Sukses

Eks Mendagri Tjahjo Sebut Kabinda Sulteng Jadi Pj Bupati Punya Dasar Hukum Kuat

Saat disinggung soal perwira aktif TNI-Polri tidak dapat menjabat sebagai Pj Kepala Daerah, Tjahjo menampik. Menurut dia, hal itu bisa saja dikecualikan.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo angkat bicara soal polemik Penjabat (Pj) kepala daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara.

Diketahui, Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Ali Mazi, menolak untuk melantik tiga orang penjabat (Pj) kepala daerah di provinsinya. Salah satunya adalah Kepala BIN Daerah atau Kabinda Sulteng, Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin sebagai Pj Bupati Seram Bagian Barat, Maluku.

Tjahjo menegaskan, apa yang dititahkan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat menunjuk Andi Chandra sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.

"Kabinda adalah Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama. Ini sudah sesuai Pasal 201 UU Pilkada. Dasar hukumnya kuat" tegas Tjahjo dalam keterangan tertulis diterima, Rabu (25/5/2022).

Saat disinggung soal perwira aktif TNI-Polri tidak dapat menjabat sebagai Pj Kepala Daerah, Tjahjo menampik. Menurut dia, hal itu bisa saja dikecualikan.

"Meskipun Pj Kepala Daerah adalah TNI/Polri aktif tetapi terdapat pengaturan dan pengecualian bagi pejabat dimaksud karena menjabat pada instansi pemerintah yang dapat diduduki oleh TNI/Polri dalam jabatan Pimpinan Tinggi," jelas Tjahjo.

Selaku Mantan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo pun menyatakan pernah melakukan hal senada dengan apa yang dilakukan oleh Tito. Kala itu, Tjahjo mengangkat perwira aktif Mayjen TNI Sudarmo untuk ditempatkan sebagai Pj Kepala Daerah Papua dan Komjen Iriawan yang ditempatkan sebagai Pj Gubernur Jawa Barat.

"Sewaktu saya Mendagri dulu, saya mengangkat Mayjen TNI Sudarmo tapi dia sudah eselon I Kemendagri dan Komjen Iriawan sudah menjabat Sestama di Lemhannas dan akhirnya bisa jadi Pj gubernur Jawa Barat," beber Tjahjo.

 

2 dari 3 halaman

Tanggapan Tito Karnavian

Terkait hal senada, Tito beralasan para Pj kepala daerah tersebut bukan hasil dari usulan gubernur, melainkan usulan dari Menteri Dalam Negeri yang sudah dikomunikasikan dengan Ali Mazi.

"Khusus Sultra saya sudah komunikasikan dengan Pak Gubernur dan beliau memahami masalah itu," kata dia dalam keterangannya, Selasa (24/5/2022).

Menurut Tito, usulan tersebut bukanlah hak daripada Gubernur, melainkan hak prerogatif presiden.

"Mohon maaf saya dengan segala hormat kepada teman-teman gubernur, bukan berarti usulan itu adalah hak daripada gubernur. Ini UU memberikan prerogatif kepada Bapak Presiden, untuk gubernur kemudian didelegasikan kepada Mendagri untuk bupati dan wali kota," kata dia.

Dia pun menegaskan, usulan Pj kepala daerah telah diatur sesuai mekanisme undang-undang dan asas profesionalitas.

"Mengenai penjabat, ini sebetulnya kita sudah diatur dalam mekanisme yang ada, UU Pilkada. Undang-Undangnya dibuat tahun 2016 dan salah satu amanahnya adalah Pilkada dilakukan bulan November, spesifik tahun 2024, supaya ada keserentakan," kata Tito.

Dia menjelaskan, alasan pembuatan UU Nomor 10 Tahun 2016 yaitu pelaksanaan Pilkada Serentak pada tahun yang sama dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg). Dengan demikian, penerapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) paralel dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Berdasarkan UU tersebut, ketika masa jabatan kepala daerah berakhir harus diisi dengan penjabat. Penjabat yang dimaksud, untuk tingkat gubernur merupakan penjabat pimpinan tinggi madya, sedangkan untuk bupati/wali kota penjabat merupakan pimpinan tinggi pratama.

"Selama ini praktik sudah kita lakukan, tiga kali paling tidak, 2017 Pilkada itu juga banyak penjabat dan kita lakukan dengan mekanisme UU itu, UU Pilkada dan UU ASN. Kemudian yang kedua tahun 2018 juga lebih dari 100, dan paling banyak tahun 2020 kemarin itu lebih dari 200 penjabat," kata Tito.

 

3 dari 3 halaman

Diduga Melanggar Tiga Aturan

Koordinator Harian Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Ihsan Maulana dalam keterangan tertulis diterima mengatakan, ada tiga pelanggaran yang menjadi masalah saat menunjuk Brigjen TNI Andi Chandra. Pertama, Ihsan meyakini penunjukan Andi tidak melalui mekanisme yang demokratis.

"Kemendagri dinilai tidak melibatkan publik dalam pemilihan Brigjen Andi sebagai Pj Bupati Seram Barat," kata Ihsan, Rabu (25/5/2022).

Ihsan menambahkan, Kemendagri hingga sekarang tidak pula membuat aturan teknis penunjukkan Pj Kepala Daerah seperti yang diamanatkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Pelanggaran Kedua, lanjut Ihsan, UU Pilkada Nomor 10/2016 telah mengatur bahwa penjabat bupati/wali kota hanya dapat berasal dari Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama. Sementara, diketahui posisi Kabinda bukanlah JPT Pratama sebagaimana disyaratkan oleh UU Pilkada.

"Bila merujuk pada UU Intelijen Negara dan Perpres 90/2012 tentang BIN, jabatan-jabatan di BIN bukanlah jabatan ASN, seperti yang didefinisikan dalam UU ASN. Dapat disimpulkan bahwa Brigjen Andi tidak memenuhi kriteria seperti yang disyaratkan UU Pilkada," tegas Ihsan.

Pelanggaran Ketiga, Andi adalah prajurit TNI aktif. Artinya, penunjukannya sebagai Pj Bupati Seram Barat bertentangan dengan UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

"UU tersebut menentukan bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif," Ihsan menandasi.

Â