Liputan6.com, Jakarta Sejumlah warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah bersikeras menolak penambangan batuan andesit di tanah kelahiran mereka. Mereka menolak karena penambangan itu akan mengancam keberadaan 27 mata air di kawasan itu, yang selama ini dijadikan sumber kehidupan mereka.
Penambangan batu andesit itu akan digunakan untuk material pembangunan Bendungan Bener, yang merupakan salah satu proyek strategis nasional.
Ujung penolakan itu adalah bentrokan antara warga penolak dengan aparat gabungan TNI-Polri yang mengawal proses pengukuran tanah di daerah itu, yang berujung pada penangkapan sejumlah warga oleh aparat. Sejumlah video dan tagar atau tanda pagar #WadasMelawan, #SaveWadas hingga #WadasMemanggil pun meramaikan dunia maya termasuk media sosial.
Advertisement
Terkait konflik Wadas itu, mantan calon gubernur Jawa Tengah Sudirman Said menilai adanya kebuntuan komunikasi antar pengambil keputusan dengan masyarakat bawah.
"Letupan sosial semacam itu biasanya muncul karena ada sumbatan komunikasi. Apa yang berkembang di masyarakat sebagai kenyataan tidak ditangkap sama, atau tidak dipahami sama, dengan yang dipahami oleh pengambil keputusan. Kalau keadaan lapangan ditangkap dengan baik, tindakannya pasti sesuai dengan kebutuhan atau kesiapan di masyarakat,” kata Sudirman Said saat dihubungi Liputan6.com Senin, 14 Februari 2022.
Menurut Sudirman, perlu penyampaian pesan yang baik dan mudah dipahami kepada masyarakat Wadas pada khususnya, dan masyarakat yang lebih luas.
"Bila benar yang dikatakan oleh para pejabat pemerintah dan pimpinan aparat, semua baik-baik saja, mengapa harus ada pengerahan aparat dalam jumlah besar. Bukankah warga desa kita pada umumnya ramah, manut dan hormat pada para pemimpin,” ujar mantan Menteri ESDM era Presiden Jokowi-JK itu.
Bagi Sudirman, sumber konflik disebabkan perbedaan pemahaman antara masyarakat dengan pemimpin dan aparat. Siapapun yang bersikap berbeda, lanjutnya, selunak atau sekeras apapun sikap mereka, menunjukkan bahwa ada ketidaksepahaman yang harus dibereskan.
"Mengurus pemerintahan di masa keterbukaan seperti sekarang ini sulit sekali untuk menutupi fakta, apalagi untuk membungkam sikap warga. Saluran komunikasi dan informasi terlaku banyak,” tutur mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Palang Merah Indonesia (PMI) itu.
Terkait keberadaan analisis dampak lingkungan (AMDAL), Sudirman menyatakan sepatutnya dibahas dari para pemangku kepentingan dan warga setempat, terkait sikap dan respon atau tanggapan dari masyarakat terdampak setempat.
"Dalam analisis dampak lingkungan penambangan batu andesit, bila sudah ada, seharusnya ditulis bagaimana tanggapan warga setempat. Risikonya apa dan bagaimana mitigasinya. Kalau Amdal baik-baik saja tetapi kenyataan berbeda, maka patut dipertanyakan kredibilitas dokumen itu,” papar Sudirman.
Peran Aparat Pemda Dipertanyakan
Sudirman melihat ada persoalan serius yang harus segera dibereskan karena ketika Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo kembali datang ke Wadas untuk meminta maaf, tuntutan sebagian masyarakat masih sama. Warga Wadas bersikeras agar Gubernur Jawa Tengah membatalkan ijin usaha pertambangan batu andesit itu.
"Ada sesuatu yang serius yang harus dibereskan. Yang menjadi pertanyaan, di mana peran Pak Camat hingga Pak Bupati. Mungkin karena Izin Usaha Pertambangan memang sekarang menjadi kewenangan Gubernur atau Pemerintah Provinsi. Tetapi sebelum izin diberikan bukankah harus ada rekomendasi dari Bupati, Camat, bahkan Kepala Desa, “ ungkap dia.
Oleh karenanya, lanjut Sudirman, dialog adalah upaya terbaik. Ia berharap para pemimpin bisa benar-benar mengerjakan PR-nya namun tetap mampu memahami suasana kebatinan rakyat.
"Rakyat kita cukup hormat pada pemimpin kok. Tetapi kalau para pemimpin terjebak pada verbalisme (hanya omong besar, tidak memahami kenyataan di lapangan), terjebak pada populisme dan pencitraan, ya letupan-letupan sejenis yang terjadi di Wadas akan terulang. Semoga para pemimpin politik belajar dari kasus Wadas,” pungkas Sudirman Said.
Advertisement