Liputan6.com, Jakarta - Luapan air dari waduk Sindangheula sebanyak dua juta kubik merendam ribuan rumah warga di Kota Serang, termasuk Masjid Agung Banten, makam Sultan Banten dan Keraton Kesultanan Banten. Bendungan yang baru diresmikan Jokowi para 4 Maret 2021 itu hanya mampu menampung sembilan juta kubik air saja, namun diklaim mampu menanggulangi banjir di Kota Serang, Kabupaten Serang dan Kota Cilegon.
Banjir besar yang merendam Kota Serang disebabkan meluapanya air Bendungan Sindangheula, dibenarkan oleh Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau, Ciujung, Cidurian (BBWSC3), I Ketut Jayada. Dia menerangkan, ada sekitar dua juta kubik air yang luber dari waduk ke permukiman warga.
Baca Juga
"Daya tampung bendungan kami itu hanya sembilan juta. Dari hasil perhitungan kami, debit yang diterima (bendungan) sekitar 11 juta, ada kelebihan yang memang harus mengalir kelaut secara alamiah, bukan kami sengaja, memang bisanya dia mengalir ke sungai," kata I Ketut Jayada, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau, Ciujung, Cidurian (BBWSC3).
Advertisement
Dia menemani Walikota Serang, Syafrudin dan Wagub Banten, Andhika Hazrumy memantau kondisi air di bendungan Sindangheula. I Ketut Jayada mengklaim curah hujan tinggi yang menyebabkan debit air Bendungan Sindangheula tidak lagi tertampung, kemudian membanjiri Ibu Kota Banten. Senin (28/2) malam hingga Selasa siang, curah hujan yang turun mencapai 243 milimeter.
"Pengamatan kami ada curah hujan yang cukup tinggi dengan durasinya panjang 243 milimeter. Banjir kala ulang, curah hujan ini kalau ulang 200 tahun ya ini terjadi sekarang, sementara (bendungan) ini di desain 1.000 tahun. Ini mungkin pengaruh perubahan cuaca global warming, cuaca ekstrem," terangnya.
Rendam Kesultanan Banten
Banjir yang disebabkan luapan air dari Bendungan Sindangheula ini juga merendam kawasan Masjid Agung Banten, makam Sultan Banten dan komplek Keraton Kesultanan Banten, di Kecamatan Kasemen, Kota Serang.
KH. Fathul Adzim, salah satu tokoh dan ulama Banten, sekaligus pimpinan Ponpes Masaqotul Muntadzir yang lokasinya tepat berdampingan dengan Masjid Agung Banten menerangkan, banjir terparah yang dialaminya terjadi sekitar 49 tahun lalu, tepatnya tahun 1973. Kali ini, dia mengalami banjir yang dirasakan lebih parah dibanding saat itu.
"Iya ini yang paling parah. Banjir itu hanya lewat saja, tidak lama, dan tidak menggenang seperti ini. Waktu itu airnya sampai naik ke masjid, lantai masjid sampe basah," kata KH. Fathul Adzim.
Dia mengenang peristiwa itu, saat banjir merendam kawasan Kesultanan Banten, dia masih seorang bocah yang duduk dibangku sekolah dasar. Banjir saat itu tidak lama, hanya beberapa jam saja.
"Seingat saya, dulu terjadi banjir disini hari kedua lebaran Haji pada tahun 1973, saya waktu itu kelas 4 SD. Waktu itu tidak dibantu hujan, tiba-tiba banjir. Hujannya kayanya waktu itu di daerah Pamarayan dan sekitarnya," jelasnya.
Advertisement