Sukses

Tak Ada Nama Soeharto, Sejarawan: Keppres 1 Maret Produk Politik, Bukan Naskah Akademik Hasil Historiografi

Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara menuai kritik dari sejumlah pihak.

Liputan6.com, Jakarta - Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara menuai kritik. Sejumlah pihak mempertanyakan keberadaan nama mantan Presiden Soeharto yang tidak disebutkan dalam Keppres yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 24 Februari 2022 itu. Padahal, sosok Soeharto dinilai memiliki peranan penting dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.

Dalam Keppres tersebut dicantumkan sejumlah nama tokoh yang berperan dalam peristiwa usai agresi Belanda II tersebut. Yakni Soekarno, Mohammad Hatta, Jenderal Sudirman, dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sebenarnya seperti apa peristiwa Serangan Umum 1 Maret itu terjadi?

Sejarawan Bonnie Triyana mengaku bingung karena seringkali peristiwa sejarah Indonesia menjadi bahan perdebatan di masyarakat. Untuk peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, dia menilai saat itu komunikasi antarpimpinan Indonesia sangat baik dan didasarkan pada semangat bersatu tanpa ada saling ego komunikasi. Setiap tokoh memiliki perannya masing-masing tanpa ada sentralisasi salah satu pihak.

Bonnie menyatakan terdapat sejumlah sumber sejarah yang dapat digunakan untuk melihat kembali garis besar peristiwa 73 tahun yang lalu itu. Seperti halnya dari buku Laporan Banaran oleh TB Simatupang. Saat itu Simatupang menjabat sebagai wakil kepala staf angkatan perang dan sedang bergerilya di wilayah Banaran.

Dalam catatannya disebutkan Kolonel Bambang Sugeng yang menjabat sebagai gubernur militer daerah Yogyakarta, Kedu, Banyumas, Pekalongan dan sebagian Semarang mendatanginya pada 28 Februari 1949. Lalu, Bambang menyampaikan gagasannya untuk menyerang Yogyakarta yang saat itu diduduki Belanda.

Serangan umum itu dimaksudkan untuk kembali merebut Yogyakarta yang saat itu berstatus sebagai ibu kota Indonesia. Saat itu Belanda juga terus melakukan propaganda terhadap Indonesia dengan mengasingkan presiden, wakil presiden, dan sejumlah menteri. Indonesia dianggap dipimpin oleh sejumlah kelompok ekstremis sporadis.

"Menurut Jendral Simatupang, serangan itu sangat disetujui karena akan memberikan dampak diplomasi," kata Bonnie kepada Liputan6.com.

Sejarawan lulusan Universitas Diponegoro itu juga menyebutkan terdapat sumber lain yang menyatakan gagasan serangan ke Yogyakarta datang dari Sultan Hamengku Buwono IX.

Kemudian berdasarkan film karya Usmar Ismail, "Enam Jam di Jogja" pada tahun 1951 juga digambarkan rencana serangan besar-besaran itu dibahas oleh sejumlah pihak. Bukan hanya satu tokoh sentral saja seperti yang diketahui masyarakat selama ini yaitu Soeharto.

 

2 dari 2 halaman

Peran Soeharto

Saat itu, Soeharto menjabat sebagai komandan Wehrkreise III dan bertanggungjawab untuk wilayah Yogyakarta dan memiliki atasan yaitu Bambang Sugeng. Meski film fiksi, Bonnie menyebut karya Usmar itu dibuat setelah dua tahun peristiwa dan para tokoh dan pimpinan negara, hingga saksi kejadian masih hidup.

"Dalam militer itu enggak ada bawahan yang punya ide. Yang memerintah pasti hirarki dari atas, di atas Soeharto ada siapa? Ada Bambang Sugeng,  yang membawahi tiga wehrkreise dan masing masing wehrkreise punya sub wehrkreise. Secara hirarki, komando enggak mungkin anak buah di bawah itu punya ide menjalankan idenya sendiri kemudian ini bukan kerja kreatif konten kreator bukan ini kan kerja militer kerja berdasarkan kerja hirarki komando," Bonnie menjelaskan.

Sebagai pemimpin wehrkreise III atas Yogyakarta, Soeharto memiliki peran memimpin komando serangan. Namun di sisi lain kata Bonnie, ada sosok lainnya yang ikut serta berperan dalam aksi serangan tersebut.

Seperti halnya sosok Gatot Subroto yang menghalau bantuan Belanda untuk datang ke Yogyakarta. Sejumlah wilayah sekitar luar Yogyakarta diamankan olehnya. Karena pergerakan bersama itu Bonnie menyebut Yogyakarta berhasil dikuasai Indonesia selama enam jam.

Namun setelah terbitnya Keppres Nomor 2 Tahun 2022 sejumlah pihak mempertanyakan nama Soeharto yang tidak dimunculkan. Bonnie mempertanyakan pula kenapa hanya satu nama saja yang diperdebatkan.

Menurutnya, ingatan masyarakat akan sentralisasi sosok Soeharto sudah terjadi sejak tahun 1970-an saat menjadi presiden. Hal itu dimulai dengan adanya film "Janur Kuning" yang memperlihatkan peran salah satu pihak.

"Ingatan kita yang dominan itu mengingat Soeharto yang identik dalam peristiwa itu sehingga ketika di Keppres tidak memunculkan Soeharto, semua bertanya di mana Soeharto. Tapi tidak ada yang bertanya di mana Bambang Sugeng, di mana TB Simatupang, di mana Gatot Subroto. Enggak ada, cuma yang ditanya di mana Soeharto," ujar dia.

Produk Politik

Bonnie menyebut, Keppres merupakan produk politik yang dikeluarkan oleh seorang presiden bukan historiografi produk dari para sejarawan. Dalam sebuah Keppres seharusnya yang menjadi sorotan adalah ketetapan yang dihasilkan meskipun konsiderannya menimbulkan kegaduhan. Dalam Keppres tersebut mengacu ke produk sejarawan yaitu naskah akademik.

"Kalau menurut saya, tolong tempatkan dua hal ini. Lihat naskah akademik kecuali dalam naskah akademiknya tidak ada sama sekali nama Soeharto. Kalau di naskah akademiknya ada, tapi yang jadi masalah apakah juga naskah akademik ini melakukan sentralisasi terhadap tokoh yang selama kita alami," Bonnie menjelaskan.