Sukses

Bertaruh Nyawa demi Menyelamatkan Harimau

Harimau Sumatera menjadi salah satu dari 137 mamalia yang dilindungi di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Erni Suyanti Musabine sadar betul, nyawa selalu menjadi taruhan saat ikut serta dalam operasi lapangan dalam penyelamatan satwa liar di hutan rimba. Namun, baginya, itu seperti menjadi hal yang biasa. Masuk keluar hutan sudah menjadi kegiatan yang rutin dilaluinya hampir 18 tahun terakhir.

Yanti merupakan salah satu dokter hewan yang bertugas di Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Dia mengaku baru sebulan dipindahtugaskan. Dokter hewan lulusan Universitas Airlangga itu sempat bertugas di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu sejak 2004.

Yanti merupakan salah satu garda terdepan untuk melakukan penyelamatan pada satwa liar. Mulai dari gajah, harimau sumatera, beruang, hingga orang utan. Yanti memang lebih sering melakukan penanganan untuk penyelamatan harimau.

Tak hanya di Bengkulu, beberapa provinsi di kawasan Sumatera bagian selatan juga seringkali memintanya untuk membantu. Sebab jumlah dokter hewan terlebih untuk penanganan harimau masih terbatas. Kasus yang dihadapi dimasyarakat juga cukup beragam.

Mulai dari korban perburuan hingga adanya konflik dengan manusia yang memiliki frekuensi sering. Biasanya kata Yanti konflik itu terjadi karena kondisi habitat satwa tersebut yang semakin lama semakin tumpang tindih dengan aktivitas manusia, baik yang legal ataupun ilegal.

"Jadi semakin tinggi frekuensi aktivitas manusia di dalam kawasan atau area yang sama tentu konflik akan terjadi," kata Yanti kepada Liputan6.com.

Dengan adanya aktivitas tinggi manusia itu juga berdampak banyaknya akses yang lebih mudah untuk masuk ke dalam kawasan hutan. Seperti halnya mempermudah para pelaku aktivitas ilegal misal para pemburu liar. Yanti mengaku sejak tahun 2007 hingga 2021 hanya sekitar 15 harimau yang terselamatkan dari konflik yang yang terjadi.

Dalam penyelamatan harimau dari jerat pemburu biasanya Yanti ataupun BKSDA Bengkulu mendapatkan laporan dari warga ataupun dari para patroli hutan. Nantinya tim penyelamatan langsung diterjunkan ke lapangan.

Untuk kawasan hutan, biasanya Yanti hanya menerima titik koordinat lokasi sekitar hewan dilindungi itu ditemukan. Titik itu juga dijadikan acuan untuk mencari jalan tercepat untuk menuju lokasi.

Dia mencontohkan seperti halnya penyelamatan harimau yang terjadi di kawasan Taman Nasional. Biasanya tak banyak orang yang ikut serta dalam penyelamatan itu. Terpenting yaitu ada dokter hewan dan beberapa tenaga fungsional seperti halnya polisi hutan. Perencanaan atau strategi yang matang pun harus dipersiapkan.

Sebab saat penyelamatan hanya dibutuhkan kesigapan tanpa menimbulkan suara. Sebab hal itu dapat menganggu penyelamatan. Harimau menurut Yanti merupakan hewan buas yang sensitif dengan manusia, apalagi dalam kondisi terkena jerat pemburu. Salah langkah pun sewaktu-waktu haraimau itu siap menerkam. 

2 dari 2 halaman

Strategi Penyelamatan

Berprofesi sebagai dokter hewan, Yanti harus bergegas untuk segera menyelamatkan pasiennya. Bahkan berkali-kali pun dia harus bergegas dan berlomba untuk mendahului para pemburu. Melalui pengetahuan mengenai perilaku harimau, Yanti harus selalu tenang dan waspada saat proses evakuasi berlangsung.

Berjarak tak jauh dari harimau terjerat dia langsung mencari posisi berdiri yang tepat untuk menembakkan obat bius dengan sumpit bambu yang sudah dipersiapkannya. Petugas fungsional lainnya pun juga langsung mencari posisi aman dan tercepat jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

"Harimau yang terjerat kan mobilitasnya terhambat nih, saya biasa nya melakukan dengan cara pembiusan. Saya memakai sumpit bius biar tidak menimbulkan suara, agar harimau-nya juga tidak stres dan tidak tahu lagi disuntik kadang tidak menyadari," ucapnya.

Posisi Yanti berdiri biasanya berpatokan dari jarak terkam harimau. Itu ditandai dengan lokasi yang bersih atau tumbuhan sekitar yang pada jatuh akibat harimau yang memberontak kesakitan. Saat posisi aman atau di samping bagian badan harimau tembakan bius dilakukan.

Untuk melakukan pembiusan pun tak sembarangan. Ada bagian-bagian tubuh harimau yang berbahaya atau fatal jika terkena bius. Selain itu penembakan bius menggunakan sumpit juga harus dilakukan dengan pelatihan sebelumnya, mulai dari dokter hewan atau tenaga fungsional lainnya yang seringkali membantu proses evakuasi. Namun dosis bius tetap otoritas dari dokter hewan.

Pembiusan bukanlah langkah akhir dari proses evakuasi binatang buas. Sebab saat proses bius hal apapun tetap bisa terjadi. Seperti halnya jantung harimau tiba-tiba berhenti hingga suhu tubuh yang tidak normal.

"Nah ini perlu mendapat perhatian rescue itu bukan hanya pembiusan terus berjalan mudah kita angkut atau tandu. Sampai dia sadar kembali kita monitoring terus apakah kondisi nya fisiologi nya normal atau tidak jantung normal nafas normal tidak," ujar Yanti.

Pelatihan Evakuasi Harimau

Yanti sudah diperbantukan untuk melakukan pelatihan penembakan bius kepada harimau sejak tahun 2012 hingga 2020. Sebab setiap proses evakuasi harimau akan memiliki tantangan yang berbeda-beda. Sementara itu evakuasi dalam proses konflik dengan manusia pun berbeda.

Penanganannya pun lebih lama dan panjang dibandingkan penyelamatan dari jerat pemburu. Bahkan bisa sampai tiga bulan lamanya jika banyak memakan banyak korban jiwa. Mulai dari pengawasan, patroli rutin, hingga sosialisasi dilakukan kepada masyarakat. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi korban jiwa dengan adanya sikap anarkis ataupun adanya pemburu yang menyusup.

Sosialisasi itu dilakukan misalnya dengan memberikan arahan ataupun tips saat warga berpapasan dengan harimau atau binatang buas lainnya. Tips itu untuk menghindari adanya interaksi negatif yang dapat merugikan semua pihak.

"Kadang harimau itu macam-macam konflik. Ada yang melintas saja, terus ada yang memang homering nya di situ. Terkadang masih perlu penelitian (mengenai perilaku harimau), konflik muncul sebelumnya tidak ada lalu (setelah konflik) harimau balik ke hutan dan tidak ada konflik lagi," dia menjelaskan.