Liputan6.com, Tanah Datar: Bagi masyarakat Minangkabau, Rumah Gadang adalah satu di antara simbol budaya. Rumah Gadang yang berarti rumah besar bahkan menjadi milik berharga suatu kaum di Ranah Minang. Menurut pesan leluhur, mempertahankan Rumah Gadang adalah tugas mulia yang harus didahulukan. Sayangnya, tak semua Rumah Gadang dalam kondisi baik. Ketiadaan dana membuat sebagian rumah adat Minang tersebut harus menyerah dimakan usia atau dimakan lapuk, bahkan dimakan kemajuan jaman. Tak jarang, malah dihancurkan untuk bangunan baru yang lebih modern.
Satu di antara sedikit Rumah Gadang yang masih bertahan adalah yang dipelihara Datuk Panghulu Basa sebagai pemangku adat sukunya. Rumah Gadang itu terletak di Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Menurut Datuk Panghulu Basa, baru-baru ini, rumah warisan keluarganya telah berusia sekitar 350 tahun. Bangunan bersejarah itu dibangun Datuk Panghulu Basa yang pertama, sedangkan ia adalah datuk yang kelima.
Selama berabad-abad, bangunan tersebut tetap terjaga keasliannya. Walau rayap memangsa di sana-sini, Rumah Gadang milik Datuk Panghulu Basa itu tetap tegak berdiri. Menurut Datuk Panghulu Basa, kuncinya terletak pada pemilihan serta pengolahan kayu. Awalnya, si pembuat Rumah Gadang mengumpulkan kayu juara sekitar setahun. Batang-batang kayu tersebut kemudian direndam selama enam bulan. Setelah melewati proses ini, Datuk Panghulu Basa I segera mengumpulkan kaumnya. Selanjutnya, secara bergotong royong, mereka mulai membangun simbol budaya tersebut selama setahun.
Seiring perjalanan waktu, Rumah Gadang tersebut kini menjadi tanggung jawab Datuk Panghulu Basa V. Di dalam Rumah Gadang, juga masih tersimpan beberapa alat rumah tangga yang digunakan di masa lampau. Rumah peninggalan itu juga masih memiliki tungku kuno atau tempat memasak yang terbuat dari tanah. Bila hendak dipergunakan untuk memasak, menurut Datuk, sepasang batu harus ditaruh di atas tungku.
Lebih jauh Datuk mengungkapkan, seperti Rumah Gadang lainnya, banyak ritual adat yang digelar di bangunan tersebut. Upacara perkawinan adalah satu di antaranya. Bahkan, 200 tamu dapat tertampung sekaligus di dalam Rumah Gadang itu. Hingga saat ini, bangunan peninggalan leluhur itu masih kerap dipergunakan dalam acara pernikahan. Meski ratusan tamu memenuhi Rumah Gadang, sejumlah penari masih dapat mempertunjukkan kebolehan mereka. Misalnya, Tari Piring.
Fungsi Rumah Gadang tak cuma sebagai tempat melangsungkan pernikahan. Rumah Gadang juga berfungsi mempertahankan sistem matrilineal--sistem kekerabatan dari garis ibu yang dianut etnis Minangkabau. Buktinya, tujuh bilik atau kamar di Rumah Gadang diperuntukkan bagi anak dan kemenakan perempuan. Datuk mencontohkan, seumpama seorang anak atau kemenakan perempuannya melangsungkan pernikahan, maka dia bersama sumando--menantu laki-laki--tidur di sana pada malam harinya. Sedangkan anak laki-laki yang belum menikah diharuskan tidur di surau. Bila sudah kawin, mereka harus berdiam di kediaman istri masing-masing.
Sekadar diketahui, bentuk dasar dari bangunan Rumah Gadang adalah segi empat atau empat persegi panjang. Ini juga ditentukan oleh jumlah ruang di dalamnya yang selalu ganjil, yakni tiga, lima, tujuh, dan sembilan. Konon, pada masa lampau, ada yang mempunyai 17 ruang. Keunikan bangunan adat yang berbentuk rumah panggung itu adalah atapnya yang lancip. Lengkungan pada atapnya juga mirip dengan bentuk tanduk kerbau. Sedangkan badan rumahnya juga melengkung, landai seperti badan kapal. Untuk menaiki Rumah Gadang harus melalui tangga yang terletak di muka rumah. Di atas tangga ini diberi atap yang menjulang ke depan.
Rumah Gadang juga merupakan bangunan induk dari sejumlah bangunan lainnya. Masing-masing adalah Balairung, Rangkiang, dan Musala. Bentuk Rangkiang atau lumbung padi sangat mirip Rumah Gadang. Rangkiang juga merupakan bangunan pelengkap Rumah Gadang yang berada tepat di halaman depan.(ANS/Aldian)
Satu di antara sedikit Rumah Gadang yang masih bertahan adalah yang dipelihara Datuk Panghulu Basa sebagai pemangku adat sukunya. Rumah Gadang itu terletak di Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Menurut Datuk Panghulu Basa, baru-baru ini, rumah warisan keluarganya telah berusia sekitar 350 tahun. Bangunan bersejarah itu dibangun Datuk Panghulu Basa yang pertama, sedangkan ia adalah datuk yang kelima.
Selama berabad-abad, bangunan tersebut tetap terjaga keasliannya. Walau rayap memangsa di sana-sini, Rumah Gadang milik Datuk Panghulu Basa itu tetap tegak berdiri. Menurut Datuk Panghulu Basa, kuncinya terletak pada pemilihan serta pengolahan kayu. Awalnya, si pembuat Rumah Gadang mengumpulkan kayu juara sekitar setahun. Batang-batang kayu tersebut kemudian direndam selama enam bulan. Setelah melewati proses ini, Datuk Panghulu Basa I segera mengumpulkan kaumnya. Selanjutnya, secara bergotong royong, mereka mulai membangun simbol budaya tersebut selama setahun.
Seiring perjalanan waktu, Rumah Gadang tersebut kini menjadi tanggung jawab Datuk Panghulu Basa V. Di dalam Rumah Gadang, juga masih tersimpan beberapa alat rumah tangga yang digunakan di masa lampau. Rumah peninggalan itu juga masih memiliki tungku kuno atau tempat memasak yang terbuat dari tanah. Bila hendak dipergunakan untuk memasak, menurut Datuk, sepasang batu harus ditaruh di atas tungku.
Lebih jauh Datuk mengungkapkan, seperti Rumah Gadang lainnya, banyak ritual adat yang digelar di bangunan tersebut. Upacara perkawinan adalah satu di antaranya. Bahkan, 200 tamu dapat tertampung sekaligus di dalam Rumah Gadang itu. Hingga saat ini, bangunan peninggalan leluhur itu masih kerap dipergunakan dalam acara pernikahan. Meski ratusan tamu memenuhi Rumah Gadang, sejumlah penari masih dapat mempertunjukkan kebolehan mereka. Misalnya, Tari Piring.
Fungsi Rumah Gadang tak cuma sebagai tempat melangsungkan pernikahan. Rumah Gadang juga berfungsi mempertahankan sistem matrilineal--sistem kekerabatan dari garis ibu yang dianut etnis Minangkabau. Buktinya, tujuh bilik atau kamar di Rumah Gadang diperuntukkan bagi anak dan kemenakan perempuan. Datuk mencontohkan, seumpama seorang anak atau kemenakan perempuannya melangsungkan pernikahan, maka dia bersama sumando--menantu laki-laki--tidur di sana pada malam harinya. Sedangkan anak laki-laki yang belum menikah diharuskan tidur di surau. Bila sudah kawin, mereka harus berdiam di kediaman istri masing-masing.
Sekadar diketahui, bentuk dasar dari bangunan Rumah Gadang adalah segi empat atau empat persegi panjang. Ini juga ditentukan oleh jumlah ruang di dalamnya yang selalu ganjil, yakni tiga, lima, tujuh, dan sembilan. Konon, pada masa lampau, ada yang mempunyai 17 ruang. Keunikan bangunan adat yang berbentuk rumah panggung itu adalah atapnya yang lancip. Lengkungan pada atapnya juga mirip dengan bentuk tanduk kerbau. Sedangkan badan rumahnya juga melengkung, landai seperti badan kapal. Untuk menaiki Rumah Gadang harus melalui tangga yang terletak di muka rumah. Di atas tangga ini diberi atap yang menjulang ke depan.
Rumah Gadang juga merupakan bangunan induk dari sejumlah bangunan lainnya. Masing-masing adalah Balairung, Rangkiang, dan Musala. Bentuk Rangkiang atau lumbung padi sangat mirip Rumah Gadang. Rangkiang juga merupakan bangunan pelengkap Rumah Gadang yang berada tepat di halaman depan.(ANS/Aldian)