Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nawawi Pomolango menuturkan pihaknya tak pantas mengomentari putusan kasasi Edhy Prabowo.
Dalam kasasi, Mahkamah Agung (MA) memvonis Edhy Prabowo 5 tahun penjara, sesuai dengan tuntutan jaksa KPK. Artinya hukuman Edhy Prabowo disunat MAÂ dari vonis 9 tahun penjara yang sempat dijatuhkan Pengadilan Tinggi di tingkat banding.
Advertisement
Baca Juga
"Sepertinya menjadi kurang pas atau tak sepantasnya bagi KPK untuk ikut-ikutan mengomentari putusan majelis kasasi MA pada perkara Edhy Prabowo. Karena kita tahu bersama, KPK sendiri sebelumnya menuntut 5 tahun, sama seperti yang dijatuhkan majelis kasasi MA tersebut," ujar Nawawi dalam keterangannya, Sabtu (12/3/2022).
Namun, Nawawi Pomolango menyoroti adanya persoalan lain dalam lembaga peradilan di Indonesia. Pasalnya, pengadilan tingkat pertama juga menjatuhkan vonis 5 tahun terhadap Edhy Prabowo.
Kemudian dalam peradilan tingkat banding, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memberatkan hukuman Edhy Prabowo menjadi 9 tahun penjara. Belakangan, putusan PT DKI Jakarta itu dianulir dalam tingkat kasasi. MA mengembalikan vonis Edhy menjadi 5 tahun penjara.
"Kalau saya sendiri justru lebih melihat adanya persoalan lain dari sejumlah putusan-putusan badan peradilan. Yaitu kecenderungan munculnya perbedaan-perbedaan mencolok (disparitas) dalam penjatuhan hukuman di tingkat pertama (Pengadilan Negeri) dan tingkat banding (Pengadilan Tinggi), termasuk pada tingkat kasasi (Mahkamah Agung)," kata Wakil Ketua KPK yang memiliki latar belakang hakim itu.
Beri Contoh Vonis Pinangki Sirna Malasari
Nawawi juga mencontohkan perkara korupsi yang menjerat Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Dalam putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta, Pinangki divonis 10 tahun penjara, namun dalam tingkat banding justru disunat menjadi empat tahun.
"Fakta-fakta disparitas penghukuman antara sesama putusan majelis hakim ini yang menurut saya lebih menjadi persoalan dan harus dikritisi. Karena di sini penjatuhan hukuman seperti terkesan menjadi suka-suka, lain hakim lain hukuman, seperti lain koki lain rasa masakan," kata Nawawi.
"Ini memunculkan anekdot, jangan lihat hukumnya, tapi lihat siapa hakimnya. Ini yang menurut saya harus menjadi pekerjaan rumah Mahkamah Agung," kata Nawawi.
Â
Advertisement
PR Mahkamah Agung
Menurut Nawawi, perbedaan hukuman yang kerap dilakukan para hakim harus menjadi perhatian khusus bagi MA.
"Dengan fakta-fakta disparitas dalam penjatuhan hukuman ini, produk PERMA No 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan menjadi tidak ada artinya, karena proporsionalitas pemidanaan tidak diindahkan," kata Nawawi.