Sukses

Dilema Pengrajin Tahu Tempe di Bekasi, Antara Solidaritas dan Urusan Dapur

Zainal pun mengakui aksi mogok sangat berdampak pada penghasilan sehari-hari. Sehingga kebutuhan dapur di rumahnya pun tidak terpenuhi.

Liputan6.com, Bekasi - Hari kedua aksi mogok massal pengrajin tahu tempe, sejumlah pedagang mengaku dilema. Satu sisi pedagang tahu tempe ingin harga kedelai kembali stabil, namun di sisi lain mereka terpaksa kehilangan pendapatan.

Dengan alasan menjaga kekompakan demi mendapat perhatian pemerintah dan masyarakat, para pengrajin tahu tempe rela mengorbankan penghasilan mereka dengan mogok berjualan selama tiga hari.

"Paling tidak biar masyarakat tahu kalau harga kedelai mahal. Kalau untuk menaikkan harga kan masyarakat agak susah. Lalu pemerintah biar ada perhatian, kok sampai segini tingginya harga kedelai, jadi biar dicarikan solusi," kata Zainal Arifin, pengrajin tempe Pasar Jatiasih, Kota Bekasi, kepada Liputan6.com, Selasa (22/2/2022).

Menurutnya, aksi mogok massal ini kompak diikuti seluruh pengrajin tahu tempe sejabodetabek. Jika ada pedagang yang kedapatan berjualan, maka akan diberi sanksi sesuai kesepakatan.

"Jadi kalau ada yang membelot (berdagang), produksi ya diambil, dan nanti kita bagi-bagi ke umum karena orang itu udah enggak menjaga kekompakan," ujarnya.

Zainal mengungkapkan, harga kedelai mulai tak stabil sejak diambil alih pihak swasta. Harga kedelai sempat mengalami beberapa kali kenaikan yang selalu mendapat protes pengrajin tahu tempe.

Dan dalam beberapa bulan terakhir, Zainal mengaku harga kedelai impor terus naik setiap harinya. Dari yang semula Rp 10.000 per kg, saat ini naik menjadi Rp 12.000. Kondisi ini membuat pedagang bingung mematok harga kepada konsumen.

"Kalau harga kedelai mencapai Rp 12.000 per kg, itu sudah susah. Yang ada kita habis menjual, buat belanja lagi enggak bisa. Jadinya kita gimana ya. Kalau berhenti mau usaha apa, diterusin setiap hari, kita harus nombok," keluhnya.

"Kalau untuk tempe susah untuk naik. Paling ya kita cari strategi sendiri, dikecilin ukuran tempenya. Kalau memang naik paling maksimal seribu itu udah diprotes sama konsumen, jadi susah," ungkapnya.

Zainal menjelaskan, sebelum harga kedelai tembus Rp 12.000, ia menjual tempe sebesar Rp 5.000 per potong. Dan setelah harga kedelai naik, Zainal pun menjual ke konsumen seharga Rp 6.000.

"Tapi dari konsumen itu selalu protes. Sedangkan untuk harga jual Rp 6.000 dengan harga kedelai Rp 12.000, itu sudah sangat minim sekali, sudah termasuk murah," akunya.

Ibarat dilema, Zainal pun mengakui aksi mogok sangat berdampak pada penghasilan sehari-hari. Namun ia bersama pengrajin tahu tempe lainnya sudah menyiapkan diri untuk menerima resiko tersebut.

"Ya kalau dampak kita memang harus siap menerima dalam libur tiga hari ini. Namanya enggak ada pemasukan sama sekali, sedangkan kita butuh makan dan keperluan lain. Tapi mau enggak mau ya, dengan cara gimana lagi kalau kita enggak mogok begini," ucapnya.

Karenanya ia menegaskan akan kembali berjualan setelah aksi mogok selesai, meski pun harga bahan baku kedelai impor masih belum stabil.

"Sekarang begini, kalau kita lanjut mogok, kita mau makan apa. Ya mau enggak mau, dengan adanya mogok ini masyarakat biar tahu, mungkin menerima tempe kita perkecil atau dengan harga naik sedikit," jelasnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pemerintah Diminta Stabilkan Harga

Seperti harapan rekan-rekannya, Zainal berharap aksi mogok ini bisa disikapi pemerintah dengan menstabilkan kembali harga kedelai. Terlebih di tengah kondisi pandemi, sulit untuk menaikkan harga tempe di saat daya beli masyarakat menurun.

"Harapannya biar pemerintah ada perhatian untuk harga kedelai kembali stabil. Terus untuk kedelai bisa diambil alih oleh pemerintah lagi, bukan swasta," imbuhnya.

Sementara Kepala Dinas Industri dan Perdagangan (Indag) Kota Bekasi, Tedy Hafni, mengatakan kenaikan harga kedelai impor dipicu naiknya harga kedelai internasional, imbas penurunan produksi negara-negara produsen.

"Kenaikan harga diakibatkan oleh naiknya harga kedelai dunia. 90 persen kebutuhan kedelai Indonesia dari impor. Sementara suplai dari negara eksportir menurun akibat faktor cuaca di Argentina dan USA," kata Tedy saat dikonfirmasi.

Ia pun mengaku pemerintah daerah tengah mencari solusi, diantaranya berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat untuk melakukan langkah-langkah impor dan subsidi, atau insentif kepada para pengrajin tahu tempe.

"Pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian, ke depan harus lebih memikirkan bagaimana meningkatkan produksi kedelai dalam negeri, sehingga kebutuhan kedelai kita bisa terpenuhi," tandasnya.

(Bam Sinulingga)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.