Sukses

Lembaga Pusat Studi Soroti RUU Kesehatan Omnibus Law yang Dinilai Tak Transparan

Pada saat ini, pembentukan Rancangan Undang-undang atau RUU Kesehatan yang dikonsep dengan metode omnibus law disebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023 di DPR RI.

Liputan6.com, Jakarta - Pada saat ini, pembentukan Rancangan Undang-undang atau RUU Kesehatan yang dikonsep dengan metode omnibus law disebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023 di DPR RI. Hal ini pun menjadi menjadi polemik di masyarakat, khususnya bagi organisasi profesi kesehatan.

Sebab, dalam RUU Kesehatan omnibus law akan menggabungkan sejumlah undang-undang yang mengatur tentang dunia kesehatan di Indonesia, seperti UU Keperawatan, UU Kebidanan, dan UU Praktik Kedokteran. Diduga, dalam penyusunan RUU kesehatan tersebut dinilai tidak transparan.

Menyoroti kondisi polemik tersebut, Center of Human and Economic Development sebagai salah satu lembaga pusat studi yang fokus pada kajian dan advokasi ekonomi sosial kemanusiaan bersama dengan Majelis Hukum dan Ham (MHH) PP Muhammadiyah serta Muhammadiyah Tobacco Control Network (MTCN) menyelenggarakan Diskusi Publik secara online dan menghadirkan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Hikmah Busyro Muqoddas.

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu menyebut, dalam perumusan RUU Kesehatan saat ini dianggap tidak terdapat di dalamnya unsur demokratisasi.

Karena, kata dia, tidak sama sekali memperhatikan bahkan melibatkan eksistensi masyarakat sipil termasuk didalamnya Muhammadiyah maupun organisasi masyarakat sipil lainnya sebagai unsur sosial.

"Dalam RUU Kesehatan mengandung kecenderungan sistem politik sentralistik dan paradigma sentralisme, bukan hanya RUU Kesehatan namun juga RUU lainnya seperti halnya mengenai Revisi KPK. Saat ini KPK tidak lagi dilemahkan namun juga di lumpuhkan secara institusional," ujar Busyro yang disampaikan melalui keterangan tertulis, Senin (17/4/2023).

 

2 dari 5 halaman

Dinilai Tak Lepas dari Politik

Busyro menilai, RUU Kesehatan tidak lepas dari unsur politik, sehingga perlu dikaji kembali mengenai paradigma maupun metode omnibus yang diterapkan oleh pemerintah bersama DPR secara serempak aklamasi mengesahkan sejumlah UU. Khususnya, kata dia, RUU Keseharan disahkan oleh DPR menjadi Prolegnas.

"Sedang disisi lain, metode omnibus yang bertentangan dengan nilia-nilai outentik kebangsaan yang merupakan dokumen resmi untuk tidak diubah, mengubah isi dokumen tersebut berarti mengubah arah kebangsaan negara, yakni berkaitan dengan melawan kolonialisasi," ucap dia.

Dia menyebut, karakter RUU Kesehatan yang tidak memihak dengan jujur kepada rakyat terlihat dengan tidak melibatkan masyarakat sebagai obyek hukum yang berkedaulatan.

"Dalam hal ini obyek hukum bukan negara maupun partai politik," jelas Busyro.

Kemudian Rektor ITBAD Jakarta Mukhaer Pakkanna yang memberikan pandangan mengenai Perspektif Sosial Ekonomi yang lebih spesifik pada pembahasan urgensitas pasal pelarangan iklan, sponsor zat aditif pada RUU Kesehatan.

"Pasal 383 dan 159 menjadi salah satu pasal yang dikritisi dalam RUU Kesehatan. Pada pasal 383 peluang untuk industrialisasi penguasaha farmasi yang mana fakta menunjukkan 75% bahan farmasi dproduksi di Indonesia, namun 95% bahan farmasi masih import (dari Cina) yang mana harusnya melalui RUU Kesehatan dapan menjadi regulasi untuk menjembatani kemandirian dalam dunia farmasi bukan membuka lebar pintu industrialisasi pihak swasta," terang dia.

 

3 dari 5 halaman

Fakta Lain dari RUU Kesehatan

Mukhaer menjelaskan, fakta lain dalam penyusunan RUU Kesehatan tersebut tidak melibatkan organisasi profesi (OP) kesehatan. Hal tersebut, kata dia, membuat spekulasi semakin kuat di kalangan organisasi profesi (OP) kesehatan dan masyarakat bahwa peran organisasi profesi (OP) kesehatan akan dikerdilkan bahkan dihilangkan dalam RUU.

"Selain itu, IDI menilai tidak adanya urgensi dalam penggantian UU bidang kesehatan. Sebab, masih ada UU di bidang lain yang perlu disahkan segera, seperti UU Telemedicine, UU Meta-Data Penduduk atau UU Pembuatan Obat, dan Vaksin Wabah. Poin penting yang menjadi alasan RUU Kesehatan omnibus law ditolak karena berpotensi terjadi praktik liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan yang mengorbankan hak sehat rakyat," kata dia.

"Dan ayat spesifik tentang pelarangan Iklan, Sponsor dan Promosi Zat Adiktif yang telah diusulkan di hapus. Pasal tameng dan perlindungan terhadap anak- anak dan generasi muda dari gencarkan iklan zat adiktif (dalam DIM pasal 154 ayat 7(a) dicoret). Indikasi ini menjadi semakin mengerucutkan aroma Industrialisasi untuk meraih profitabilitas, dan apakah bisa dikatakan jika ini untuk kepentingan rakyat?," sambung Mukhaer.

 

4 dari 5 halaman

Pandangan Muhammadiyah

Kemudian, Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah Trisno Raharjo sekaligus perwakilan Muhamamdiyah untuk mengawal RUU Kesehatan Omnibus Law menyebut, pihaknya sudah menyampaikan pandangannya.

"Muhammadiyah sudah memberikan pandangan mengenai RUU Kesehatan pada 11 April 2023 kemarin bersama dengan organisasi keagamaan dan organisasi profesi kesehatan, Muhammadiyah menyampain RUU Kesehataan harusnya tidak dilakukan dengan buru-buru, hal ini sebagai bukti dewan tidak memperhatikan masukan pihak publik," kata Trisno.

Selain itu, lanjut dia, pembahasan RUU Kesehatan yang tidak disampaikan di hadapan publik menjadi hal yang tidak tepat dan elok dilakukan oleh pihak pemerintah karena tidak mengindahkan unsur demokratisasi.

"Perubahan RUU Kesehatan dianggap tidak bersandar/berpedoman pada draft RUU Keshetan 2019, namun terkesan sesuai dengan kepentingan-kepentingan pihak lainnya (unsur kepentingan politik). Penyusunan RUU Kesehatan yang tidak terbuka dan tanpa naskah akademik maka mengidentikkan kepentingan modal bukan kepentingan rakyat," ucap Trisno.

 

5 dari 5 halaman

Pandangan Ibu dan Anak

Selanjutnya pada perspektif kemerataan kesehatan Ibu dan Anak disampaikan oleh praktisi sekaligus perwakilan dari Majelis Kesehatan PP ‘Aisyiyah Sophiati Sutjahjani.

Ia menuturkan bahwa salah satu indikator IPM adalah angka kematian ibu dan sampai saat ini Indonesia memiliki masalah kesehatan pada ibu yang cukup tinggi, bahkan menjadi nomor 7 se-ASEAN.

"Peraturan perundangan terkait kesehatan ibu dan anak sebenernya sudah termuat dalam UU RI Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, UU RI Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU RI Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU RI Nomor 4 tahun 2009 tentang Kebidanan, UU RI Tahun 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Permenkes RI Nomor 43 tahun 2019 tentang puskesmas," terang Sophiati.

Dia menyebut, draft RUU tentang kesehatan saat ini akan mencabut 9 UU di antaranya yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak adalah UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

"Kemeratan kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia secara umum belum mengalami pemerataan," ucap dia.

Ia menegaskan bahwa Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah melalui Majelis Kesehtaan mendorong RUU Kesehatan mendukung kondisi kesehatan ibu dan anak, salah satunya adalah kemudahan akses pelayanan kesehatan serta sumber daya kesehatan yang mendukung.

"Selain itu, perlu hanya RUU Kesehatan mendukung meningkatan pengelolaan sumber daya manusia yang efektif dan efisien mengenai kesehatan ibu dan anak, serta menjamin adanya pendanaan yang tersedia," jelas Sophiati.