Sukses

DPR Sebut Densus 88 Sudah Terbuka soal Penembakan Sunardi: Spekulasi Bisa Diakhiri

Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mengapresiasi langkah ini. Karena masyarakat bisa mengetahui hal yang rinci terkait kronologinya.

Liputan6.com, Jakarta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah mendapatkan bahan dari Densus 88 Antiteror Polri berupa rekaman CCTV terkait penangkapan terduga teroris dokter Sunardi yang berujung pada penembakan dan meninggal dunia.

Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mengapresiasi langkah ini. Karena masyarakat bisa mengetahui hal yang rinci terkait kronologinya.

"Dengan begini, masyarakat jadi bisa tahu dan mendapatkan penjelasan secara clear dan rinci atas kronologi kejadian, dan Densus 88 juga bisa memberikan klarifikasinya dengan sangat transparan dan terbuka," kata dia dalam keterangannya, Rabu (16/3/2022).

Menurut Politikus NasDem ini, Densus 88 Antiteror Polri berkomitmen atas hak asasi manusia, terlebih bisa bekerja sama dengan Komnas HAM.

Dengan begini, lanjut Sahroni, berbagai isu dan spekulasi terkait penembakan tersangka bisa dijelaskan dengan baik.

"Densus 88 memberikan semua data yang diminta, dan Komnas HAM sendiri menyampaikan bahwa berbagai data itu sudah sangat detail dan clear, dan transparansi inilah yang diperlukan agar berbagai spelukasi terkait penembakan ini bisa diakhiri, karena memang tidak ada yang disembunyikan," kata dia.

 

2 dari 2 halaman

Penjelasan Komnas HAM

Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menampilkan isi dari rekaman CCTV proses penangkapan terduga teroris dokter Sunardi oleh Densus 88 Antiteror Polri hingga berujung pada penembakan dan meninggal dunia.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam memaparkan awal kondisi kendaraan double cabin dokter Sunardi dengan kondisi tanpa keberadaan Tim Densus 88 Antiteror Polri. Tentunya telah didalami dan dipastikan bahwa isinya adalah dokter Sunardi.

"Ini mulai dibuntutin, tadi kami dijelasin agak detail saya perlu kami sampaikan. Di titik ini ada dua orang yang di double kabin, yang sudah masuk di double cabin itulah yang anggotanya. Yang dari sisi utara itu lebih jelas. Ini ada dua orang, dua orang petugas itu, jadi awalnya memang enggak ada petugasnya, terus habis itu. Ini karena cepat juga nih ya (mobilnya)," tutur Anam di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (15/3/2022).

Menurut Anam, kedua petugas memberikan peringatan agar dokter Sunardi menghentikan kendaraannya sambil menunjukkan surat penangkapan. Namun mobil tersebut malah kemudian melaju dan menabrak.

"Nah ini petugas yang turun dari mobil petugas Innova naik ke kabin, itu ada fotonya. Terus itu kita kejar-kejaran, cukup kencang. Ini dipepet ini, tapi tetep aja disuruh berhenti nggak mau, ini batas jalan aspal ini, tanahnya, kayak di bahu jalan kalau di tol, lanjut ini ada yang lebih jelas tapi tetep gak mau berhenti," jelas dia.

Serempetan kendaraan dengan lajur jalan pun terjadi hingga memunculkan percikan api. Anam menyebut, Tim Densus 88 Antiteror Polri juga menyertakan detail lewat dokumen pendukung lainnya.

"Tapi pada pokoknya itu yang apa betul ada dua petugas yang ada di double kabin dan sebagainya, itulah videonya. Jadi kita yang namanya video juga susah mau komentari gimana, faktanya begitu? Termasuk juga ada percikkan api dan sebagainya. Jadi kami tunjukkan semua dalam proses tadi, termasuk juga bagaimana kronologi tembakan. Jadi tembakan ada sembilan kali, jadi tembakan sembilan kali, satu kali di bawah," kata Anam.

Dalam prosesnya, lanjut Anam, petugas menghentikan kendaraan dokter Sunardi dan menunjukkan identitas sebagai polisi sambil menyertai surat penangkapan. Namun selepas itu, dokter Sunardi berupaya melarikan diri sehingga diberikan tembakan peringatan pertama.

"Terus petugasnya naik ke double cabin, kasih peringatan lagi, tembakan udara dua kali, nggak berhenti-berhenti, nembak sebelah kiri sebelah kiri bangku, itu kan sendirian, kalau supirnya sebelah kanan yang kosong sebelah kiri, itu juga ditembak dari atas juga nggak berhenti, baru tembak berikutnya tembak tangan nggak berhenti, tembak bahu, kaki, nggak berhenti, baru tembak dada nggak berhenti, itu yang pertama. Terus akhirnya nabrak itu, yang kedua dalam proses ini juga penting tidak ada autopsi, kenapa nggak ada autopsi? Karena diminta oleh keluarganya tidak perlu ada autopsi," Anam menandaskan.