Liputan6.com, Jakarta Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar sidang vonis terhadap mantan Direktur Utama PD Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles Pinontoan, hari ini Kamis (24/2/2022).
"Hari ini, diagendakan pembacaan putusan terdakwa Yoory Cornelis," ujar Jaksa KPK Takdir Suhan dalam keterangannya.
Takdir berharap majelis hakim menyatakan Yoory terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tanah di Munjul, Pondok Rangon, DKI Jakarta. Takdir berharap hakim memvonis Yoory sesuai dengan tuntutan.
Advertisement
"Kami berharap majelis hakim akan memutus perkara ini sesuai dengan permohonan dalam surat tuntutan tim jaksa dan menolak seluruh bantahan dari terdakwa dan tim penasihat hukumnya," kata Takdir.
Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menuntut menjatuhkan hukuman pidana 6 tahun 8 bulan penjara denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan terhadap Yoory Corneles Pinontoan.
Jaksa menuntut hakim menyatakan Yoory terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tanah di Munjul, Pondok Rangon, DKI Jakarta.
Hal yang memberatkan tuntutan yakni lantaran perbuatan Yoory tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Perbuatan Yoory juga merugikan keuangan negara dan daerah.
Tak hanya itu, Yoory sebagai Direktur Utama di BUMD yang menjalankan program Pemprov DKI merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah, khususnya Pemprov DKI Jakarta.
Sementara hal yang meringankan yakni, Yoory dianggap mengakui dan menyesali perbuatannya, belum pernah dihukum dan tidak menikmati hasil tindak pidana.
Dalam surat dakwaan, disebutkan perbuatan Yoory atas pengadaan tanah Munjul memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi, yaitu memperkaya Anja Runtuwene dan Rudy Hartono Iskandar selaku pemilik korporasi PT Adonara Propertindo sebesar Rp 152.565.440.000.
Uang hasil korupsi pembayaran atas pengadaan tanah Munjul dipergunakan Rudi dan Anja untuk kepentingan pribadi, seperti pembelian mobil, apartemen dan pembayaran kartu kredit. Uang juga digunakan untuk keperluan operasional perusahaannya salah satunya PT Rhys Auto Gallery yang masih satu grup dengan korporasi PT Adonara Propertindo.
"Bahwa uang pembayaran atas tanah Munjul yang diterima di rekening atas nama Anja Runtuwene tersebut seluruhnya berjumlah Rp 152.565.440.000, dan telah dipergunakan Anja Runtuwene dan Rudy Hartono Iskandar selaku pemilik korporasi PT Adonara Propertindo, antara lain untuk keperluan operasional perusahaan, ditransfer ke PT Rhys Auto Gallery yang masih satu grup dengan korporasi PT Adonara Propertindo, maupun keperluan pribadi Anja Runtuwene dan Rudy Hartono Iskandar seperti pembelian mobil, apartemen, dan pembayaran kartu kredit," kata jaksa KPK dalam surat dakwaan.
Kesalahan Yoory
Pada dakwaan kasus itu disebutkan, Sarana Jaya sebagai BUMD milik pemprov DKI Jakarta bertujuan untuk menyediakan tanah, pembangunan perumahan dan bangunan (umum serta komersil) maupun melaksanakan proyek-proyek penugasan dari Pemprov DKI Jakarta seperti pembangunan hunian DP 0 rupiah dan penataan kawasan niaga Tanah Abang mendapat Penyertaan Modal Daerah (PMD) DKI Jakarta.
Pada 10 Desember 2019, Sarana Jaya menerima pencairan PMD sebesar Rp 350 miliar dan pada 18 Desember 2019 mendapat pencairan PMD tahap II sebesar Rp 450 miliar sehingga total PMD yang didapat adalah Rp 800 miliar.
Yoory yang mengetahui tanah Munjul tidak bisa digunakan untuk proyek hunian DP 0 rupiah karena berada di zona hijau tetapi setuju membayar tanah kepada PT Adonara sehingga total uang yang diterima di rekening Anja Runtuwene adalah berjumlah Rp 152.565.440.000.
Atas perbuatannya, Yoory didakwa melanggar pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Advertisement