Liputan6.com, Jakarta - Mempertontonkan harta yang dimiliki di media sosial kini menjadi hal biasa di masyarakat. Mulai dari kendaraan, rumah, hingga pakaian yang dikenakan. Saat ini pun istilah flexing menjadi viral pada beberapa pekan terakhir. Flexing memang memiliki arti pamer kekayaan.
Barang-barang yang dianggap mewah dapat dibeli jika seseorang memiliki uang yang cukup. Namun kenyataannya tidak semua orang dapat memiliki barang-barang mewah tersebut. Tas branded asal beberapa negara Eropa, seperti Dior, Prada, hingga Balenciaga, misalnya.
Baca Juga
Peluang itu langsung eksekusi oleh owner @byebeli Jeffry Girianza, dengan membuka jasa penyewaan tas branded. Penyewaan itu mempermudah masyarakat yang tidak perlu mengeluarkan uang lebih untuk bersusah payah memiliki barang mahal itu.
Advertisement
Barang yang disewakan merupakan milik para kolektor tas. Bahkan saat ini tas yang disewakan pun terus bertambah. Sebab jumlah peminatnya terus bertambah ketika akhir pekan.
"Ada Beberapa brand, seperti Balenciaga, Dior, Prada dan sebagainya. Biasanya (sewa tas) macam-macam, seperti untuk acara-acara penting dan ceremony hampir tiap Minggu. Atau untuk kondangan, event serta acara kumpul-kumpul," kata Jeffry kepada Liputan6.com.
Selain itu sewa tas juga digunakan untuk pemotretan, arisan oleh sejumlah orang. Biasanya kata Jeffry, ibu-ibu sosialita menyewa tas agar tidak bosan dengan tampilan yang itu-itu saja. Kemudian beberapa artis Instagram atau selebgram juga ada yang menjadi pelanggannya.
Untuk harga sewanya pun bervariatif. Mulai dari Rp 100 ribu hingga Rp 300-an ribu tergantung mereknya. Penyewaan tas branded itu baru dilakukan di Jakarta saja. Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengaku mulai membuat jasa penyewaan sejak 2016. Awalnya penyewaan yang dilakukannya hanya sebatas kamera untuk keperluan wisata di Bali. Kemera yang disewakan miliknya yang enggak terpakai.
Usaha jasa yang dilakukan Jeffry melalui Instagram mendapat respons positif. Kemudian usaha itu merambah hingga ke Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan Jabodetabek. Sebelum pandemi Covid-19 di kota-kota tujuan pariwisata itu, Jeffry juga menyewakan sepeda motor.
Tarif Jasa Sewa Barang
Setelah itu dengan adanya kemajuan teknologi salah satu merek ponsel mewah pun akhirnya disewakan juga. iPhone mulai disewakan sejak setahun terakhir. Jeffry menyebut ada beberapa tipe pelanggan untuk penyewaan ponsel di tempatnya. Selain hasil foto iPhone sudah semakin bagus, bentuknya yang enteng menjadikan alasan masyarakat menyewanya dibandingkan kamera DSLR.
Tipe pertama pelanggan ponsel adalah yang menyewa untuk pemotretan penjualan online. "Tapi kalau kalau tujuan utama yang paling pertama yang paling kita sering lihat itu sebetulnya untuk jalan-jalan. Mereka mereka butuh untuk mengabadikan momen daripada bawa kamera yang gede. Kedua, buat iklan. Mereka punya baju makanan atau lagi mau bikin tiktok buat produksi," ucapnya.
Selanjutnya, ada pula pelanggan dengan tipe dikarenakan ponsel miliknya pribadi rusak atau masih tahap perbaikan. Pelanggan tipe keempat adalah penggalan yang menggunakannya untuk wisata atau hanya dipertontonkan ke khalayak umum.
"Memang kadang-kadang ada yang emang sengaja buat foto di cermin atau mungkin pas lagi arisan ibu bawa iPhone-nya sambil foto-foto seperti itu," ujar dia.
Harga sewa ponsel iPhone juga bervariasi. Mulai dari Rp 100 ribu hingga Rp 430 ribu untuk iPhone 13 pro. Untuk ponsel terbaru pelanggan paling banyak di Jabodetabek. Persyaratan untuk sewa pun mudah dengan langsung menghubungi di akun media sosialnya.
"Nanti di sana tinggal mereka itu isi standar terus identitas, media sosialnya, berapa lama (sewa) dan nanti kalau dia udah selesai kita cek kelengkapannya. Terus kalau memang tersedia nanti kita bakal bakal kasih barangnya dan itu juga kita ada service juga jadi orangnya enggak harus harus datang ke tempat kita," Jeffry menjelaskan.
Kemudian pengambilannya pun harus berdasarkan kesepakatan yang telah ditentukan di awal. Pengambilan bisa diantar ke kantor terdekat ataupun diambil oleh kurir. "Jakarta memang kebanyakan yang (sewa) paling tinggi iPhone 13. Kalau tempat lain seperti Yogyakarta atau Surabaya kebanyakan tipe iPhone 12 ke bawah," Jeffry menandaskan.
Advertisement
Bersaing di Media Sosial
Pengamat media sosial, Edwin Syarif Agustin menilai flexing merupakan turunan dari karakter media sosial. Sebab ketertarikan masyarakat untuk masuk ke media sosial yaitu ingin memperlihatkan, membagikan sesuatu hal yang terlihat seperti bersaing yang semakin lama muncullah flexing atau pamer kemewahan. Fenomena itu kata Edwin juga lebih dulu dipertontonkan oleh masyarakat di negara lain misalnya Amerika Serikat. Flexing juga menjadi jalan pintas seseorang ingin cepat dikenal di media sosial.
"Kalau orang-orang yang punya kemampuan untuk itu enggak masalah, maksudnya bisa melakukannya gitu. Tapi kalau yang enggak kadang-kadang mereka fokus untuk supaya bisa melakukannya. Sehingga melakukan hal-hal yang tidak baik supaya niat untuk flexing itu tercapai. Ini yang banyak sekali kejadian yang terbongkarlah," kata Edwin kepada Liputan6.com.
Menurut Edwin, medium media sosial yang pertama kali membuat flexing populer yaitu melalui Instagram yang lalu disusul platform lainnya. Meskipun awalnya platfrom tersebut hanya untuk mempertontonkan hasil fotografi. Dia memprediksi nantinya tak hanya fenomena flexing yang akan ramai diperbincangkan oleh masyarakat.
Prediksi Adanya Fenomena Lain
Sebab konten yang dipertontonkan di seluruh dunia sangat beragam dan hanya tinggal tunggu waktu mana yang akan besar dan populer. Edwin menegaskan sebenarnya pelaku flexing itu tidak bermaksud untuk mempengaruhi pengikutnya.
Namun hal tersebut berbeda halnya dalam kasus Indra Kenz yang saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka kasus penipuan berkedok trading Binomo. Karena hal itu dia meminta agar masyarakat dapat hati-hati dalam menyikapi sebuah konten promosi aplikasi ilegal.
"Jadi kita sudah terpukau oleh kemewahan yang disampaikan, kemudian ditarik supaya kita pengen dong kayak dia gitu. Jadi caranya adalah begini, diarahin untuk menggunakan produk produk yang boleh dikatakan tidak resmi. Itu yang salah sebetulnya," papar dia.
Kata dia, sebenarnya flexing di negara lain lebih parah dari Indonesia. Namun masyarakat di sana banyak yang tidak terpengaruh dengan aksi yang dilakukan pelaku. Saat ini masyarakat Indonesia masuk dalam fase pembelajaran tentang flexing. Mulai dari dampak hingga tujuan dari pamer kemewahan itu.
"Hopefully setelah ini lewat, kita udah akan terpengaruh lagi tentang flexing, itu flexing aja, iya oke flexing, ya kita nikmati tapi kalau terpengaruh, ntar dulu gitu," ucapnya.
Edwin menegaskan setiap platform media sosial tidak dapat menghilangkan begitu saja fenomena flexing yang sedang ramai di Indonesia. Paltform hanya akan menghilangkan sebuah konten yang bertentangan atau aturan mereka. Biasanya media sosial berpatokan pada algoritma untuk menjaga ketertiban, mengurutkan data, hingga memberikan peringkat konten yang disukai pengguna.
Biasanya algoritma itu selalu berubah. Dalam sistemnya algoritma menentukan posisi pengguna dalam tampilan iklan dan penempatan konten.
"Apapun yang populer, dia akan fokus ke atas supaya ditemukan lebih cepat. Begitu algoritmanya ada. Jadi dia tidak memikirkan bahwa kontennya flexing apa enggak. Kebetulan konten sekarang yang sangat banyak dilihat orang," dia menjelaskan.
Flexing Praktik Marketing
Sementara itu, pakar pemasaran dan juga founder Rumah Perubahan, Rhenald Kasali menyatakan pada saat ini praktik flexing merupakan bagian dari taktik marketing atau pemasaran untuk kepentingan bisnis ataupun pribadi. Atau teori consumer behaviour dimana terdapat conspicuous consumption atau konsumsi yang sengaja dipamerkan kepada orang lain. Cara itu kata dia sudah ada sejak lama hanya saja yang membedakan yaitu signaling atau dengan cara yang lebih halus.
"Tapi kalau itu melebih-lebihkan, kemungkinan besar orang itu sedang menutupi sesuatu," kata Rhenald kepada Liputan6.com.
Menurut dia, ada sejumlah hal yang membedakan pelaku sekedar hanya flexing atau ada niat jahat. Jika hanya sekedar flexing pelaku hanya membuat untuk konten media sosial saja atau hanya sekedar senang-senang. Misalnya seperti jalan-jalan ke luar negeri. Jika ada bisnis biasanya jualannya nyata dan dapat diketahui khalayak.
Namun jika seseorang melakukan flexing tanpa diketahui dari hasil pendapatan atau bisnis yang dipertanyakan. Misalnya dari hasil trading yang tidak jelas asal-usulnya. Yaitu barangnya tidak jelas hingga customernya pun juga dipertanyakan. Jika trading saham kata Rhenald itu ada aset bawahnya hingga sekuritasnya.
"Tapi kalau yang melakukan seperti ini, cepat atau lambat akan ketahuan dan akan ada korban-korban. Dan sekarang semakin cepat, dalam waktu satu tahun sudah sudah merugikan orang lain. Biasanya skema ponzi (investasi palsu) itu butuh waktu dua tahun, tapi sekarang ini satu tahun sudah kelihatan dampaknya banget," paparnya.
Sejumlah kegiatan yang dianggap flexing di media sosial bermunculan setelah beberapa orang dilabeli sebagai crazy rich baru. Misalnya di Instagram hingga YouTube. Psikolog Dian Wisnuwardani pun angkat bicara mengenai fenomena flexing yang ramai di dunia maya tersebut. Kata Dian, berdasarkan hasil riset prioritas utama orang saat ini ingin menjadi kaya raya. Sebab setiap orang pada dasarnya memiliki sebuah pencapaian ataupun prestasi dalam hidupnya.
Butuh Pengakuan
Pencapaian itu diukur dari kekayaan yang dimilikinya. Karena hal itu, Dian menyebut pelaku flexing berusaha menampilkan jika dirinya sudah kaya raya. Seperti halnya menampilkan mobil yang dimilikinya, pakaian yang dikenakan, kehidupan sosialnya, hingga pergaulan di lingkungannya saat ini.
"Itu sebetulnya menjadi gaya hidup saat ini. Jadi keren sih crazy rich tapi bohong gitu ya kalau saya bilangnya sih. Bisa juga memang dia kaya raya, tapi bisa juga dia sebetulnya facking bahwa dia sebetulnya enggak sekaya itu," kata Dian kepada Liputan6.com.
Lanjut Dian, flexing merupakan bentuk pengakuan dari banyak orang. Hal itu juga ada dalam dunia psikologi atau disebut dalam istilah perbandingan dengan orang lain. Yaitu di mana seseorang melakukan komparasi sosial bagaimana penilaian orang lain terhadap penampilan kita. Atau seberapa jauh penilaian seseorang saat orang lain mencapai sebuah pencapaian yang dimilikinya di media sosial.
Advertisement
Efek Flexing Secara Psikologis
Saat ini kata dia, terdapat sejumlah fitur aplikasi media sosial yang mendukung kegiatan flexing. Mulai penampilan story hingga disediakan live aplikasi yang mempermudah interaksi dengan para pengikutnya di dunia maya. Selain itu flexing juga kegiatan yang menunjukkan sisi lain dari orang yang tidak percaya diri di dunia nyata dan butuh pengakuan jika dirinya baik-baik saja.
"Ini yang udah aku capai selama ini dan butuh juga eksistensi, eksistensi diri ya. Eksistensi sosial enggak cuma dirinya dilihat oleh orang lain, tapi juga bagaimana masyarakat sosial. Lingkungan sosial dia yang penting buat dia itu melihat dirinya sudah menjadi orang yang mampu," ujarnya.
Kemudian flexing juga bermunculan dikarenakan adanya kecenderungan pengalaman masa kecil seseorang. Seperti halnya tak ada pengakuan atau prestasi yang dapat dibanggakan. Sedangkan saat ini seseorang yang dianggap tak punya prestasi telah menjadi orang peranan yang cukup diperhitungkan.
"Sebetulnya kalau kita pamer sesuatu dengan itu, bisa bikin kita jadi lebih senang. Itu adalah zat kimianya di dalam tubuhnya namanya dopamine. Efek dopamine itu yang kita orang bangga terus orang komen keren. Itu bikin dia senang, akhirnya jadi pengen lagi melakukan itu, melakukan itu," jelas Dian.
Dian menilai tindakan pamer sebenarnya berbahaya untuk pelakunya sendiri dan para penontonnya. Sebab hal itu memiliki efek sosial mulai anak-anak hingga orang dewasa. Yaitu jika yang ditampilkan bukanlah kepunyaannya sendiri. Dia juga enggan menyebut orang yang pamer kekayaan memiliki gangguan psikologis. Namun hal yang dilakukannya itu menjadi kecendrungan yang kurang positif.
Untuk pelaku flexing membuat dirinya memiliki keharusan secara terus menerus menampilkan diri seperti yang disukai oleh pengikutnya. Lalu merasa adanya kewajiban untuk mengunggah sesuatu dan setiap saat di media sosialnya. Jika tak melakukannya akan timbul ketakutan tidak adanya respon dari orang lain atau kehilangan teman.
Efek Flexing
Sedangkan efek samping kepada penonton yaitu mengharuskan pencapaian seseorang untuk menjadi kaya raya. Padahal dalam ilmu psikologi pencapaian seseorang itu banyak macamnya, contohnya bahagia dan sejahtera.
"Sejahtera itu kan bisa dikatakan bahwa kita punya kebutuhan yang bisa kita penuhi ya. Kemudian kita bisa membantu orang lain sesuai dengan kemampuan kita gitu ya dan tidak melakukan perilaku perilaku yang merugikan orang lain. Nah, kalau flexing ini udah merugikan orang lain, itu kan berarti mengganggu," kata dia.
Dian pun memiliki sejumlah tips untuk menyikapi adanya tindakan flexing. Untuk anak-anak diperlukannya pendampingan orang dewasa hingga nasihat mengenai memilah konten yang bermanfaat. Sedangkan untuk para orang dewasa dapat lebih fokus dalam kegiatan yang positif. Misalnya membaca buku hingga mengikuti kegiatan webinar.
"Yang harus dilakukan satu adalah kita melakukan self regulasi ya atau dikatakan dengan self control ya. Itu artinya kita lihat apa sih pentingnya kita menonton orang yang pamer atau melakukan flexing ini, berguna atau enggak sih kita tonton? Ini dampaknya buat kita gimana? Oke atau enggak? Oke. Ya. Kalau nggak oke ya udah kita ganti aja," Dian menandaskan.
Infografis
Advertisement