WGS). Namun sejumlah RS di Jakarta telah melengkapi tes swab dengan metode S-gene target failure (PCR-SGTF).
Metode itu mengandalkan pemeriksaan beberapa target genetik sekaligus dalam satu sampel. PCR-SGTF juga dinilai lebih cepat dalam mengidentifikasi dan menangani Covid-19 varian Omicron. Selain itu mempermudah untuk keperluan deteksi dini. "SGTF yang bisa mendiagnosis kearah pemikiran kita sebut sebagai probable Omicron dan data menunjukkan 80 persen dari peningkatan kasus," ujar Erlina.
Efektivitas Vaksin Booster
Erlina optimistis RS tidak akan kewalahan menangani pasien Covid-19 ketika para pasien tak bergejala dan ringan melakukan isolasi mandiri atau terpusat. Selain itu untuk menekan penyebaran kasus masyarakat diimbau untuk terus disiplin menerapkan protokol kesehatan atau 6M. Yakni memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, membatasi mobilisasi dan menghindari makan bersama. Lalu diimbangi dengan cakupan vaksinasi Covid-19.
"Kuncinya adalah masyarakat mau divaksin kemudian disiplin menjalankan protokol kesehatan dan untuk orang-orang yang beresiko untuk mudah tertular atau sangat rentan seperti lansia atau orang dengan komorbid yang tidak terkontrol dan orang yang belum di vaksin itu sebaiknya untuk saat-saat sekarang di rumah aja," Erlina menandaskan.
Mengenai vaksin ketiga atau booster, pakar Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany meyakini pemberian tersebut akan efektif untuk mengadang varian yang pertama kali ditemukan di Afrika Selatan itu.
Meskipun belum ada bukti yang cukup valid, booster dianggap sama efektifnya dengan vaksin sebelumnya. Sebab virus yang dihadapi sama. Hanya saja kata Hasbullah, terdapat mutasi di beberapa bagian virus Covid-19 yang membuatnya lebih cepat menular.
"Vaksin booster ini InsyaAllah efektif, saya bilang InsyaAllah karena memang Omicron ini barang baru, mutasi baru yang bisa jadi mempunyai karakter tersendiri sehingga vaksin yang sudah membentuk antibodi di badan kita bisa dikalahkan," kata Hasbullah kepada Liputan6.com.
Vaksinasi bukanlah hal utama yang dapat melindungi diri agar virus tidak bisa masuk ke dalam tubuh. Selain itu, kata Hasbullah, masyarakat tetap diminta untuk menerapkan protokol kesehatan yang telah ditetapkan. Sebab vaksinasi hingga prokes yang baik dapat mengurangi risiko gejala parah dan kematian akibat Covid-19.Â
Â
Advertisement
Antisipasi Pemerintah
Pemerintah sendiri sudah mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19 gelombang ketiga ini. Beberapa waktu lalu, level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sejumlah daerah kembali dinaikkan ke level 3.
Kebijakan itu berlaku selama 8-14 Februari 2022. Dengan penerapan PPKM Level 3, secara otomatis sejumlah fasilitas publik akan menyesuaikan pembatasan hingga waktu operasionalnya. Wilayah tersebut yaitu Jabodetabek, Bandung Raya, Bali, dan Yogyakarta.
Kemudian terdapat 37 kabupaten/kota di luar Jawa-Bali yang berstatus PPKM level 3. Jumlah tersebut meningkat yang sebelumnya hanya tiga kabupaten/kota, yaitu Jayawijaya, Lanny Jaya, dan Jayapura. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan tingkat konfirmasi harian Covid-19 di luar Jawa-Bali masih rendah.
Airlangga menilai penyebaran kasus saat ini memiliki pola yang sama dengan penularan varian Delta pada pertengahan tahun lalu.Kendati begitu angka reproduksi kasus efektif di beberapa daerah mengalami kenaikan.
"Angkanya, di Sumatera tetap, Kalimantan naik 1,2, Maluku naik 1,12, Papua 1,07, Nusa Tenggara 1,04, Sulawesi 1,02," kata Airlangga dalam Konferensi Pers Evaluasi PPKM, Senin (7/1/2022).
Untuk tingkat keterisian rumah sakit di luar Jawa-Bali dinilai masih rendah. BOR paling tinggi yaitu di Sulteng 15 persen, Sulsel 11 persen, Lampung 11 persen, Kalsel 10 persen, Bengkulu 10 persen, dan sisanya dibawah 10 persen. Lalu tingkat vaksinasi baru dua provinsi dengan tingkat vaksinasi kedua di atas 70 persen. Yakni Kepulauan Riau 85,6 persen dan Kalimantan Timur 71,2 persen.
Sedangkan, Menteri Koordinator Bidang kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan peningkatan level PPKM bukan karena tingginya kasus Covid-19. "Hal ini bukan karena tingginya kasus, tetapi karena rendahnya tracing. Bali (naik status level PPKM) karena rawat inap yang meningkat," Luhut menjelaskan saat konferensi pers, Senin (7/2/2022).
Â
Fenomena Puncak Gunung Es
Di lapangan, kasus Covid-19 di Indonesia memang terus bertambah. Bahkan, pada 12 Februari 2022 penambahan kasus mencapai 55.209 kasus.
Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman mengaku tak heran dengan jumlah penambahan tersebut. Jumlah itu menurut Dicky sebagai fenomena puncak gunung es dan alarm anak tangga gelombang tiga. Sebab Omicron berpotensi besar menginfeksi banyak orang atau empat kali dari varian Delta. Kecepatan penularannya juga dua kali lipat.
Menurut Dicky, hanya dalam 10 pekan sejak temuan pertama Omicron di Afrika Selatan sebanyak 90 juta kasus yang terinfeksi. Data tersebut mengalahkan jumlah kasus selama setahun pertama pandemi Covid-19. Sedangkan untuk Indonesia, jika berpatokan dengan gelombang sebelumnya penambahan kasus seharusnya sudah mencapai 100 ribu orang per hari.
"Karena setidaknya kalau bicara dari konteks Indonesia dengan belajar dari kondisi waktu Delta setidaknya kita saat ini punya gap atau jeda sekitar 10 kali dari antara yang ditemukan oleh pemerintah dengan yang ada di masyarakat," kata Dicky kepada Liputan6.com.
Dicky mengaku telah memprediksi puncak gelombang tiga di Indonesia sejak November 2022. Hal tersebut telah berulang kali disampaikannya kepada pemerintah. Meskipun diasumsikan lebih ringan, Omicron tidak dapat dianggap remeh begitu saja. Varian Omicron berpotensi meningkatkan kematian pada kelompok lansia, pengidap penyakit penyerta atau komorbid yang tidak terkontrol, dan anak-anak.
"Karena kalau kita gagal deteksinya di rumah-rumah dan telat deteksi kelompok komorbid-nya dan lansianya maka angka kematiannya bisa tinggi bisa jauh lebih tinggi dari Delta," ujarnya.
Â
Sudah Efektif?
Strategi yang dilakukan pemerintah saat ini, menurut Dicky sudah relatif efektif. Misalnya peningkatan level 3 Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di sejumlah kabupaten/kota ataupun wilayah aglomerasi. Dengan adanya PPKM level 3 secara otomatis terdapat sejumlah pembatasan yang harus dipenuhi oleh masyarakat ataupun fasilitas publik.
Kendati begitu cakupan vaksinasi dan booster menjadi salah satu sorotan. Cakupan vaksinasi dosis kedua untuk kelompok lansia di Indonesia masih di bawah 60 persen. Dicky pun meminta cakupan tersebut dapat segera dipenuhi. Saat puncak gelombang tiga lansia menjadi salah satu kelompok yang berkontribusi besar terhadap perawatan di RS.
Lalu, Dicky juga menyoroti mengenai stategi kemampuan testing dan tracing. Keduanya merupakan patokan dalam keberhasilan pelaksanaan isolasi atau karantina. Pelacakan yang cepat akan membantu memutus penyebaran virus. Pemerintah diminta untuk mempercepat tracing kepada kontak erat menjadi 24 jam.Â
"Orang menempati isolasi karantina karena dia terdeteksi sebagai kasus kontak kan. Nah kalau isolasi karantina efektif maka kita bisa memutus sebagian besar potensi penularan," ucap dia.
Selain itu kedisiplinan pelaksanaan protokol kesehatan juga diperlukan. Sebab gelombang Covid-19 lanjutan diprediksi masih akan bermunculan. Dicky memprediksi gelombang empat paling cepat muncul sekitar lima bulan setelah penurunan kasus di gelombang ketiga. Namun gelombang lanjutan tak akan separah sebelumnya.
"Artinya tetap terjadi tapi jumlah yang terinfeksi juga relatif lebih kecil, kemudian bertambah beban ke faskes dan juga kematian jadi jauh sangat kecil. Sehingga melihat aktivitas mudik dan lebaran ini bisa bisa terlaksana jauh lebih kecil risikonya dibanding tahun lalu, asal kita semua komitmennya dalam 3T, 5M dan vaksinasi," Dicky menjelaskan.
Â
Advertisement
Penggunaan Ruang Perawatan RS
Sementara itu, Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo menyebut saat ini hal yang terpenting untuk mengantisipasi puncak gelombang ketiga yaitu dalam penggunaan ruang perawatan RS. Yakni ruang yang ada harus difokuskan untuk pasien Covid-19 dengan gejala sedang hingga berat. Sebab tingkat kematian atau mortalitas akibat Covid-19 sangat penting.
"Masuk RS ya karena mampu membayar itu yang membuat rusak. Itu nakes-nya kemungkinan tertular tinggi karena mereka merawat orang orang yang tidak perlu dirawat itu yang penting," kata Windhu kepada Liputan6.com.
Menurut Windhu, pemerintah Indonesia telah memiliki instrumen pengendalian Covid-19 yang sudah sesuai dengan standar WHO. Instrumen itu dapat digunakan berdasarkan indikator yang telah ditetapkan. Misalnya dalam penentuan kenaikan level PPKM setiap wilayah. Kemudian penggunaan dari aplikasi PeduliLindungi.
Kendati begitu implementasi penggunaan aplikasi dan pelaksanaan PPKM masih dipertanyakan. Di lapangan kata Windhu, banyak pembiaran yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Seperti halnya penggunaan QR code dalam aplikasi PeduliLindungi di area fasilitas publik. Padahal hal tersebut dapat membantu dalam pengendalian Covid-19.
"Tempat area publik hanya abal-abal aja sekadar formalitas pasang barcode tapi tidak dipindai secara individual dan tidak diawasi oleh petugas. Setelah dipindah tidak dilihat, jangan-jangan hitam tetap masuk," ucap dia.
Kemudian mengenai cakupan vaksinasi sebagai pembentukan imunitas warga. Windhu meminta agar setiap wilayah dapat mengejar standar vaksinasi hingga booster. Terutama untuk para lansia dan masyarakat dengan penyakit penyerta. Selain itu peningkatan testing dan tracing juga sangat diperlukan. Meskipun saat ini kedua instrumen tersebut tidak dapat mengejar tingginya kasus di masyarakat.
Windhu optimistis penggunaan instrumen yang benar dapat memberikan rasa aman dan terkendali dalam pengendalian Covid-19. "Kalau semua instrumen kita gunakan dengan bagus, senjata PeduliLindungi kita gunakan sebagai standar, kita relatif bagus dan saya optimis untuk menyelesaikan (pandemi) ini," Windhu menjelaskan.
Infografis
Advertisement