Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah memutuskan mengembalikan harga minyak goreng kemasan ke harga pasar. Kebijakan tersebut diambil setelah terjadi kelangkaan minyak goreng di pasaran. Lalu pemerintah hanya memberikan subsidi untuk minyak goreng curah dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp 14 ribu.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai kebijakan pemerintah memberikan subsidi hanya pada minyak goreng curah merupakan bentuk responsif dari peristiwa sebelumnya. Yaitu pemberian subsidi untuk semua jenis minyak goreng memberikan dampak kelangkaan. Masyarakat di sejumlah daerah pun sampai rela mengantre untuk mendapatkan minyak goreng.
Kelangkaan dan antrean panjang merupakan bentuk tidak sampainya subsidi pemerintah kepada masyarakat menengah ke bawah. "Treatment sekarang itu lebih pas kalau melihat efeknya, ketika subsidi itu diberikan. Bisa efektif itu apa artinya mencapai tujuan sampai ke konsumen menengah ke bawah yang tidak bisa menjangkau harga yang mahal, kalau syarat-syarat atau permasalahan lain yang menganggu keefektifan subsidi ini bisa diatasi," kata Faisal kepada Liputan6.com.
Advertisement
Baca Juga
Faisal menilai masalah kelangkaan sering kali terjadi di masyarakat, tak hanya minyak goreng. Kelangkaan suatu komoditas dapat terjadi ketika adanya disparitas harga yang terlalu jauh di masyarakat. Kemudian muncul spekulan. Apalagi proses pendistribusian di Indonesia masih mengalami permasalahan yang kompleks dan belum teratasi.
"Jadi ketika kemarin terjadi kelangkaan ini tidak diindentifikasi, tidak dipantau dengan baik mata rantai distribusi dari produsen ke distributor ke sampai retailer dan sampai ke konsumen," ucapnya.
Karena hal itu dia meminta pemerintah untuk melakukan pengawasan dan penegakan yang lebih baik agar tidak terjadi lagi kelangkaan. Misalnya pada minyak goreng curah yang saat ini mendapatkan subsidi.
Kemungkinan besar lanjut Faisal praktik penumpukan minyak yang disubsidi akan berlanjut. Sebab disparitas harga minyak curah dan kemasan sangat jauh.
Diminta Perbaiki Akar Masalah
Ketika akar masalah tak diperbaiki, Faisal menyebut akan timbul masalah baru di masyarakat mengenai minyak goreng. Seperti halnya minyak goreng oplosan antara curah dan kemasan yang dijual lebih murah di pasaran.
Selain konsumen, permasalahan di tingkat produsen juga diperlukan perbaikan, yaitu mengenai Domestic Market Obligation (DMO).
Pasar terbesar crude palm oil (CPO) merupakan ekspor. Faisal meminta agar pemerintah tidak salah treatment dalam penanganan permasalahan minyak goreng.
"Karena kemarin juga banyak pengusaha CPO dan turunannya ada yang bangkrut. Dan turunan CPO kan bukan hanya minyak goreng. Ada biodiesel, oleokimia, ada shortening. Kalau mereka dikenakan gebyah-uyah juga larangan sama, ini mereka enggak ada hubungannya dengan minyak goreng tapi mereka kena dampak juga," ujar Faisal.
Â
Dugaan Mafia Minyak Goreng
Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi membuka alasan mahalnya harga minyak goreng saat ini. Ternyata disebut ada andil perang Rusia Ukraina dan juga ulah orang tak bertanggung jawab. Adanya konflik kedua negara membuat pengguna minyak biji mata hari atau sunflower beralih ke CPO. Dari sini, harga CPO yang mahal otomatis berdampak pada harga minyak goreng.
"Invasi Rusia terhadap ukraina ini menyebabkan harga-harga barang tinggi, terutama Rusia dan Ukraina ini penghasil daripada minyak sunflower penggantinya adalah minyak CPO menyebabkan harga minyak CPO Rp 14.600 pada awal Februari menjadi Rp 18.000 kemarin. Dan sudah turun sedikit namun pada dasar naik karena mekanisme pasar. Jadi pemerintah sudah hadir Rp 14 ribu pada kesempatan pertama," tutur Lutfi.
Sedangkan soal masalah kelangkaan, Mendag mengungkapkan jika itu karena terdapat para mafia di balik kosongnya minyak goreng di pasaran. Padahal Kementerian Perdagangan telah menggelontorkan jutaan liter minyak goreng. Namun, nyatanya di lapangan tidak sampai ke tangan masyarakat.
Dia mencontohkan indikasi ini terlihat di 3 wilayah. Sejatinya, berdasarkan data yang dimiliki, 3 wilayah yang distribusi minyak gorengnya berlimpah, yakni Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Jakarta. Kenyataannya, minyak goreng di 3 wilayah ini justru susah didapatkan.
Melihat hal itu, Mendag menilai ada yang tidak beres. "Di Medan mendapatkan 25 juta liter minyak goreng. Rakyat Medan, menurut BPS (Badan Pusat Statistik), jumlahnya 2,5 juta orang. Jadi menurut hitungan, satu orang itu 10 liter. Saya pergi ke pasar dan supermarket kota Medan, tidak ada minyak goreng," kata Mendag dalam Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR RI.
Advertisement