Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan segera mengumumkan tersangka baru kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter Agusta Westland (Heli AW-101) oleh TNI Angkatan Udara (AU).
Pengumuman tersangka kasus korupsi Helikopter AW-101 ini dilakukan berbarengan dengan upaya paksa penangkapan atau penahanan.
Advertisement
Baca Juga
"Pengumuman tersangka akan dilakukan nanti apabila proses penyidikan dirasa cukup dan dilakukan upaya paksa penahanan," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (23/3/2022).
Diberitakan sebelumnya, KPK mengapresiasi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang menolak permohonan praperadilan yang diajukan Jhon Irfan Kenway terkait penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan Heli AW-101.
Ali Fikri mengatakan pihaknya sejak awal yakin seluruh proses penyidikan kasus sesuai dengan mekanisme aturan hukum. Maka dari itu, Ali menyebut KPK akan mengebut penyidikan kasus ini.
"Putusan (praperadilan) ini menjadi momentum bagi KPK untuk mempercepat proses penyidikan perkara dimaksud dengan segera melengkapi alat bukti dan pemberkasan perkara agar segera dapat dilimpahkan ke persidangan," kata Ali dalam keterangannya, Selasa (22/3/2022).
Â
2 Kali Praperadilan Tersangka Korupsi Heli AW 101 Ditolak
Diketahui PN Jaksel menolak permohonan praperadilan yang diajukan Jhon Irfan Kenway dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter AW-101. Jhon Irfan merupakan tersangka dalam kasus ini namun belum diumumkan oleh KPK.
"Mengadili, menolak permohonan praperadilan dari pemohon (Jhon Irfan) untuk seluruhnya," ujar hakim tunggal Nazar Effriandi dalam amar putusannya, Selasa (22/3/2022).
Ini kali kedua hakim praperadilan PN Jaksel menolak praperadilan Jhon Irfan.
Dalam putusannya, hakim menilai penetapan tersangka terhadap Jhon Irfan oleh KPK sudah sesuai aturan.
Terkait dengan mekanisme KPK dapat menghentikan penyidikan suatu kasus yang sudah berjalan dua tahun, yang dipermasalahkan Jhon Irfan, menurut hakim hal tersebut tetap menjadi kewenangan KPK.
Pasalnya, dalam UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 diselipkan kata dapat. Yakni KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan tidak selesai paling lama dua tahun. Lagipula, menurut hakim, hal tersebut bukan objek praperadilan.
Sementara terkait dengan petitum tidak adanya tersangka dari unsur penyelenggara negara dalam kasus ini, menurut hakim, permohonan tersebut juga harus ditolak lantaran masuk dalam ranah teknis.
Hakim juga menolak permohonan Jhon Irfan yang mempermasalahkan penyitaan dan pemblokiran aset oleh KPK dalam kasus ini. Jhon Irfan mempermasalahkan lantaran yang disita KPK adalah aset pribadi bukan milik PT Diratama Jaya Mandiri.
Â
Advertisement
Penyidikan Korupsi Pengadaan Heli AW 101 di TNI AU
Diketahui, KPK dan TNI membongkar dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101 oleh TNI AU. Dalam kasus ini, KPK menetapkan Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka.
PT Diratama Jaya Mandiri diduga telah membuat kontrak langsung dengan produsen Heli AW-101 senilai Rp514 miliar. Namun, pada Februari 2016 setelah meneken kontrak dengan TNI AU, PT Diratama Jaya Mandiri menaikkan nilai jualnya menjadi Rp 738 miliar.
Dalam kasus ini Puspom TNI juga menetapkan beberapa tersangka lain. Mereka adalah Wakil Gubernur Akademi Angkatan Udara Marsekal Pertama Fachri Adamy selaku pejabat pembuat komitmen atau kepala staf pengadaan TNI AU 2016-2017, Letnan Kolonel TNI AU (Adm) berinisial WW selaku pejabat pemegang kas, Pembantu Letnan Dua berinisial SS selaku staf Pekas, Kolonel FTS selaku kepala Unit Layanan Pengadaan dan Marsekal Muda TNI SB selaku asisten perencana kepala staf Angkatan Udara.
Selain menetapkan tersangka, KPK dan TNI juga menyita sejumlah uang sebesar Rp7,3 miliar dari WW. Puspom TNI bahkan sudah memblokir rekening PT Diratama Jaya Mandiri sebesar Rp139 miliar.
Namun belakangan TNI menghentikan penyidikan terhadap mereka. TNI beralasan tak memiliki bukti yang cukup untuk melanjutkan penyidikan kasus tersebut.