Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Tinggi (PT) Bandung menjatuhkan vonis mati kepada terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 13 santriwatinya, Herry Wirawan. Vonis banding itu dibacakan pada Senin 4 April 2022.
"Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana mati," bunyi amar putusan kasus pemerkosaan santriwati dengan terdakwa Herry Wirawan, seperti dikutip Liputan6.com dari laman resmi PT Bandung, Senin kemarin.
Putusan banding itu lebih berat dari vonis yang dijatuhkan pada pengadilan tingkat pertama, yakni hukuman pidana seumur hidup. Vonis ini juga sekaligus memperbaiki sejumlah putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung, salah satunya terkait restitusi.
Advertisement
Baca Juga
Putusan banding yang memperberat hukuman Herry Wirawan ini disambut baik para korban dan keluarganya. Mereka merasa bahwa vonis mati terhadap Herry Wirawan adalah keputusan yang adil.
"Keluarga korban merasa senang mendengar itu, karena sesuai dengan harapan, yang dulu pada saat putusan PN sempat ada kekecewaan. Jadi ketika kemarin mendapatkan hukuman mati mereka senang. Paling tidak merasa lega ya, karena dengan hukuman mati keluarga korban merasa adil," ujar kuasa hukum korban, Yudi Kurnia saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (5/4/2022).
Bahkan Yudi menilai, putusan di tingkat banding itu tidak hanya memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarganya. "Tapi juga secara umum masyarakat luas."
Dia mengakui bahwa putusan ini menuai pro dan kontra. Namun dia meminta agar pihak yang menolak hukuman mati tidak mengkritisi putusan yang dijatuhkan terhadap Herry Wirawan atas perbuatan biadabnya memperkosa santriwatinya yang masih di bawah umur hingga melahirkan.
"Karena kasihan keluarga korban. Kalau mau mengkritisi undang-undangnya, jangan dalam konteks kasus ini. Jangan dalam konteks kasusnya, tapi dalam kerangka aturan yang sudah ada itu," ucap Yudi.
Dia mengungkapkan alasan vonis mati ini adalah keputusan yang adil bagi korban dan keluarganya. Sebab mereka khawatir Herry Wirawan sewaktu-waktu akan membuka luka lama jika hanya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
"Hukuman seumur hidup itu adalah apabila nanti mendapatkan grasi presiden ke depan dan mencari anak-anak. Itu akan membuka luka lama, menyakitkan yang kedua kalinya. Dibandingkan dengan hukuman mati yang mereka sudah menganggap lupa saja, walau pun memang tidak gampang melupakan," katanya.
Saat ini kondisi para korban berangsur pulih. Secara psikologis, kondisi mereka membaik dan sudah mulai beraktivitas secara normal. Namun masih ada satu korban yang baru saja melahirkan, terkadang tiba-tiba menangis sendiri.
"Saya mengapresiasi, dan ini bentuk komitmen negara dalam melindungi anak-anak bangsa lewat putusan hukuman mati," ujar Yudi.
Lebih lanjut, dia berharap agar perhatian pemerintah terhadap nasib korban dan anak-anaknya juga tidak kalah penting dari sekedar menghukum mati pelaku. Jangan sampai komitmen pemerintah hanya sebatas di lisan ketika kasus sedang menjadi sorotan publik.
"Itu harus disiapkan juga dasar hukumnya atau peraturan-peraturannya. Kebijakan gubernur sudah ada, siapa pun gubernurnya ini harus dilaksanakan sampai anak ini dewasa. Jangan sampai kebijakan yang diucapkan gubernur saat ini secara lisan saja ya, ada aturan-aturan yang jelas, komitmen negara, untuk mengurus masa depan anak yang dilahirkan itu," ucap Yudi.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengapresiasi vonis mati yang dijatuhkan PT Bandung terhadap Herry Wirawan. Menurutnya, putusan tersebut membawa harapan baru perubahan paradigma penanganan perlindungan khusus anak.
"Saya kira kinerja majelis hakim sangat diapresiasi para korban dan keluarganya yang telah menunggu lama putusan ini. Seraya berharap putusan tersebut juga bisa menjadi yurisprudensi hukum para korban untuk kasus yang sama," ujar Jasra saat dihubungi Liputan6.com, Selasa.
"Putusan ini tentunya menjadi tonggak sejarah penting untuk Indonesia, dalam memberikan efek jera hukuman maksimal, sekaligus edukasi di masyarakat," sambung dia.
KPAI juga menyoroti putusan banding PT Bandung terkait restitusi yang kini dibebankan kepada terdakwa Herry Wirawan. Pada putusan di pengadilan tingkat pertama, restitusi dibebankan kepada negara, yakni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
"Tentunya keberpihakan yang tinggi dari majelis hakim untuk para korban sangat perlu diapresiasi," tutur Jasra.
Lebih lanjut, dia menilai bahwa negara masih memiliki pekerjaan rumah (PR) besar atas kebijakan yang lebih berpihak kepada korban kejahatan seksual. Selama ini, pemerintah telah memiliki instrumen untuk memberikan hukuman maksimal bagi pelaku kejahatan seksual.
"Sedangkan para korban masih menghadapi rehabilitasi yang saya anggap terlalu singkat, dengan risiko yang harus dijalani sepanjang hidup," katanya.
Kepala Divisi Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi (Kadivwasmonev) KPAI ini mendorong agar pemberatan hukuman pelaku kejahatan seksual juga dibarengi dengan upaya rehabilitasi terhadap korban yang lebih integratif, berkelanjutan, dan jangka panjang.
"Apalagi korbannya anak-anak, yang negara punya kewajiban melindunginya sampai (usia) 18 tahun," ujar Jasra.
KPAI berharap ada perubahan cara kerja, pandangan dalam kebijakan, norma, sistem, prosedur, dan operasional dalam penanganan Klaster V Perlindungan Khusus Anak. Sebab, kata dia, seringkali respons terhadap Anak Membutuhkan Perlindungan Khusus (AMPK) sesuai PP No 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak masih sangat lemah.
"Karena instrumen kebijakan yang belum banyak berpihak. Seharusnya apa yang diputuskan majelis hakim menjadi penguat harmonisasi kebijakan terkait pemenuhan hak perlindungan anak, terutama anak-anak korban kejahatan seksual baik di daerah-daerah," tandas dia.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ace Hasan Syadzili menyatakan bahwa hukuman mati terhadap Herry Wirawan cukup untuk memberi efek jera bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak-anak.
“Hukuman bagi Herry Wirawan ini sudah sangat berat. Kita berharap dengan hukuman ini menyadarkan dirinya bahwa perbuatannya itu membuatnya insyaf dan memberikan efek bagi yang lainnya. Jangan main-main dengan perbuatan kekerasan seksual yang dilakukannya itu,” kata Ace saat dikonfirmasi, Selasa (5/4/2022).
Ace mengakui, hukuman mati masih menuai pro-kontra di Indonesia. Meski demikian, setidaknya vonis mati itu sudah memberi keadilan bagi para korban.
“Meski ada (pro-kontra), bagi korban juga setidaknya memberikan efek psikologis dalam konteks pemulihan bahwa pelakunya diberikan hukuman. Dengan demikian, trauma healingnya bisa berlangsung dengan cepat sehingga para korban dapat merasakan keadilan hukuman,” kata dia.
“Penegak hukum juga harus memastikan soal restritusi bagi korban. Ini penting agar masa depan mereka terjamin terutama bagi korban di bawah umur,” imbuh politikus Golkar ini.
Wakil Ketua Komisi di DPR yang membidangi Sosial dan Agama ini berharap, vonis mati Herry Wirawan bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak, bahwa hukuman berat menanti para predator seksual.
“Harapan yang paling utama adalah hukuman ini merupakan pelajaran bagi siapapun yang main-main dengan kekerasan seksual terutama terhadap anak. Ada hukuman berat bagi pelakunya,” ucapnya.
Selain itu, dia berharap tak boleh ada lagi kasus kekerasan seksual terulang di sekolah atau pesantren. “Ini tak boleh terulang lagi, pemerintah harus menjamin adanya aturan pencegahan kekerasan seksual tak hanya pesantren melainkan di masyarakt luas,” pungkasnya.
Hukuman Mati Tak Bikin Efek Jera
Amnesty International Indonesia meniai apa yang dilakukan Herry Wirawan sangat jahat, tidak manusiasi, dan sangat merendahkan martabat korban. Kendati begitu, Amnesty tetap pada prinsipnya, menolak hukuman mati terhadap apa pun bentuk kejahatannya, tak terkecuali kasus Herry Wirawan.
"Amnesty International memang secara organisasi menolak hukuman mati, untuk segala kasus tanpa terkecuali, terlepas dari siapa yang dituduh melakukan kejahatan, sifat kejahatan, bersalah atau tidak bersalah, ataupun metode eksekusi yang digunakan, karena hukuman ini merupakan pelanggaran hak untuk hidup," kata Peneliti Amnesty International Indonesia, Keanu Arief saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (5/4/2022).
Dia menyatakan bahwa berbagai riset yang dilakukan sejumlah lembaga internasional, termasuk Amnesty, menunjukkan bahwa hukuman mati tidak menimbulkan efek jera. Buktinya, angka kasus kejahatan luar biasa seperti narkoba hingga terorisme masih tinggi.
Dalam kasus pemerkosaan yang dilakukan Herry Wirawan terhadap 13 santriwatinya, Amnesty fokus pada upaya mendorong pengesahan Rencana Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Sebab payung hukum itu diyakini dapat memberi rasa keadilan bagi korban.
"RUU ini sudah lama diperlukan untuk membantu mengatasi persoalan kekerasan seksual secara menyeluruh. Pengesahan RUU TPKS juga dapat membantu pemenuhan hak korban seperti hak atas penanganan, hak atas perlindungan, dan hak atas pemulihan yang sangat penting untuk memberikan keadilan pada korban," ujar Keanu.
"Menghukum satu orang saja tidak akan mengubah keadaan. Amnesty sangat berharap RUU TPKS bisa segera disahkan, karena Amnesty melihat ini sangat urgent," katanya menandaskan.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai bahwa majelis hakim PT Bandung telah memperhatikan rasa keadilan bagi masyarakat, terutama korban, sehingga menjatuhkan vonis mati terhadap Herry Wirawan.
"Artinya hakim Pengadilan Tinggi menganggap belum cukup adil kalau seumur hidup, karena perbuatannya sudah sedemikian rupa, sehingga dia berkesimpulan bahwa cukup adil kalau dijatuhi hukuman mati, hukuman maksimal," katanya saat dihubungi Liputan6.com, Selasa.
Meski begitu, dia berpendapat bahwa hukuman mati yang selama ini diterapkan di Indonesia tidak berhasil membuat efek jera pelaku kejahatan serupa.
"Menurut saya dua hal yang berbeda, orang dihukum mati banyak tapi orang yang melakukan kejahatan seksual tetap saja jalan. Ya usaha sebagai menakut-nakuti iya, supaya ada efek jera. Tetapi tingkat keberhasilan tidak signifikan juga, artinya tidak terlalu berpengaruh," tutur Fickar.
Secara pribadi, Abdul Fickar tidak setuju dengan penerapan hukuman mati, sebab kematian merupakan otoritas Tuhan. Sehingga siapapun tidak berwenang menghukum mati atau mematikan orang lain.
"Tetapi hukuman mati sampai sekarang masih menjadi hukum positif, masih menjadi hukuman yang berlaku di Indonesia. Jadi harus kita hormati juga kalau hakim berpendapat keadilan dengan hukuman mati. Artinya rasa keadilan hakim memang seperti itu," ucap dia.
Lebih lanjut, Abdul Fickar menegaskan bahwa vonis mati terhadap Herry Wirawan belum final. Dia masih bisa melakukan perlawanan hukum dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Selanjutnya, putusan kasasi juga masih bisa ditinjau ulang melalui upaya Peninjauan Kembali (PK).
"Jadi siapa yang merasa enggak puas, bisa melakukan upaya hukum lagi," kata Fickar menjelaskan.
Advertisement
Pelaksanaan Rehabilitasi Korban Harus Dibenahi
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) menanggapi putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang memvonis terpidana kasus perkosaan terhadap 13 santri, Herry Wirawan dengan hukuman mati. Meski mendapat sambutan positif dari publik, hakim dinilai perlu memperhatikan beberapa hal.
"Sebagai lembaga negara di bidang hak asasi manusia, tentu saja sikap kami tidak hanya pada kasus ini tapi pada kasus-kasus hukuman mati yang lain. Kami selalu ingin mengingatkan para penegak hukum terutama nanti hakim kasasi yang mungkin saja akan ditempuh oleh terpidana atau pengacaranya, kami berharap para hakim kasasi nanti mempertimbangkannya suatu tren global, di mana hukuman mati secara bertahap telah dihapuskan, hanya tinggal beberapa negara lagi yang masih mengadopsi hukuman mati termasuk Indonesia," tutur Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik lewat keterangan video, Selasa (5/4/2022).
Menurut Taufan, kalau diperhatikan dalam roadmap hukum pidana seperti KUHP, memang masih ada hukuman mati namun tidak menjadi satu hukuman yang serta merta. Sebab, masih diberikan juga kesempatan kepada terpidana mati dalam satu periode tertentu untuk melalui assesment hingga evaluasi.
"Dan manakala terpidana mati itu melakukan perubahan-perubahan sikap misalnya, maka hukuman mati terhadap terpidana masih dimungkinkan untuk diturunkan kepada hukuman yang lebih ringan," jelas dia.
Taufan mengatakan, kasus Herry Wirawan bukanlah satu-satunya yang terjadi di Indonesia, yakni ada pula kejadian pada berbagai institusi agama. Tindak kekerasan, praktik pemerkosaan, hingga pelecehan seksual dilakukan oleh pihak yang justru dipercaya untuk mengelola institusi pendidikan agama itu terhadap para murid dan orang di sekitarnya.
"Di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga sebetulnya sudah ada langkah-langkah untuk memperbaiki itu dengan keluarnya Permendikbuddikti tempo hari. Komnas HAM sangat mendukung, mengapresiasi, karena itu satu langkah yang sistemik dan sistematik dalam rangka mencegah terjadinya tindak kekerasan, tapi juga praktik-praktik perundungan seksual yang dialami oleh banyak pihak di perguruan tinggi," katanya.
Yang paling penting juga, lanjut Taufan, adalah penghormatan terhadap hak asasi manusia dan perlindungan terhadap korban. Termasuk juga pelaksanaan rehabilitasi perlu dibenahi, terutama dalam sistem pendidikan keagamaan yang seringkali menggunakan jargon keagamaan, namun ada praktik kejahatan terselubung.
"Perlu dipahami juga dalam konteks ini Komnas HAM Tentu saja sangat berempati kepada korban. Bagi Komnas HAM, korban adalah pihak yang paling utama untuk diperhatikan, karena itu kami juga sangat kuat mendorong agar ada proses restitusi, proses rehabilitasi, dan perhatian yang lebih serius dalam kasus Herry Wirawan maupun kasus-kasus lainnya kepada korban, anak-anak yang ditimbulkan dari kekerasan seksual atau perkosaan ini," ujar Taufan.
"Sehingga apa yang mereka alami sekarang, suatu kesakitan karena fisik mereka juga terganggu, psikologis mereka terganggu, dan yang tidak kalah penting juga masa depan mereka terganggu. Itu bisa dipulihkan secara bertahap dengan bantuan dan dukungan dari pemerintah dan seluruh institusi sosial yang ada. Kita harus bekerja sama untuk mengatasi itu dan fokus kepada pertolongan terhadap korban ini," sambungnya.
Kembali Taufan mengingatkan, bahwa ada satu tren yang bersifat global yakni abolisi atau dihapuskannya hukuman mati di berbagai belahan dunia. Menyandarkan juga pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28i ayat 1, bahwa dikatakan hak untuk hidup itu adalah hak yang tidak bisa dikurangi atau dibatasi dalam kondisi apa pun, karena itu merupakan satu hak asasi yang absolut.
"Sekali lagi juga kalau kita lihat kajian-kajian terkait dengan penerapan hukuman mati, tidak ditemukan korelasi antara penerapan hukuman mati dengan efek jera atau pengurangan tindak pidana. Apakah itu tindak pidana kekerasan seksual, tindak pidana terorisme misalnya, atau narkoba, dan tindak pidana yang lainnya. Karena itu sekali lagi kita menginginkan ada satu peninjauan yang sebaik-baiknya dari hakim kasasi nanti, manakala misalnya terpidana mati ini Herry Wirawan maupun pengacaranya mengajukan kasasi," kata Taufan menandaskan.
The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) turut angkat suara terkait putusan hukuman mati yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi Bandung terhadap Herry Wirawan. ICJR menyayangkan putusan itu, sebab hukuman mati bisa menjadi preseden buruk bagi proses pencarian keadilan korban kekerasan seksual.
"Karena fokus negara justru diberikan kepada pembalasan kepada pelaku, alih-alih korban yang seharusnya dibantu pemulihannya," kata ICJR melalui keterangan tertulis yang diterima Senin (4/4/2022).
ICJR menilai, hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual justru akan menggeser fokus negara kepada hal yang tidak lebih penting dari korban.
ICJR pun mengutip pernyataan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (United Nation High Commissioner for Human Rights), Michelle Bachelet yang juga mengamini hal ini.
"Bachelet menyampaikan bahwa meskipun pelaku perkosaan dan kekerasan seksual lain harus dimintai tanggung jawab, namun hukuman mati dan penyiksaan bukanlah solusinya," jelas ICJR.
ICJR meyakini, tidak ada satu pun bukti ilmiah yang menyebutkan bahwa pidana mati dapat menyebabkan efek jera, termasuk di dalam kasus perkosaan.
Karena menurut Bachelet, masalah dari kasus-kasus perkosaan yang terjadi di seluruh belahan dunia disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap keadilan korban.
"Pidana mati, diterapkan justru ketika negara gagal hadir untuk korban. Ini adalah bentuk 'gimmick' yang diberikan sebagai kompensasi karena negara gagal hadir dan melindungi korban, sebagaimana seharusnya dilakukan," demikian pernyataan ICJR.
Putusan Banding Herry Wirawan
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung menjatuhkan vonis hukuman mati kepada pelaku pemerkosaan 13 santriwati, Herry Wirawan. Putusan banding itu dibacakan pada Senin (4/4/2022).
"Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana “MATI”," bunyi putusan seperti dikutip Liputan6.com dari laman resmi PT Bandung soal kasus pemerkosaan santriwati, Senin.
Majelis hakim yang diketuai Herri Swantoro itu juga memutuskan Herry Wirawan tetap ditahan.
Banding tersebut diajukan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat yang tidak puas dengan putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung. Pada pengadilan tingkat pertama, majelis hakim PN Bandung menghukum Herry dengan pidana penjara seumur hidup.
Pada putusan banding ini, majelis hakim juga memperbaiki sejumlah putusan PN Bandung. Salah satunya terkait restitusi atau ganti rugi kepada korban senilai lebih dari Rp 300 juta yang sebelumnya dibebankan kepada negara.
Majelis hakim PT Bandung menilai bahwa putusan di tingkat pertama yang membebankan restitusi kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, bertentangan dengan hukum positif yang berlaku.
"Membebankan restitusi kepada Terdakwa Herry Wirawan alias Heri bin Dede," demikian bunyi putusan banding PT Bandung.
Disebutkan, restitusi itu diberikan kepada 12 santriwati berdasarkan rincian dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Adapun rinciannya yakni, korban berinisal NM mendapatkan ganti rugi sebesar Rp75.770.000, kemudian korban berinisial SS mendapatkan ganti rugi Rp22.535.000, korban FPN menerima Rp20.523.000.
Selain itu, ada korban RA mendapat ganti rugi sebesar Rp29.497.000, lalu GLS mendapat Rp8.604.064, korban N mendapat Rp14.139.000, korban FNL mendapat Rp9.872.368, korban NRD mendapat Rp85.830.000, lalu ada MWR mendapat Rp17.724.377, korban NSS mendapat Rp19.663.000, dan korban IRPC mendapat Rp15.991.377.
"Menetapkan 9 (sembilan) orang anak dari para korban dan para anak korban agar diserahkan perawatannya kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat cq. UPT Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Barat setelah mendapatkan ijin dari keluarga masing-masing dengan dilakukan evaluasi secara berkala. Apabila dari hasil evaluasi ternyata para korban dan anak korban sudah siap mental dan kejiwaan untuk menerima dan mengasuh kembali anak-anaknya, dan situasinya telah memungkinkan, anak-anak tersebut dikembalikan kepada para anak korban masing-masing," bunyi putusan.
Untuk diketahui, restitusi adalah ganti rugi yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 angka 11 UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pihak Herry Wirawan Belum Memutuskan Upaya Hukum Lanjutan
Secara terpisah, Kuasa hukum terdakwa Herry Wirawan, Ira Mambo mengaku belum bisa memberikan tanggapan atas vonis mati tersebut. Termasuk soal upaya hukum lanjutan yang akan diambil.
Ira berdalih belum menerima salinan berkas putusan tersebut. Sebelum berkas putusan banding berada di tangannya, pihaknya belum bisa memberikan tanggapan.
"Kami belum menerima putusan karena putusan yang resmi itu akan diberikan dari kepaniteraan Pengadilan Negeri Bandung sehingga kami belum bisa memberikan pendapat tentang upaya apa yang akan dilakukan," tutur Ira, Senin (4/4/2022).
Ira menuturkan, salinan tersebut akan diserahkan terlebih dahulu kepada panitera Pengadilan Negeri Bandung sebelum diserahkan kepada pihak kuasa hukum terdakwa.
"Jadi, nanti salinan itu akan diserahkan kepada panitera PN Bandung. Lalu panitera menyerahkannya kepada kami," ujarnya.
Advertisement