Sukses

Flexing Berbahaya untuk Pelaku dan Penontonnya

Flexing menjadi istilah yang populer setelah sejumlah crazy rich baru di Indonesia bermunculan di media sosial.

Liputan6.com, Jakarta - Istilah flexing menjadi viral pada beberapa pekan terakhir di Indonesia. Sejumlah kegiatan yang dianggap flexing di media sosial bermunculan setelah beberapa orang dilabeli sebagai crazy rich baru, misalnya di Instagram hingga YouTube. Flexing merupakan kata lain dari memamerkan harta yang dimilikinya kepada khalayak umum.

Psikolog Dian Wisnuwardani pun angkat bicara mengenai fenomena flexing yang ramai di dunia maya. Kata Dian, berdasarkan hasil riset prioritas utama orang saat ini ingin menjadi kaya raya. Sebab setiap orang pada dasarnya memiliki sebuah pencapaian ataupun prestasi dalam hidupnya.

Pencapaian itu diukur dari kekayaan yang dimilikinya. Karena hal itu, Dian menyebut orang-orang berusaha menampilkan dirinya sudah kaya raya. Seperti halnya menampilkan mobil yang dimilikinya, pakaian yang dikenakan, kehidupan sosialnya, hingga pergaulan di lingkungannya saat ini.

"Itu sebetulnya menjadi gaya hidup saat ini. Jadi keren sih crazy rich, tapi bohong gitu ya kalau saya bilangnya sih. Bisa juga memang dia kaya raya, tapi bisa juga dia sebetulnya facking bahwa dia sebetulnya enggak sekaya itu," kata Dian kepada Liputan6.com.

Lanjut Dian, flexing merupakan bentuk pengakuan dari banyak orang. Hal itu juga ada dalam dunia psikologi atau disebut dalam istilah perbandingan dengan orang lain. Di mana seseorang melakukan komparasi sosial bagaimana penilaian orang lain terhadap penampilan kita. Atau seberapa jauh penilaian seseorang saat orang lain mencapai sebuah pencapaian yang dimilikinya di media sosial.

Didukung Media Sosial

Saat ini kata dia, terdapat sejumlah fitur aplikasi media sosial yang mendukung kegiatan flexing. Mulai penampilan story hingga disediakan live aplikasi yang mempermudah interaksi dengan para pengikutnya di dunia maya. Selain itu flexing juga kegiatan yang menunjukkan sisi lain dari orang yang tidak percaya diri di dunia nyata dan butuh pengakuan jika dirinya baik-baik saja.

"Ini yang udah aku capai selama ini dan butuh juga eksistensi, eksistensi diri ya. Eksistensi sosial tidak cuma dirinya dilihat oleh orang lain, tapi juga bagaimana masyarakat sosial. Lingkungan sosial dia yang penting buat dia itu melihat dirinya sudah menjadi orang yang mampu," ujarnya.

 

2 dari 2 halaman

Efek Samping Flexing

Kemudian flexing juga bermunculan dikarenakan adanya kecenderungan pengalaman masa kecil seseorang. Seperti halnya tak ada pengakuan atau prestasi yang dapat dibanggakan. Sedangkan saat ini seseorang yang dianggap tak punya prestasi telah menjadi orang peranan yang cukup diperhitungkan.

"Sebetulnya kalau kita pamer sesuatu dengan itu, bisa bikin kita jadi lebih senang. Itu adalah zat kimianya di dalam tubuhnya namanya dopamine. Efek dopamine itu yang kita orang bangga terus orang komen keren. Itu bikin dia senang, akhirnya jadi pengen lagi melakukan itu, melakukan itu," Dian menjelaskan.

Dian menilai tindakan pamer sebenarnya berbahaya untuk pelakunya sendiri dan para penontonnya. Ketika orang melakukan pamer dan mendapatkan pujian akan berdampak pada kesombongan dan terbawa perasaan. Akibatnya seseorang itu akan mudah membentuk perubahan suasana hati.

Yaitu adanya kewajiban untuk mengunggah sesuatu dan setiap saat di media sosialnya. Dian menilai hal itu menyebabkan adanya ketakutan tidak adanya respon dari orang lain atau kehilangan teman. Sedangkan efek samping kepada penonton yaitu mengharuskan pencapaian seseorang untuk menjadi kaya raya. Padahal secara ilmu psikologi pencapaian seseorang itu banyak macamnya, contohnya kebahagiaan dan kesejahteraan.

"Sejahtera itu kan bisa dikatakan bahwa kita punya kebutuhan yang bisa kita penuhi ya. Kemudian kita bisa membantu orang lain sesuai dengan kemampuan kita gitu ya dan tidak melakukan perilaku perilaku yang merugikan orang lain. Nah, kalau flexing ini udah merugikan orang lain, itu kan berarti mengganggu," Dian menandaskan.