Sukses

Komisi II DPR Khawatir Perwira Aktif Jadi Pj Kepala Daerah Bisa Kembalikan Dwifungsi

Saan Mustopa mengingatkan, berdasar aturan prajurit TNI dan Polri aktif tidak boleh menjadi penjabat kepala daerah.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa menilai penunjukkan perwira aktif menjadi penjabat atau Pj kepala daerah, bisa membangkitkan kekhawatiran kembalinya dwifungsi TNI seperti Orde Baru. Pernyataan Saan itu menanggapi penunjukan Brigjen Chandra As'aduddin sebagai Pj Bupati Seram Barat.

"Ada kekhawatiran misalnya terkait anggapan yang lalu, tentang nanti lahirnya TNI-Polri masuk ke ranah-ranah sipil. Dulu ada dwifungsi, hal-hal seperti itu ada kekhawatiran kembali muncul. Hal-hal seperti ini tentu harus dihindari," kata Saan kepada wartawan, Selasa (24/5/2022).

Saan mengingatkan, berdasar aturan prajurit TNI dan Polri aktif tidak boleh menjadi penjabat kepala daerah. Sementara purnawirawan diperbolehkan. "TNI aktif memang tidak boleh, polisi aktif tidak boleh. Purnawirawan yang boleh menjabat," kata dia.

Untuk mencegah hal tersebut terulang, Saan menilai pemerintah perlu membuat aturan turunan sesuai dengan pertimbangan keputusan MK.

"MK sudah memberikan pertimbangan kepada pemerintah terkait dengan penunjukan Pj, sebaiknya supaya tidak mengalami problem seperti hari ini, pemerintah sebaiknya membuat turunan dari pertimbangan MK. Dalam bentuk peraturan tertulis secara formal agar proses penunjukan ini bisa dilakukan secara transparan prinsip-prinsip demokrasinya bisa dikedepankan," ujar dia.

Politikus Nasdem itu mengingatkan, selama masih ada pejabat dari kalangan sipil yang kompeten, maka pejabat sipil seharusnya yang dipilih.

"Selama masih banyak pejabat pratama untuk bupati, wali kota, dari kalangan sipil, lebih baik menurut saya itu yang dikedepankan," pungkas dia.

2 dari 4 halaman

Penjelasan Kemendagri soal Anggota TNI-Polri Bisa Jadi Pj Kepala Daerah

Direktur Otonomi Khusus Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Andi Batara Lipu angkat bicara mengenai peluang anggota TNI-Polri diperkenankan mengisi jabatan Pj Kepala Daerah.

Diketahui, nantinya Pj Kepala Daerah ini akan mengisi kekosongan para Gubernur dan Wali Kota yang habis masanya pada 2022 dan 2023, lantaran ada keserentakan Pilkada di tahun 2024.

Menurut dia, semuanya harus mengacu kepada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

"Bagaimana dengan TNI Polri? Tentu kita juga merujuk kepada undang-undang ASN itu sendiri dan Undang-Undang (Nomor) 10 (Tahun) 2016. Jadi kriteria yang kita gunakan di Undang-Undang 10 Tahun 2016 yakni kriterianya JPT (Jabatan Pimpinan Tinggi) Pratama atau Madya," kata Andi dalam sebuah webinar, Senin (14/3/2022).

Dia tak menjelaskan secara tegas apakah memang diperkenankan atau tidak TNI-Polri menjabat sebagai Pj Kepala Daerah.

"Apakah yang bersangkutan JPT Pratama? dan apakah yang bersangkutan JPT Madya? Jadi acuan utamanya ada di Undang-Undang (nomor) 10," kata Andi.

Dia hanya menyebut, siapapun ASN yang setingkat JPT Pratama atau Madya, terbuka ruang menjadi Pj kepala daerah.

"Kriteria yang digunakan sebagaimana undang-undang itu JPT Madya dan Pratama, sepanjang siapapun penjabat memenuhi kriteria itu maka ada ruang untuk itu," kata Andi.

3 dari 4 halaman

BKN Sebut Ada Tim Diskusi yang Tentukan Pj Kepala Daerah

Plt Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Bima Haria Wibisana menyampaikan bahwa ada sejumlah pihak yang dilibatkan dalam menentukan Pejabat (Pj) gubernur atau kepala daerah.

"Usulan untuk PJ diterima dari banyak sumber, bisa dari pimpinan daerah, DPRD, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lain-lain. Kemudian direview dan diputuskan dalam sidang yang dipimpin Presiden dan dihadiri berbagai Kementerian/Lembaga. Setneg, Setkab, KemenpanRB, Kemendagri, Polri, BIN dan BKN. Diskusinya berlangsung dengan ketat dan sangat demokratis," tutur Bima kepada Liputan6.com, Kamis 12 Mei 2022.

Bima enggan merinci detail terkait pembahasan dalam diskusi tersebut. Termasuk soal poin yang diunggulkan dan menentukan seseorang layak menjadi Pj gubernur atau kepala daerah.

"Silahkan ke Kemendagri saja. Saya tidak berwenang menyampaikan prosesnya," kata Bima.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta jajaran menterinya untuk betul-betul menyeleksi penjabat (Pj) kepala daerah dengan sebaik mungkin. Adapun PJ kepala daerah ini akan mengisi posisi para gubernur, bupati, dan walikota yang masa jabatannya habis pada 2022.

Jokowi menyampaikan total ada 101 penjabat kepala daerah yang harus disiapkan pemerintah. Hal ini mengingat Pilkada Serentak baru akan digelar pada November 2024 sehingga diperlukan penunjukan penjabat kepala daerah.

"Ada 101 daerah disiapkan, karena ada 7 gubernur, 76 bupati dan ada 18 walikota yang harus diisi. Saya minta seleksi figur-figur pejabat daerah ini betul-betul dilakukan dengan baik," kata Jokowi dalam rapat Persiapan Pemilu dan Pilkada Serentak Tahun 2024, sebagaimana disiarkan di Youtube Sekretariat Presiden, Minggu (10/4/2022).

Dia ingin PJ kepala daerah yang terpilih nantinya adalah sosok yang memiliki kepemimpinan yang kuat. Kemudian, sosok yang mampu menjalankan tugas berat di tengah situasi ekonomi global yang tak mudah.

"Agar nantinya penyiapan pemilu dan pilkada ini bisa berjalan dengan baik," ucapnya.

4 dari 4 halaman

KPK: Proses Pengisian 272 Pj Kepala Daerah Rentan Dikorupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut proses pengisian 272 penjabat atau Pj yang menggantikan kepala daerah dalam Pilkada serentak 2024 rentan disalahgunakan. Bahkan, proses pengisian Pj tersebut rentan dikorupsi.

"Proses transisi dan pengisian Pj ini penting menjadi perhatian kita bersama. Karena proses ini sering menjadi ajang transaksi yang rentan terjadinya praktik-praktik korupsi," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangan tertulis, Selasa (10/5/2022).

Ali mengatakan, rentannya praktik korupsi dalam proses tersebut mirip dengan praktik jual-beli jabatan dalam sejumlah perkara yang ditangani KPK.

Ali mengungkapkan, data KPK dari 2004 sampai 2021 menunjukkan mayoritas para pelaku korupsi berasal dari sebuah proses politik. Mereka terdiri dari 310 anggota DPR dan DPRD, 22 gubernur, 148 wali kota dan bupati.

Menurutnya, biaya politik yang mahal menjadi salah satu faktor kepala daerah melakukan korupsi. Para kepala daerah berpikir bagaimana caranya mendapatkan penghasilan tambahan demi mengembalikan uang yang mereka keluarkan selama proses kampanye.

"Penghasilan tambahan ini tidak jarang dilakukan dengan cara-cara yang menabrak aturan, salah satunya korupsi," kata Ali.

Â