Liputan6.com, Jakarta - Tim Densus 88 Antiteror Polri kembali menangkap sejumlah terduga teroris di berbagai wilayah Indonesia. Total kali ini ada 11 terduga teroris yang berasal dari Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Lampung.
"Densus 88 Antiteror Polri menangkap enam terduga teroris di NTB dan lima terduga teroris di Lampung," ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan kepada wartawan, Selasa (8/3/2022).
Advertisement
Baca Juga
Menurut Ahmad, operasi Tim Densus 88 Antiteror Polri di dua wilayah berbeda itu dilakukan pada Senin, 7 Maret 2022. Meski begitu, belum banyak keterangan yang dipaparkan terkait penangkapan tersebut.
"Penangkapan dilakukan pada hari Senin, 7 Maret 2022," kata Ahmad.
Terorisme Bukan Hanya Ancam Keamanan Masyarakat
Kejahatan terorisme dinilai bukan hanya mengancam keamanan masyarakat, tapi juga merupakan proksi untuk merusak citra Islam dan negara Indonesia. Pernyataan itu disampaikan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT, Brigjen Pol. Ahmad Nurwakhid.
Selain itu, dia meminta masyarakat mesti menyadari bahwa terorisme adalah virus yang lebih berbahaya dari virus Covid-19. Penyebaran virus terorisme itu begitu mudah menular melalui mata dan telinga masyarakat yang terhasut narasi radikalisme.
Dalam keterangan tertulisnya, Nurwakhid berpendapat, dampak aksi terorisme yang mengatasnamakan agama yakni kemunculan islamofobia, yang tak lain tujuannya untuk menghancurkan citra Islam dan menentang ideologi negara.
"Perlu ditegaskan bahwa memang tidak ada kaitannya antara terorisme dengan agama, karena tidak ada satu pun ajaran agama yang membenarkan terorisme. Tetapi, terorisme berkaitan dengan pemahaman yang menyimpang dari subtansi agama oleh oknum umat beragama," jelas Nurwakhid, seperti dilansir Antara di Jakarta, Rabu (23/2/2022).
Â
Â
Advertisement
Bertentangan dengan Islam
Dalam seminar di Muktamar ke 22 Darud Dakwah wal Irsyad (DDI) di Samarinda, Kalimantan Timur, Selasa (22/2/2022), Nurwakhid menuturkan, tanpa banyak disadari terorisme yang sering kali mengatasnamakan Islam, di mana hal itu merupakan fitnah terhadap Islam.
Sebab, terorisme bertentangan dengan ruh ajaran Islam rahmatan lil alamin. Aksi dan narasi propaganda oleh kelompok radikal teroris, kata dia, sangat jauh dari nilai agama yang mengajarkan perdamaian, persaudaraan, dan perdamaian.
"Kelompok radikal justru melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama, seperti mengadu domba sesama masyarakat, ajakan tidak percaya terhadap negara, bahkan saling mengkafirkan sesama muslim. Tujuan kelompok ini sejatinya ingin membuat kegaduhan untuk menciptakan konflik," papar Nurwakhid.
Nurwakhid menerangkan, radikal terorisme sebenarnya merupakan gerakan politik yang mempolitisasi agama, dengan tujuan mengganti dasar dan ideologi negara. Para teroris memperalat dalil agama untuk kepentingan nafsu politiknya dalam menentang perjanjian luhur dan konsensus nasional.
Di dalam sistem demokrasi, semua pihak mendapatkan ruang kebebasan untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran yang berbeda. Namun, tambahnya, pandangan dan ideologi yang digagas dan diusung tidak boleh bertentangan dengan perjanjian yang telah disepakati bersama sebagai komitmen berbangsa dan bernegara.
"Kita boleh berdebat tentang hal khilafiyah, tetapi hal yang tidak bisa ditawar dan menjadi kewajiban dalam beragama adalah menjaga dan merawat perjanjian. Mereka (radikal terorisme) adalah kelompok pembangkang atau bughot yang ingin mengganti dasar dan ideologi negara dengan mempolitisasi agama," beber Nurwakhid.
Â