Sukses

Baleg DPR: 3 Nama Provinsi Baru di Papua Masih Bisa Diubah dalam Pembahasan

DPR RI telah menyetujui RUU tentang tiga provinsi baru di Papua, yakni Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah menyetujui 3 Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah untuk disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam sidang paripurna.

Wakil Ketua Baleg DPR RI, Achmad Baidowi menyatakan, ketiga nama provinsi baru di Papua tersebut masih bisa diubah.

"Pengajuan Komisi II DPR yang tercantum adalah RUU sesuai yang ada hari ini. Jadi RUU Papua Selatan, RUU Papua Pegunungan Tengah, dan juga RUU Papua Tengah. Jadi seperti itu, kalaupun kemudian mau diubah, itu di dalam pembahasan bisa," kata Baidowi alias Awiek kepada wartawan, Jumat (8/4/2022).

Saat ini, terdapat juga usulan penamaan 3 calon provinsi baru di Papua tersebut berdasar nama adat, untuk Papua Selatan ialah Provinsi Ha Anim, di Papua Tengah bernama Provinsi Meepago, dan di Papua Pegunungan Tengah adalah Provinsi Lapago.

"Memang kita rekomendasikan juga dalam RUU itu nama-nama adat juga dimasukkan. Misalkan Papua Pegunungan Tengah itu apa, terus Papua Tengah itu apa, Papua Selatan itu apa," kata Awiek.

Awiek menyebut usulan nama adat itu berdasar usulan masyarakat dan kajian dari akademisi

"Hasil temuan kita, rekomendasi kita, sesuai dengan aspirasi publik dan kajian dari akademisi, melihat bahan-bahan akademik, itu menunjukkan bahwa nama-nama adatnya seperti itu," ucapnya.

Sementara itu, Awiek menyebut Baleg hanya bertugas mengharmonisasi, sementara pembahasan bersama pemerintah kemungkinan akan dilakukan bersama Komisi II DPR.

"Pembahasan RUU antara DPR dan pemerintah kemungkinan besar akan dilakukan di Komisi II DPR," pungkas dia.

2 dari 4 halaman

Pemekaran Demi Pemerataan di Papua

Ketua DPR, Puan Maharani, mendukung rencana pemekaran wilayah tiga provinsi baru di Papua. Tiga provinsi baru itu adalah Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.

Pemekaran wilayah di Papua tersebut tertuang dalam rancangan undang-undang (RUU) yang diusulkan oleh Komisi II DPR.

Puan mengklaim pemekaran itu demi pemerataan pembangunan. “Penambahan provinsi di Indonesia bagian timur dimaksudkan untuk mempercepat pemerataan pembangunan di Papua dan untuk melayani masyarakat Papua lebih baik lagi,” kata Puan Maharani, Jumat (8/4/2022).

Puan menambahkan, pemekaran wilayah di Papua juga bertujuan agar ada peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat Papua. Dengan penambahan provinsi, Puan berharap Papua bisa semakin maju.

“RUU yang mengatur pemekaran 3 wilayah baru ini juga sebagai upaya untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Papua,” ucapnya.

Tiga provinsi baru di Bumi Cenderawasih itu nantinya akan melingkupi belasan kabupaten yang kini masuk di Provinsi Papua.

Provinsi Papua Selatan (Ha Anim) akan menjadikan Merauke sebagai ibu kota, kemudian ibu kota Provinsi Papua Tengah (Meepago) akan berada di Timika, dan ibu kota Provinsi Papua Pegunungan Tengah (Lapago) adalah Wamena.

Setelah RUU soal pemekaran wilayah di Papua ini disahkan sebagai RUU inisiatif DPR di Rapat Paripurna, pembahasan RUU akan dilanjutkan dalam pembicaraan tingkat I bersama Pemerintah.

Puan pun memastikan beleid soal pemekaran wilayah itu nantinya akan tetap diselaraskan dengan Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua.

“Dalam pembahasan RUU ini nantinya agar memperhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat Papua,” pesan Puan.

Dengan adanya penambahan tiga provinsi baru di Papua, Indonesia kelak akan memiliki 37 provinsi. Puan meminta dukungan masyarakat terkait hal ini.

“Saya meminta dukungan masyarakat semua,” kata dia.

 

3 dari 4 halaman

Ditolak Mahasiswa dan Pelajar Papua

Rencana pemekaran Papua mendapat penolakan dari sejumlah elemen masyarakat. Sejumlah mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam Front Pelajar dan Mahasiswa Papua Jember (Forpemapje) menggelar aksi demonstrasi pada Sabtu (19/03/2022). Mereka menentang rencana pemerintah untuk memekarkan dan membentuk provinsi baru di Papua.

“Indonesia harus lebih dulu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di West Papua sejak tahun 1961 hingga sekarang,” tutur Yeris Karoba, salah satu koordinator aksi mahasiswa dan pelajar Papua di Jember

Aksi longmarch digelar sejak depan kampus Universitas Jember (Unej) hingga kemudian berorasi di depan gedung DPRD Jember. Seiring dengan berlakunya Otonomi Khusus (Otsus), pemerintah pusat sejak 1 dasawarsa lalu membentuk provinsi baru di daerah yang sebelumnya bernama Irian Jaya. Yakni Provinsi Papua dan Papua Barat. Dengan adanya provinsi baru, maka akan ada 3 provinsi di daerah tersebut.

“Hingga saat ini, pemerintah belum juga melaksanakan amanat UU Otonomi khusus (Otsus) seperti penghormatan, perlindungan serta pemberdayaan penduduk asli. Bahkan, kualitas pembangunan di kabupaten-kabupaten baru pun belum mengalami perbaikan. Jika pemerintahan Jokowi tetap bersikeras memekarkan daerah otonomi baru (DOB) maka bisa memperburuk keadaan,” lanjut Yeris Karoba.

 

4 dari 4 halaman

Khawatir Pengiriman Militer Meningkat

Pembentukan provinsi atau daerah otonomi baru (DOB), dikhawatirkan mahasiswa bisa berdampak pada meningkatnya pengiriman militer organik dan non organik (TNI/POLRI), sampai perluasan kekuatan militer melalui pembangunan Kodam, Korem, Kodim, dan Koramil.

“Kami juga khawatir pembangunan perusahan-perusahan besar milik orang asing justru akan menjadi kencang dan menjadi target utama ketika di mekarkan,” tutur Yeris.

Para mahasiswa juga mengecam para elite politik Papua yang ikut mendukung rencana pembentukan daerah otonomi baru (DOB) baru, dengan mengatasnamakan representasi rakyat Papua.

“Mereka mendengar dan mempertimbangkan suara dan tuntutan rakyat Papua dibawa 113 organisasi yang berfront dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) yang menolak dengan tegas keberlanjutan Otsus Papua,” tutur Yeris.

Para mahasiswa juga mengecam masih tingginya kasus kekerasan terhadap rakyat sipil di Papua. Termasuk yang terbaru adalah penembakan terhadap peserta aksi damai di Yahukimo pada akhir 2021 lalu.

“Kami menilai Otsus telah gagal di tanah Papua karena banyak dana yang dikorupsi oleh elite politik,” tegas Yeris.

Pantauan di lapangan aksi demo berjalan tertib dengan pengawalan ketat dari polisi.