Sukses

3 Respons DPR Terkait Aturan JHT Baru Bisa Cair di Usia 56 Tahun

DPR RI angkat bicara terkait adanya Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang mengatur JHT baru bisa cair 100 persen saat peserta berusia 56 tahun.

Liputan6.com, Jakarta - DPR RI angkat bicara terkait adanya aturan baru yang mengatur dana Jaminan Hari Tua (JHT) baru bisa cair 100 persen saat pesertanya berusia 56 tahun.

Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT.

Anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay mengatakan, sejauh ini dalam rapat dengan Kementerian Tenaga Kerja dan BPJS Ketenagakerjaan, sama sekali tidak pernah membicarakan perubahan aturan tentang JHT.

"Mestinya, rencana terkait penetapan kebijakan ini sudah di-sounding dulu ke DPR. Mulai dari payung hukumnya, manfaatnya bagi pekerja, sampai pada keberlangsungan program JHT ke depan. Dengan begitu, kalau ditanya, kita juga bisa menjelaskan," ujar Saleh dalam keterangannya, Minggu 13 Februari 2022.

Sementara itu, Ketua DPR RI Puan Maharani meminta pemerintah meninjau ulang Peraturan Menteri Tenaga Kerja atau Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT tersebut.

"Perlu diingat, JHT bukan lah dana dari Pemerintah, melainkan hak pekerja pribadi, karena berasal dari kumpulam potongan gaji teman-teman pekerja, termasuk buruh," kata Puan, Senin (14/2/2022).

Berikut sederet respons DPR RI usai munculnya aturan baru Jaminan Hari Tua (JHT) yang baru bisa cair 100 persen saat peserta berusia 56 tahun dihimpun Liputan6.com:

2 dari 4 halaman

1. Fraksi PAN DPR RI

Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay mengaku sejauh ini dalam rapat dengan Kementerian Tenaga Kerja dan BPJS Ketenagakerjaan tidak sama sekali membicarakan perubahan tentang Jaminan Hari Tua (JHT), yang kini dituangkan dalam Permenaker Nomor 2 tahun 2022.

"Mestinya, rencana terkait penetapan kebijakan ini sudah disounding dulu ke DPR. Mulai dari payung hukumnya, manfaatnya bagi pekerja, sampai pada keberlangsungan program JHT ke depan. Dengan begitu, kalau ditanya, kita juga bisa menjelaskan," kata dia dalam keterangannya, Minggu 13 Februari 2022.

Politikus PAN ini mengatakan, bahwa Permenaker tersebut masih sangat layak untuk diperbincangkan di publik. Menurutnya. diskusi publik itu dimaksudkan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, terutama dari kalangan pekerja.

Saleh mengungkapkan, kalau hasil diskusi publik itu ternyata menyebut bahwa Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 ini merugikan para pekerja, kita mendorong agar dicabut.

"Harus dibuka ruang untuk diskusi. Tidak baik juga kalau suatu kebijakan strategis tidak melibatkan pihak-pihak terkait," ungkap dia.

Selain itu, masih kata Saleh, munculnya perubahan ini karena ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang membuat double klaim. Namun, ada masalah di sini.

"Masalahnya, JKP itu kan payung hukumnya adalah UU Ciptaker. Apakah sudah bisa diberlakukan? Bukankah Permenaker ini dikeluarkan setelah putusan MK yang menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat?," tanya Saleh.

"Kalaupun misalnya JKP sudah boleh diberlakukan, lalu mengapa JHT harus 56 tahun? Apa tidak boleh misalnya diambil berdasarkan situasi dan kondisi pekerja? Katakanlah, misalnya, karena kondisi pekerja yang sangat sulit, lalu dibolehkan dapat JKP dan JHT? Atau banyak opsi lain yang dimungkinkan," sambungnya.

 

3 dari 4 halaman

2. Fraksi PKS DPR RI

Anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati mengingatkan bahwa pencairan JHT dibutuhkan pekerja, yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK), terutama di tengah pandemi saat ini.

Mufida mengemukakan hal itu terkait terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.

Ia mengemukakan, beleid terbaru mengatur pencarian JHT 100 persen hanya bisa dilakukan saat usia pensiun 56 tahun. Pencarian JHT sebelum usia 56 tahun bisa dilakukan dengan beberapa persyaratan dan kondisi.

Menurut Mufida, sebagai dana yang diambil dari pekerja, maka pada hakikatnya program dana JHT adalah hak pekerja.

Jika hak untuk menggunakan dibatasi harus sampai berusia 56 tahun, maka peraturan ini akan memberatkan pekerja yang membutuhkan jaring pengaman sosial di waktu yang sulit seperti saat ini.

Menurut data BPJS Ketenagakerjaan, hingga Agustus 2021, ada 1,49 juta kasus klaim JHT didominasi korban PHK dan pengunduran diri dengan peserta rentang di bawah 30 tahun atau usia produktif.

"Artinya, pekerja yang mencairkan JHT karena memang butuh karena di-PHK dan mundur dari perusahaan karena dampak pandemi. Mereka menggunakan dana JHT untuk bertahan sembari berusaha mencari pekerjaan baru. Kalau aturan JHT kini hanya bisa dicarikan saat usia pensiun, jaring pengaman untuk mereka yang di-PHK belum ada," kata Mufida dalam rilis di Jakarta.

Pada sisi lain, menurut legislator dari Fraksi PKS ini, sudah ada jaminan pensiun bagi pekerja penerima upah yang manfaatnya bisa dirasakan saat usia pensiun yang menjadi alasan pemerintah mengubah aturan pencairan JHT ini.

Menurut Mufida, peraturan ini tidak sensitif atas kondisi masyarakat saat ini. Setelah pekerja tersebut mengalami PHK dengan kesempatan kerja yang semakin sulit, serta kebijakan pengusaha yang lebih memilih menjadikan pekerjanya sebagai pegawai kontrak (PKWTT), maka dana JHT tersebut merupakan harapan terbesar dari pekerja sebagai dana bahkan untuk menyambung hidup dan modal usaha.

"Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dana uang pesangon dari pengusaha sangat sulit dan perlu waktu yang lama bagi pekerja untuk mendapatkannya. Oleh karena itu, JHT menjadi harapan terbesar karena langsung cair setelah satu bulan masa tunggu," kata dia yang dikutip dari Antara.

Ia mengungkapkan, dana peserta hakikatnya tetap milik pekerja sehingga berbagai kebijakan yang mengatur tentang proses penggunaan dana peserta BPJS Ketenagakerjaan harus berpihak kepada pekerja sebagai pemilik dana utama.

 

4 dari 4 halaman

3. Ketua DPR RI

Ketua DPR RI Puan Maharani meminta pemerintah meninjau ulang Peraturan Menteri Tenaga Kerja atau Permenaker Nomor 2 tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua atau JHT.

Sebab, Puan melihat muncul banyak penolakan atas Permenaker tersebut. Ia menegaskan, kebijakan itu sesuai peruntukan JHT, namun tidak sensitif dengam kondisi masyarakat.

"Perlu diingat, JHT bukanlah dana dari Pemerintah melainkan hak pekerja pribadi, karena berasal dari kumpulam potongan gaji teman-teman pekerja, termasuk buruh," kata Puan, Senin (14/2/2022).

"Kebijakan itu sesuai peruntukan JHT, namun kurang sosialisasi dan tidak sensitif terhadap keadaan masyarakat khususnya para pekerja," imbuhnya.

Puan menilai, Permenaker Nomor 2 tahun 2022 memberatkan para pekerja yang membutuhkan pencairan JHT sebelum usia 56 tahun. Apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19, tak sedikit pekerja yang kemudian dirumahkan atau bahkan terpaksa keluar dari tempatnya bekerja.

"Banyak pekerja yang mengharapkan dana tersebut sebagai modal usaha, atau mungkin untuk bertahan hidup dari beratnya kondisi ekonomi saat ini. Dan sekali lagi, JHT adalah hak pekerja," tutur Puan.

Puan menyebut, meski para pekerja yang terdampak PHK (bisa memanfaatkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), hal tersebut dianggap tidak cukup. Puan menilai, JKP bukan solusi cepat bagi pekerja yang mengalami kesulitan ekonomi.

"Program JKP sendiri baru mau akan diluncurkan akhir bulan ini. Untuk bisa memanfaatkannya, pekerja yang di-PHK harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang prosesnya tidak sebentar," sebutnya.

Salah satu kriteria bagi penerima manfaat JKP adalah dengan membayar iuran program JKP 6 bulan terturut-turut selama 12 bulan dalam 24 bulan saat masih bekerja. Belum lagi dana yang diterima pun tidak bisa langsung seperti layaknya JHT.

"Lantas bagaimana dengan pekerja yang kemudian mengalami PHK untuk 24 bulan ke depan dan membutuhkan dana? Mereka tidak bisa langsung menerima manfaat JKP, tapi juga tidak bisa mencairkan JHT," beber Puan.

Mantan Menko PMK ini pun menilai, subsidi atau bantuan sosial dari Pemerintah tidak bisa menjadi jawaban utama untuk masyarakat yang terkena dampak PHK. Selain karena program tersebut belum bisa menjangkau seluruh korban PHK, subsidi dan bansos bukan solusi jangka panjang.

 

(Elza Hayarana Sahira)