Sukses

DPR Pertanyakan Kebijakan BPJS Kesehatan Jadi Syarat Jual Beli Tanah

Kartu BPJS Kesehatan dijadikan syarat pendaftaran hak atas tanah, Komisi II DPR RI menilai kebijakan tersebut tak masuk akal dan merupakan bentuk kesewenang-wenangan.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akan mewajibkan syarat fotokopi Kartu BPJS Kesehatan untuk pendaftaran hak atas tanah atau satuan rumah susun yang diperoleh dari jual beli.

Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Luqman Hakim menilai kebijakan tersebut tak masuk akal dan dinilai sebagai bentuk kesewenang-wenangan.

"Terbitnya aturan yang memaksa rakyat menjadi peserta BPJS Kesehatan dengan menjadikannya sebagai syarat dalam layanan pertanahan merupakan bagian dari praktik kekuasaan yang konyol, irasional dan sewenang-wenangan," kata Luqman Hakim pada wartawan, Sabtu (19/2/2022).

Luqman menegaskan, tidak ada hubungan antara BPJS Kesehatan dengan jual beli tanah. Dia menambahkan, secara filosofi konstitusi, kepemilikan tanah dan jaminan sosial kesehatan merupakan hak rakyat yang harus dilindungi negara.

Luqman menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban melindungi hak rakyat, namun dengan catatan negara tidak boleh memberangus hak rakyat lainnya. Ia mengaku curiga bahwa kebijakan ini sengaja ingin menjatuhkan Presiden Jokowi.

"Lahirnya kebijakan ini membuat saya curiga adanya anasir jahat yang menyusup di sekitar Presiden Jokowi dan jajaran kabinetnya dan dengan sengaja mendorong lahirnya kebijakan yang membenturkan presiden dengan rakyat," kata dia. 

2 dari 2 halaman

Minta Kebijakan Dihapus

Politikus PKB ini meminta Menteri ATR/BPN menghapus kebijakan yang akan diterapkan Maret 2022 itu.

"Saya minta Mentari ATR/BPN Sofyan Djalil membatalkan kebijakan Kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat dalam layanan pertanahan. Jika di dalam Instruksi Presiden nomor 1 tahun 2022 terdapat kekeliruan yang terkait dengan masalah pertanahan," kata dia. 

Luqman mengingatkan bahwa tugas menteri adalah membantu presiden dan memberi masukan agar tidak ada kebijakan yang merugikan rakyat, bukan malah sebaliknya.

"Seharusnya Menteri Sofyan Djalil sebagai pembantu presiden, memberi masukan agar inpres itu direvisi sehingga rakyat tidak dirugikan. Jangan malah sebaliknya, bersikap seolah tidak tahu ada masalah dan langsung melaksanakannya," pungkas dia.