Liputan6.com, Jakarta - Raden Ajeng atau R.A. Kartini sosok pahlawan perempuan di Indonesia yang menjadi inspirasi. Namanya juga terus dikenang sepanjang masa sebagi sosok inisiator emansipasi wanita. Tanggal lahirnya pun 21 April selalu diperingati sebagai hari besar nasional.
Kartini memang terlahir dari keluarga bangsawan. Ayahnya Raden Mas (R.M) Adipati Ario Sosroningrat merupakan Bupati Jepara. Setelah menikah dengan Bupati Rembang K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat gelarnya Raden Ajeng berubah menjadi Raden Ayu. Hal tersebut berdasarkan tuntutan adat Jawa.
Baca Juga
Kartini dikenal sebagai wanita cerdas dan kritis. Saat itu Kartini muda juga mengalami pergulatan batin mengenai sejumlah aturan-aturan yang menurutnya tidak masuk akal.
Advertisement
Penolakan itu disampaikannya melalui surat-suratnya yang disampaikan kepada temannya di Belanda. Selain itu Kartini juga tumbuh sebagai wanita dengan rasa ingin tahu yang tinggi.
Seperti halnya ketika dirinya belajar kitab suci Al-Qur'an yang saat itu hanya menggunakan bahasa Arab. Dosen Sejarah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Johan Wahyudhi menyatakan pada abad ke-19 Al-Qur'an belum boleh diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa ataupun Melayu yang maknanya mudah dipahami oleh masyarakat.
"Jadi satu sisi R.A. Kartini merasa dia ingin mendalami ajaran Islam, ingin menjadi muslimah yang sejati. Tapi di sisi lain, dia mengalami keterbatasan akses karena memang pendidikan bahasa Arab yang tidak merata di seluruh bangsawan Jawa," kata Johan kepada Liputan6.com.
Pergolakan itu disampaikan oleh Kartini kepada sahabatnya Abendanon pada 15 Agustus 1902, seperti yang dikutip dalam buku Surat-Surat Kartini oleh Sulastin Sutrisno. Kartini menyebut dirinya tidak mau lagi mempelajari Al-Qur'an.
"Dan ketika itu saya tidak suka lagi berbuat hal-hal yang tidak saya pahami sedikitpun. Saya tidak mau lagi berbuat sesuatu tanpa berpikir, tanpa mengetahui apa sebabnya, apa perlunya, apa maksudnya. Saya tidak mau lagi belajar membaca Al-Qur'an, belajar menghafalkan amsal dalam bahasa asing yang tidak saya ketahui artinya," tulis Kartini dalam suratnya.
Â
Belajar Al-Qur'an dengan Kiai
Saat itu Kartini juga menduga gurunya juga tidak mengerti arti dari kitab suci tersebut. Namun sejumlah pergolakan itupun akhirnya terjawab ketika Kartini bertemu dengan seorang ulama bernama Kiai Sholeh Darat. Johan menyebut dari sejumlah buku biografi yang dibacanya, Kartini mendalami agama Islam dari ulama tersebut.
Awalnya, Kartini terkesan dengan sosok Kiai Sholeh yang menjelaskan tafsir dari surat Al Fatihah. Beberapa kali putri bangsawan itu menghadiri pengajian di Masjid Agung Demak. Johan melanjutkan, Kiai Sholeh Darat diyakini mengabadikan sedikit hidupnya untuk menulis. Salah satunya yakni penerjemahan beberapa surat Al-Qur'an berbahasa Jawa.
"Jadi setelah mendengar dari ucapan Kiai Sholeh Darat itulah, Kartini itu seperti merasa seharusnya Islam ini ditampilkan dengan bahasa yang seperti ini, dengan bahasa ibu penduduknya," paparnya.
Â
Johan mengatakan sebenarnya Kartini memang sejak kecil telah tumbuh sebagai anak dengan lingkungan tradisi Islam. Namun sebagai putri bangsawan dinilai minim dalam tradisi belajar Islam. Saat abad ke-19 di wilayah Jawa pendidikan Islam hanya digeluti oleh orang-orang tertentu dan bukan menjadi suatu aktivitas yang umum.
Bila disimpulkan kata Johan, Kartini hanya mendapatkan pemahaman tentang prinsip Islam secara terbatas dari keluarganya. Sebagai bagian keluarga bangsawan Kartini juga minim untuk mendapatkan ilmu lainnya dari pesantren.
"Ditambah lagi pemaknaan nilai dari budaya Jawa itu kan sangat kental dipegang sebagai way of life dari kalangan kalangan ningrat. Sehingga itu yang lebih menjadi titik tolak bagi Kartini untuk kemudian dijadikan pegangan hidupnya. Artinya, nilai-nilai kejawaan," Johan menandaskan.
Advertisement