Sukses

Kejagung Periksa Tim Evaluasi Tender Krakatau Steel Terkait Korupsi Proyek Pabrik

Adapun saksi yang diperiksa antara lain, Josa Adnan selaku Anggota Tim Evaluasi Proses Tender Blast Furnace dan Aditya Chandra Wirawan selaku VP Accounting PT Krakatau Steel.

Liputan6.com, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi atas kasus dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel pada 2011.

"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan untuk melengkapi pemberkasan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel pada tahun 2011," tutur Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana dalam keterangannya, Senin (28/3/2022).

Adapun saksi yang diperiksa antara lain, Josa Adnan selaku Anggota Tim Evaluasi Proses Tender Blast Furnace dan Aditya Chandra Wirawan selaku VP Accounting PT Krakatau Steel.

"Diperiksa terkait dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel pada tahun 2011," kata Ketut.

Sebelumnya dalam konferensi pers pada Kamis (24/2/2022) lalu, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan pada awalnya proyek pembangunan pabrik Blast Furnace (BFC) tersebut dilaksanakan oleh Konsorsium MCC CERI (asal China) dan PT Krakatau Engineering sesuai hasil lelang tanggal 31 Maret 2011 dengan nilai kontrak setelah mengalami perubahan adalah Rp 6,92 triliun.

2 dari 2 halaman

Pemenang Lelang Rp 5,3 T

Kontrak tersebut telah dibayarkan ke pihak pemenang lelang senilai Rp 5,3 triliun, namun demikian pekerjaan kemudian dihentikan pada tanggal 19 Desember 2019. Padahal, pekerjaan belum 100 persen dan setelah dilakukan uji coba operasi biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasar.

Selain itu, pekerjaan sampai saat ini belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi. PT Krakatau Steel membangun Pabrik Blast Furnace (BFC) dengan menggunakan bahan bakar batubara agar biaya produksi lebih murah.

Pembangunan proyek tersebut menggunakan bahan bakar gas sehingga memerlukan biaya yang lebih mahal. Menurut Supardi, pabrik peleburan tersebut tidak bisa dioperasikan, karena akan mengeluarkan biaya tinggi.

"Tidak bisa beroperasi, kalau dipakai high cost tidak bisa bersaing," ujar Supardi.