Sukses

Usulan Penundaan Pemilu 2024, Pakar Hukum Tata Negara: Pembangkangan Konstitusi

Usulan penundaan Pemilu 2024 menjadi tidak sejalan dengan konstitusi dan UU tentang Pemilu itu sendiri.

Liputan6.com, Jakarta - Usulan penundaan pemilu 2024 yang digulirkan sejumlah pihak dinilai Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, sebagai pembangkangan terhadap konstitusi.

Fahri mengatakan, penundaan pemilu yang berdampak pada perpanjangan masa jabatan pejabat publik, adalah tidak sejalan dengan semangat konstitusi. "Usulan penundaan pemilu merupakan constitution disobedience atau pembangkangan terhadap konstitusi," ujar Fahri Bachmid dalam keterangannya di Jakarta, seperti dilansir Antara.

Dia mengungkapkan, usulan penundaan pemilu 2024 tersebut tentunya tidak terwadahi serta tidak dikenal dalam rumusan norma konstitusi. Sehingga, usulan tersebut menjadi tidak sejalan dengan konstitusi dan UU tentang Pemilu itu sendiri.

"Dengan demikian, usulan itu hanya dapat dipandang sebagai "ius constituendum" atau konsep hukum yang dicita-citakan, dan belum diakomodasi dalam konstitusi," terang Fahri.

Sebagai konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 mengatur tentang siklus pelaksanaan Pemilu di Indonesia setiap lima tahun sekali. Ini sebagai perwujudan hak asasi politik warga negara untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD, dan DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional, secara doktrinal, tentu menempatkan konstitusi sebagai hukum dasar yang tertinggi, dan wajib untuk dilaksanakan, bukan untuk diperdebatkan yang pada akhirnya melahirkan sikap pembangkangan terhadap nilai serta norma konstitusi itu sendiri, constitution disobedience.

 

2 dari 2 halaman

Tidak Ada Peluang Perpanjang Masa Jabatan

"Pada hakikatnya UUD NRI Tahun 1945 harus dipedomani dan dilaksanakan oleh seluruh komponen masyarakat dan penyelenggara negara, serta pada sisi yang lain konstitusi harus ditempatkan sebagai rujukan dalam pencarian solusi atas persoalan kenegaraan dan kebangsaan yang timbul," paparnya.

Menurut Fahri, berdasarkan desain konstitusional sistem Pemilu dalam UUD 1945, maka tidak ada peluang serta jalan keluar untuk mengakomodasi wacana perpanjangan masa jabatan-jabatan publik, yang diisi berdasarkan hasil Pemilu maupun mencari formula penundaan Pemilu. "Sebab, tidak adanya pranata konstitusional yang tersedia dan diciptakan untuk itu," ujarnya.