Sukses

Menuai Pro-Kontra, DPR Akan Kaji Peraturan Jaksa Agung soal Restorative Justice

Perja 15/2020 terkait Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif menuai pro dan kontra. Apalagi setelah Jaksa Agung menyatakan bahwa korupsi di bawah Rp 50 juta tak perlu diproses hukum.

Liputan6.com, Jakarta - Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 terkait Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif menuai pro dan kontra.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad memastikan bahwa DPR RI akan melakukan kajian-kajian terkait Perja tersebut.

“Kita juga perlu melakukan kajian-kajian bagaimana menyikapi soal Perja ini, sehingga dapat berjalan dan dilakukan dengan baik,” ungkap Dasco saat ditemui awak media, Rabu (9/3/2022).

Meski demikian, Dasco mengingatkan bahwa kasus hukum di Indonesia kerap ada nuansa kriminalisasi. Oleh karena itu, lanjutnya, meski banyak pihak yang protes, namun tak sedikit pula yang mendukung restorative justice.

“Kita tahu hukum di Indonesia, terkadang kan ada yang kemudian dikriminalisasi. Nah, dalam hal ini restorative justice perlu dilakukan,” kata dia.

Politikus Gerindra itu juga menjelaskan, ada keterlibatan pihak lain di luar Kejaksaan pada proses penegakan hukum, salah satunya kepolisian.

“Dan ini juga ada melibatkan pihak lainnya,” kata dia.

2 dari 2 halaman

Korupsi di Bawah Rp 50 Juta Tak Perlu Diproses Hukum

Sebelumnya, Jaksa Agung menyampaikan wacana tidak diperlukan lagi penegakan hukum terhadap korupsi dengan angka di bawah Rp 50 juta dan bisa diselesaikan dengan pengembalian kerugian.

Pernyataan tersebut kemudian menuai polemik karena dianggap akan bertentangan dengan Pasal 4 dalam UU Tipikor.