Sukses

BPIP-BNPT Beri Penguatan Kesiapsiagaan Nasional

Wakil Kepala BPIP, Prof. Hariyono, M.Pd. memberi penguatan kapasitas Ideologi Pancasila kepada para tokoh lintas agama, tokoh adat, tokoh pemuda, dan tokoh masyarakat di Ballroom Hotel Rattan Inn, Banjarmasin, Kalimantan Selatan (22/3).

Liputan6.com, Banjarmasin Wakil Kepala BPIP, Prof. Hariyono, M.Pd. memberi penguatan kapasitas Ideologi Pancasila kepada para tokoh lintas agama, tokoh adat, tokoh pemuda, dan tokoh masyarakat di Ballroom Hotel Rattan Inn, Banjarmasin, Kalimantan Selatan (22/3). Prof. Hariyono menyampaikan materi, Pancasila: Basis dan Orientasi Membangun Harmoni Bangsa. Acara yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ini bertujuan, kesiapsiagaan nasional masyarakat terhadap ancaman terorisme sebagai langkah preventif dan kolaboratif.

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Hariyono menjelaskan, terdapat faktor yang saling berkaitan yang membuat seseorang terpengaruh ideologi terorisme, di antaranya tingkat pendidikan rendah, merasa termarginalisasi, dan berujung pada ketidakpuasan. Sehingga mudah terprovokasi dengan ujaran-ujaran kebencian. Terlebih doktrin yang dibungkus dengan ajaran agama yang keliru kerap dikaitkan.

“Ini yang sering kali terjadi. Gerakan terorisme itu selalu bertanya, milih Pancasila atau kitab suci? Seolah ada dikotomi,” ungkap Prof. Hariyono.

Lebih lanjut Guru Besar Universitas Negeri Malang itu menegaskan, Pancasila tidak bisa dipertentangkan dengan kitab suci maupun sebaliknya.

“Karena saya yakin, mereka yang terjebak di dalam dunia terorisme itu bukan untuk menebarkan keagamaan, tetapi dia menebarkan ketakutan. Dan ketika Bangsa Indonesia takut, tiada percaya diri, mudah pecah, dan menjadi bangsa yang saling curiga dengan orang lain, bahkan tega membunuh saudara kita sebangsa dan setanah air dengan menyerukan nama Tuhan,” tambah Prof. Hariyono.

Guna mengantisipasi ideologi dan gerakan terorisme, di samping harus memiliki wawasan yang luas, penguasaan teknologi juga sangat dibutuhkan guna menangkal proxy war yang menyasar pangkalan kontak antar warga negaranya, bukan pangkalan militernya. Sebab saat ini seseorang bisa menjadi teroris tanpa ada gurunya, melainkan cukup melalui media sosial.

“Pancasila sebagai meja statis, meja yang bisa mempersatukan berbagai latar belakang masyarakat. Kuncinya adalah menjadikan Indonesia bersatu. Untuk bersatu perlu ada toleransi dan kolaborasi. Tapi Pancasila selain untuk bersatu juga untuk maju agar kita bisa menjadi bangsa yang betul-betul berdaulat dan makmur,” tegas Prof. Hariyono.

Sementara itu, kepala BNPT, Komjen Pol. Dr. Boy Rafli Amar, M.H. menjelaskan, ideologi terorisme tidak mengajarkan untuk mencintai bangsa, melainkan mengajarkan untuk membenci negara sendiri dan konstitusi. Kelompok radikalisme menempatkan pemerintah sebagai kelompok yang wajib diperangi. Untuk itu, Komjen Pol. Boy Rafli Amar mengungkapkan, diperlukan narasi-narasi untuk membangun semangat bangsa yang memiliki jati diri dan pilar kebangsaan.

“Kami menjadikan media yang ada saat ini sebagai bagian dari upaya kontra radikalisasi yang kita lakukan sebagai upaya mitigasi untuk melawan orang-orang yang benci dengan NKRI ini, orang-orang yang mencoba mengadu domba di antara anak bangsa,” ungkap Komjen Pol. Boy Rafli Amar.

Mantan Kanit Negosiasi Subden Penindak Densus 88 Antiteror itu menjelaskan, kesiapsiagaan secara kolektif, bukan hanya dari kalangan aparatur negara saja, tetapi dari kalangan masyarakat luas.

“Karena siapapun, kita semua bisa menjadi korban kejahatan terorisme dan kita semua jika tidak sadar dan waspada bisa menjadi bagian yang setuju dengan ideologi terorisme,” tambah Komjen Pol. Boy Rafli Amar.

Pada penghujung acara, para perwakilan tokoh lintas agama, budaya, dan tokoh masyarakat mendeklarasikan kesiapsiagaan nasional sebagai komitmen bersama dalam menangkal radikalisme dan terorisme. Selain Wakil Kepala BPIP dan Kepala BNPT, kegiatan ini juga dihadiri oleh Pemprov Kalsel, Unsur Forkopimda Kalsel, dan Wakil Ketua DPRD Kalsel. 

 

(*)