Liputan6.com, Jakarta Stunting menjadi salah satu masalah kesehatan anak yang masih tergolong tinggi di Indonesia, baik yang bersifat akut maupun kronis. Sayangnya, stunting yang menjadi permasalahan gizi balita kurang dipahami para orang tua terutama pasangan muda.Â
Ya, stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), terhitung sejak janin hingga anak berusia 23 bulan.
Baca Juga
Anak tergolong stunting apabila panjang atau tinggi badannya berada di bawah minus dua standar deviasi panjang atau tinggi anak seumurnya. Stunting harus diwaspadai karena dapat menyebabkan kemampuan kognitif anak tidak maksimal yang disertai perkembangan fisik terhambat.
Advertisement
Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 menunjukan angka stunting secara nasional mengalami penurunan sebesar 1,6% dari 27.7% pada 2019 menjadi 24,4% pada 2021. Meski demikian, angka tersebut masih di atas standar yang ditoleransi Badan Kesehatan Dunia WHO, yaitu di bawah 20%.
Oleh karena itu, percepatan penurunan stunting menjadi prioritas pembangunan yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting di mana angka prevalensinya ditargetkan turun menjadi 14% pada 2024.
Untuk mencegah stunting atau meminimalisir prevalensi stunting di Indonesia, Pemerintah melakukan berbagai intervensi gizi spesifik dan sensitif yang fokus sasarannya adalah calon pengantin. Itu karena calon pengantin nantinya melahirkan sumber daya manusia Indonesia di masa depan.
Maka dari itu, untuk mencegah stunting, setiap pasangan calon pengantin wajib memiliki kesehatan lahir dan batin yang baik, paham informasi yang benar tentang kapan akan memiliki anak, termasuk jumlah anak dan jarak kelahirannya serta pola asuh yang tepat.
Berkaitan dengan hal tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bersama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) fokus mengampanyekan Empat 'Terlalu' (4T) dalam pencegahan Stunting.Â
"Kami mempunyai formula jitu untuk mencegah stunting, yaitu Hindari Empat ‘Terlalu’ yaitu Terlalu Muda, Terlalu Tua, Terlalu Dekat, dan Terlalu banyak," ujar Deputi Advokasi Penggerakan dan Informasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sukaryo Teguh Santoso dalam diskusi Strategi Komunikasi Stunting Tahun 2022 yang diselenggarakan di Solo beberapa waktu lalu.
Untuk diketahui 4T adalah kampanye yang fokus pada empat isu yang dianggap menjadi penyebab tingginya angka stunting, yaitu usia ibu yang Terlalu muda dan Terlalu tua, jarak persalinan yang Terlalu sering, serta jumlah persalinan yang Terlalu banyak.
Â
Selain kampanye 4T, penyuluhan terhadap calon pengantin atau masa pranikah juga menjadi fokus sasaran program prioritas. BKKBN bekerja sama dengan Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kementerian Agama menghimbau dilakukan pemeriksaan calon pengantin tiga bulan sebelum pernikahan.
Selain itu, pola pengasuhan juga menjadi hal yang harus diperhatikan. Sukaryo mengatakan praktek pengasuhan yang tidak baik menjadi faktor utama penyebab stunting pada anak. Malpraktek pengasuhan biasanya dikarenakan kurangnya pengetahuan orang tua tentang kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan.Â
Untuk mencapai target prevalensi stunting 14%, Kemenkominfo terus melakukan terobosan di bidang komunikasi publik. Kominfo juga mendorong kolaborasi dengan berbagai instansi di sektor terkait dan mengkampanyekan pemanfaatan kearifan lokal, seperti makanan lokal yang berfungsi meningkatkan nutrisi dan gizi masyarakat.
Kemenkominfo sangat mengharapkan kerja sama dan keterlibatan aktif dari seluruh pihak untuk bersama-sama mewujudkan Indonesia Emas 2045 SDM Unggul dan Berkualitas, melalui upaya percepatan penurunan stunting.
"Melalui kampanye terstruktur empat ‘Terlalu’, konseling, dan pemeriksaan kesehatan dalam tiga bulan pra nikah diharapkan dapat berkontribusi sebagai upaya percepatan penurunan stunting di Indonesia," ujar Direktur Informasi dan Komunikasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kemenkominfo, Wiryanta.
Â
(*)