Liputan6.com, Jakarta Kejaksaan Agung (Kejagung) berkunjung ke markas Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta, Selasa (13/4/2022). Jaksa Agung meminta dukungan PBNU dalam penegakan hukum di tanah air.
Dalam kesempatan ini, Jaksa Agung mengucapkan selamat atas terpilihnya KH. Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum PBNU periode 2021-2026. Jaksa Agung juga memohon dukungan dalam rangka penegakan hukum terutama saat ini sedang melakukan penindakan kasus-kasus korupsi.
Baca Juga
"Saya juga berharap NU dapat berperan dalam penerapan nilai-nilai lokal di berbagai Rumah Restoratif yang dibentuk seluruh Indonesia sebagai program yang saat ini mendapatkan apresiasi dari masyarakat," ujar Jaksa Agung, dalam keterangan tertulisnya.
Advertisement
Jaksa Agung didampingi Kepala Biro Umum Ponco Hartanto, Kepala Pusat Penerangan Hukum Ketut Sumedana. Kemudian, Asisten Khusus Jaksa Agung Hendro Dewanto dan Asisten Umum Jaksa Agung Kuntadi.
Sementara itu, Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf menyampaikan, kunjungan Jaksa Agung RI sangat memiliki makna yang luar biasa dalam rangka menjalin kerjasama antara NU dengan Kejaksaan RI.
Terutama pembinaan di bidang hukum bagi sekitar 20.000 pesantren-pesantren dan madrasah yang dimiliki oleh NU di seluruh Indonesia. Dimana membutuhkan pencerahan di bidang hukum dengan menggalakkan program Jaksa Masuk Pesantren.
Selanjutnya, Jaksa Agung RI dengan Ketua Umum PBNU bersepakat untuk menindaklanjuti pertemuan tersebut dengan membuat Memorandum of Understanding (MoU) sehingga terjalin kerjasama yang erat dalam rangka pencegahan dan penegakan hukum di masyarakat.
Kunjungan silaturahmi antara Jaksa Agung RI dengan Ketua Umum PBNU dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat guna mencegah penyebaran virus Covid-19.
Â
Apa itu Rumah Restorative?
Jaksa Agung ST Burhanuddin membuat program rumah restorative justice atau keadilan restoratif di beberapa Kejaksaan Negeri sejak Rabu (16/3) lalu. Program tersebut dinilai sebagai pemecah permasalahan hukum yang kerap terjadi di Tanah Air.
Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan (Kajati Kalsel) Mukri mengatakan, rumah restorative justice memudahkan koordinasi dalam penyelesaian perkara di luar peradilan.
"Dari 13 daerah, saya minta tiap kabupaten dan kota minimal ada tiga rumah restorative justice untuk segera dibangun," kata Mukri, dikutip dari Antara, Senin (4/4).
Dia menyatakan, keberadaan rumah restorative justice sangatlah strategis dalam rangka untuk mendamaikan suatu perkara yang sifatnya ringan dalam artian tidak perlu dibawa ke pengadilan. Sehingga, sepanjang masih bisa diselesaikan di luar pengadilan, maka jaksa setempat mendorong agar keadilan restoratif diterapkan.
Dia menegaskan, pada prinsipnya keadilan sejati adalah bisa diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara. Sementara proses hukum belum tentu bisa mendapatkan suatu keadilan. Maka dari itu, hanya dengan jalan perdamaian tanpa proses hukum, keadilan sejati bisa diwujudkan setelah semua pihak bersepakat tanpa ada yang merasa dirugikan.
Keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan dalam memecahkan masalah yang melibatkan korban, pelaku, serta elemen-elemen masyarakat demi terciptanya suatu keadilan.
Keadilan restoratif bisa diterapkan jaksa dengan menghentikan penuntutan jika perkara dinilai lebih layak diselesaikan di luar jalur peradilan, dengan berpedoman pada Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Ada tiga syarat prinsip keadilan restoratif bisa ditempuh yaitu pelaku baru pertama kali melakukan pidana, ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun serta nilai kerugian perkara tidak lebih dari Rp2.500.000.
Namun ada pengecualian jika kerugian melebihi Rp2.500.000, tapi ancaman tidak lebih dari 2 tahun, ancaman pidana lebih dari 5 tahun asal kerugian tidak melebihi Rp2.500.000 serta kepentingan korban terpenuhi dan ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun.
Adapun lima perkara yang tidak bisa dihentikan penuntutannya dalam penerapan keadilan restoratif, yaitu pertama tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat presiden dan wakil presiden, mengganggu ketertiban umum dan kesusilaan.
Kedua, tindak pidana yang diancam dengan pidana minimal. Ketiga, tindak pidana peredaran narkotika, lingkungan hidup dan korporasi.
Advertisement