Liputan6.com, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali memanggil saksi dari pihak Kementerian Perdagangan (Kemendag) terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2022.
"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2022," tutur Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangannya, Rabu (13/4/2022).
Advertisement
Baca Juga
Para saksi yang diperiksa adalah Dina Rahmayani selaku anggota Verifikator Kemendag, Almira Fauzia selaku Analis Perdagangan pada Bidang Perkebunan di Bidang Tanaman Tahunan pada Kemendag, Berta selaku Analis Perdagangan di Bidang Tanaman Semusim pada Kemendag, dan Cindy Syahnta selaku anggota Verifikator Kemendag.
"Keempatnya diperiksa terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2022," kata Ketut.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menaikkan status penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor minyak goreng tahun 2021-2022 dari penyelidikan ke penyidikan.
Peningkatan status perkara mafia minyak goreng ini sesuai dengan diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Kuhusu Nomor: Prin-17/F.2/Fd.2/04/2022 tanggal 4 April 2022.
Â
Hasil Penyelidikan Kasus Mafia Minyak Goreng
Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana menyampaikan, penyidik sebelumnya telah melakukan kegiatan penyelidikan berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-13/F.2/Fd.1/03/2022 tanggal 14 Maret 2022.
"Selama penyelidikan telah didapatkan keterangan dari 14 orang saksi dan dokumen/surat terkait pemberian fasilitas ekspor minyak goreng tahun 2021-2022. Dari hasil kegiatan penyelidikan, maka ditemukan perbuatan melawan hukum," tutur Ketut dalam keterangannya, Selasa (5/4/2022).
Ketut merinci dugaan tindak pidana yang dilakukan yakni dikeluarkannya Persetujuan Ekspor (PE) kepada eksportir yang seharusnya ditolak izinnya, karena tidak memenuhi syarat DMO-DPO. Antara lain PT Mikie Oleo Nabati Industri (OI) dan PT Karya Indah Alam Sejahtera (IS) yang tetap mendapatkan Persetujuan Ekspor (PE) dari Kementerian Perdagangan RI.
"Kesalahannya adalah tidak mempedomani pemenuhan kewajiban distribusi kebutuhan dalam negeri (DMO) sehingga dan harga penjualan didalam negeri (DPO) melanggar batas harga yang ditetapkan pemerintah dengan menjual minyak goreng di atas DPO yang seharusnya, di atas Rp 10.300," jelas dia.
Kemudian, lanjut Ketut, disinyalir adanya gratifikasi dalam pemberian izin penerbitan Persetujuan Ekspor (PE).
"Akibat diterbitkannya Persetujuan Ekspor (PE) yang bertentangan dengan hukum dalam kurun waktu 1 Februari sampai dengan 20 Maret 2022 mengakibatkan kemahalan serta kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dan industri kecil yang menggunakan minyak goreng," Ketut menandaskan.
Advertisement
Potong Kompas Ekspor
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) angkat suara soal langkanya minyak goreng di Indonesia. Menurut MAKI, hal itu berkait dengan adanya 'liga besar' yang disebut sebagai mafia bermain dalam kasus ini.
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, mengaku memiliki sejumlah bukti yang dapat menguatkan hal tersebut dan telah menyerahkannya ke Kejaksaan Agung.
"Saya datang hari ini ke Kejaksaan Agung untuk menambah data terkait dugaan mafia minyak sawit atau crude palm oil (CPO) yang saya diistilahkan liga besar. Karena liga kecilnya di Kejaksaan Tinggi terkait dengan minyak goreng, ada lagi tarkam yang terjadi di pasar-pasar," ujar Boyamin Saiman saat menyambangi Kantor Kejaksaan Agung, Kamis (24/3/2022).
Boyamin menjelaskan, modus digunakan para pelaku adalah dengan langsung menjual hasil bumi tersebut ke luar negeri. Akibatnya, negara dirugikan karena pemasukan yang tidak diserap penuh.
"Kejadiannya potong kompas, CPO itu yang seharusnya dijadikan industri (tapi) langsung potong kompas, langsung diekspor dan hanya bayar 5 persen (PPN). Jadi harusnya negara dapat 15 persen, tapi hanya mendapat 5 persen, 10 persen hilang," yakin dia.
Boyamin menambahkan, hasil dari aduannya hari ini adalah bahwa pihak Kejaksaan Agung bersepakat untuk tidak menerbitkan surat perintah penyelidikan penyidikan yang baru. Sebab pada sprindik sebelumnya, hal yang diadukan dirinya hari ini sudah tertulis CPO selain pengusutan soal minyak goreng.
"Nah, karena ini menyangkut PPN CPO, maka akan dimasukkan sekalian ke situ. Nah itu kabar gembira. Akhirnya ya kita dapat liga besar," Boyamin menandasi.