Sukses

HEADLINE: Perwira Aktif TNI-Polri Jadi Penjabat Kepala Daerah, Kembalinya Dwifungsi?

Padahal Andi bukan orang pertama yang berasal TNI dan Polri yang ditunjuk oleh pemerintah melalui Kemendagri.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah sudah mulai menunjuk satu-per satu para penjabat atau Pj untuk mengisi para kepala daerah baik di tingkatan provinsi maupun kota dan kabupaten yang masa jabatannya sudah mulai usai, dan baru ada pemilihan lagi di Pilkada 2024.

Bukan hanya soal transparansi yang sempat disorot terkait pemilihan para Pj Kepala Daerah di tahap awal, namun nama para pengganti yang menyandang status TNI dan Polri menuai banyak ragam kecaman, yaitu penunjukan Brigjen TNI Andi Chandra Asaduddin sebagai Pj Bupati Seram Bagian Barat, Maluku.

Padahal Andi bukan orang pertama yang berasal TNI dan Polri yang ditunjuk oleh pemerintah melalui Kemendagri. Ada nama Paulus Waterpauw yang ditunjuk sebagai Pj Gubernur Papua Barat, yang berasal dari kalangan Polri.

Namun, yang berbeda adalah Paulus sudah pensiun sejak 1 November 2021 dari kepolisian dan menjabat sebagai Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan di Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) Kemendagri. Sedangkan Andi masih berstatus TNI aktif dan menjabat sebagai Kepala BIN Daerah (Kabinda) Sulawesi Tengah.

Perludem, Kode Inisiatif, Pusako Andalas, dan Puskapol UI merespon keras terhadap dilantiknya Brigjen TNI Andi sebagai Pj Bupati Seram Bagian Barat. Disebut ada tiga hal yang menjadi permasalahan dalam penujukkannya tersebut.

Pertama, penujukan Penjabat tidak melalui mekanisme yang demokratis. Bila merujuk pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Pada Putusan MK No. 67/PUU-XIX/2021, MK mengingatkan pentingnya klausul secara demokratis tersebut dijalankan.

Dalam implementasinya, MK juga memerintahkan agar pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana yang tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, termasuk transparansi. Namun, Kemendagri tidak melibatkan publik dalam pemilihan Brigjen Andi sebagai Pj Bupati Seram Bagian Barat. Kepmendagri tentang pengangkatan yang bersangkutan bahkan sempat tak bisa diakses secara luas oleh pubik.

"Di samping itu, Kemendagri hingga sekarang tidak kunjung membuat aturan pelaksana seperti yang telah diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi," kata Kahfi Adlan Hafiz dari Perludem, dalam keterangan yang diterima pada Rabu (25/5/2022).

Yang kedua, UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 telah mengatur bahwa penjabat bupati atau wali kota hanya dapat berasal dari Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama.

"Sementara itu, jabatan Kabinda yang diemban Brigjen Andi Chandra, bukan merupakan JPT Pratama sebagaimana disyaratkan oleh UU Pilkada. Lebih jauh, bila merujuk pada UU Intelijen Negara dan Perpres 90/2012 tentang BIN, jabatan-jabatan di BIN bukanlah jabatan ASN, seperti yang didefinisikan dalam UU ASN. Dapat disimpulkan bahwa Brigjen Andi tidak memenuhi kriteria seperti yang disyaratkan UU Pilkada," tutur Kahfi.

Adapun, yang ketiga selain bukan pejabat JPT Pratama, Brigjen Andi Chandra juga masih merupakan prajurit TNI aktif. Penunjukannya sebagai Pj Bupati tentu bertentangan dengan UU 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Undang-undang tersebut menentukan bahwa prajurit hanyadapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif. Hal ini demi membangun institusi TNI yang profesional, tidak terikat pada kepentingan politik, dan penghormatan atas supremasi sipil.

"Tiga persoalan yang telah diuraikan di atas, menjelaskan bahwa penunjukan Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin bertentangan dengan hukum dan amanat reformasi. Hal ini juga menujukkan lemahnya komitmen Kemendagri dalam melaksanakan amanat reformasi, menjalankan hukum, serta menjamin prinsip demokrasi dalam penujukkan PJ. Kepala Daerah," kata Kahfi.

Karena itu, pihaknya meminta sejumlah tuntutan. Diantaranya, mendesak Kemendagri untuk membatalkan penunjukan Brigjen TNI Andi ChandraAs’aduddin sebagai Pj Bupati Seram Bagian Barat karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan melanggar prinsip-prinsip demokrasi.

Kemudian, menuntut Kemendagri agar melaksanakan amanat reformasi, menjalankan hukum, dan menjamin prinsip demokrasi dalam penunjukan Pj Kepala Daerah dalamrangka mengisikekosongan kekuasaan di daerah-daerah yang kepala daerahnya telah habis masajabatannya.

"Mendesak Kemendagri untuk tidak menunjuk prajurit TNI dan Polri aktif untuk menjadi Pj Kepala Daerah karena bertentangan dengan hukum, khususnya UU TNI, UU Polri, UUPilkada, dan Putusan MK No. 67/PUU-XIX/2021," tutur Kahfi.

Pihaknya juga meminta pemerintah agar segera menerbitkan aturan pelaksana tentang pengakatan penjabat kepala daerah yang sesuai dengan perintah Putusan MK dan prinsip-prinsip demokrasi, dengan mekanisme yang menjamin keterbukaan, akuntabel, dan partisipatif.

"Mendesak Kemendagri agar membuka nama-nama calon Penjabat Kepala Daerah yang akan ditunjuk sebagai bentuk transparansi sehingga publik dapat melihat dan menilai proses penunjukan Pj yang demokratis," kata Kahfi.

 

Berpotensi Bangkitkan Kenangan Dwifungsi ABRI

Sementara, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, apa yang dilakukan pemerintah ini bisa mengingatkan kembali terhadap dwifungsi ABRI.

Sekedar pengingat saja, dwifungsi ABRI ini pernah dijadikan undang-undang tepatnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI yang salah satu pasalnya menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan Dwifungsi ABRI yang sudah sangat luas itu. Pasal 6 UU ini menyebutkan:

"Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengemban Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yaitu sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan kekuatan sosial politik".

"Kalau menurut saya bisa dibaca seperti itu. Karena dengan adanya penjabat dari unsur TNI/Polri tidak sesuai dengan semangat reformasi. UU pun mengatakan prajurti TNI/Polri hanya bisa menduduki jabatan setelah mengundurkan diri dari jabatannya," kata Khoirunnisa kepada Liputan6.com, Rabu (25/5/2022).

Senada, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, putusan MK dengan UU TNI dan Kepolisian sejalan yakni melarang bagi para TNI dan polisi aktif untuk mengisi jabatan Pj Kepala Daerah.

"Apa maksud dari TNI Polri aktif itu? TNI dan kepolisian aktif yang kemudian belum pensiun. Jadi jangan alasannya karena dia sedang menjabat di tempat lain, tidak. Tetap dia aktif sebagai polisi. Wong kalau dipanggil oleh bosnya dia pasti datang ya, tidak mungkin tidak karena memang dia masih statusnya aktif. Hanya dibantu tugaskan di tempat lain yang sudah ditentukan oleh undang-undang, baik di UU 34 maupun UU Nomor 2 yang melarang TNI dan Kepolisian untuk kemudian menjadi kepala daerah kecuali mereka penisun," kata dia kepada Liputan6.com, (25/5/2022).

Kemudian, dengan adanya putusan MK tersebut, membuat Mendagri harus membentuk peraturan pelaksana untuk memperjelas dilarangnya TNI maupun Polri aktif menjabat sebagai Pj Kepala Daerah.

"Kalau Pak Menteri Dalam Negeri-nya menggunakan asas kehati-hatian atas asas pemerintahan yang baik ya, maka mestinya dia mematuhi syarat dari MK untuk membuat Peraturan Pelaksana. Nah ini kan ingin menempatkan anggota dan TNI yang aktif ini serta penunjukan orang-orang di lingkaran Pak Menteri ini kan ditujukan tanpa ada pagar pembatas. Kan beliau, alpanya beliau terhadap putusan MK ini, beliau itu termasuk yang kerap melakukan pelanggaran terhadap putusan MK termasuk di soal penunjukan kepala daerah ini," jelas Feri.

Dia pun menuturkan, Dwifungsi ABRI di pemerintahan sekarang sudah memang pelan-pelan dihidupkan. "Contoh dulu Dirjen Imigrasi tuh anggota kepolisian itu," kata Feri.

"Saya bisa katakan kalau dari peraturan yang ada, rezim pemerintahan Pak Jokowi mengembalikan dwifungsi itu. Hanya bahasanya saja yang tidak digembar gemborkan," sambungnya.

Adapun putusan MK yang dimaksud berada pada putusan MK nomor 15/PUU-XX/2022, di mana dalam petikan pertimbangannya berbunyi:

Jika merujuk pada ketentuan Pasal 47 UU 34/2004 ditentukan pada pokoknya prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Sementara itu, prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

Dalam hal prajurit aktif tersebut akan menduduki jabatan-jabatan tersebut harus didasarkan atas permintaan pimpinan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen (kementerian) dan lembaga pemerintah nondepartemen dimaksud. Sedangkan, dalam ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 ditentukan anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. “Jabatan di luar kepolisian" dimaksud adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kepala Polri.

Ketentuan ini sejalan dengan UU 5/2014 yang membuka peluang bagi kalangan non-PNS untuk mengisi jabatan pimpinan tinggi madya tertentu sepanjang dengan persetujuan Presiden dan pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden [vide Pasal 109 ayat (1) UU 5/2014]. Selain yang telah ditentukan di atas, UU 5/2014 juga membuka peluang pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi yang dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif [vide Pasal 109 ayat (2) UU 5/2014]. Jabatan pimpinan tinggi dimaksud dapat pimpinan tinggi utama, pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama [vide Pasal 19 ayat (1) UU 5/2014].

Artinya, sepanjang seseorang sedang menjabat sebagai pimpinan tinggi madya atau pimpinan tinggi pratama, yang bersangkutan dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah.

 

2 dari 4 halaman

Pemerintah Berkilah

Sementara itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo angkat bicara soal polemik Penjabat (Pj) kepala daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara.

Diketahui, Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Ali Mazi, menolak untuk melantik tiga orang penjabat (Pj) kepala daerah di provinsinya. Salah satunya adalah Kepala BIN Daerah atau Kabinda Sulteng, Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin sebagai Pj Bupati Seram Bagian Barat, Maluku.

Tjahjo menegaskan, apa yang dititahkan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat menunjuk Andi Chandra sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.

"Kabinda adalah Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama. Ini sudah sesuai Pasal 201 UU Pilkada. Dasar hukumnya kuat" tegas Tjahjo dalam keterangan tertulis diterima, Rabu (25/5/2022).

Saat disinggung soal perwira aktif TNI-Polri tidak dapat menjabat sebagai Pj Kepala Daerah, Tjahjo menampik. Menurut dia, hal itu bisa saja dikecualikan.

"Meskipun Pj Kepala Daerah adalah TNI/Polri aktif tetapi terdapat pengaturan dan pengecualian bagi pejabat dimaksud karena menjabat pada instansi pemerintah yang dapat diduduki oleh TNI/Polri dalam jabatan Pimpinan Tinggi," jelas Tjahjo.

Selaku Mantan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo pun menyatakan pernah melakukan hal senada dengan apa yang dilakukan oleh Tito. Kala itu, Tjahjo mengangkat perwira aktif Mayjen TNI Sudarmo untuk ditempatkan sebagai Pj Kepala Daerah Papua dan Komjen Iriawan yang ditempatkan sebagai Pj Gubernur Jawa Barat.

"Sewaktu saya Mendagri dulu, saya mengangkat Mayjen TNI Sudarmo tapi dia sudah eselon I Kemendagri dan Komjen Iriawan sudah menjabat Sestama di Lemhannas dan akhirnya bisa jadi Pj gubernur Jawa Barat," beber Tjahjo.

Dia pun menegaskan, bahwa apa yang telah diputus oleh Mendagri Tito Karnavian adalah langkah yang benar.

"Keputusan yang dibuat Mendagri tidak ada yang salah, dasar hukumnya kuat dan sudah benar," kata Tjahjo.

Terkait hal senada, Tito beralasan para Pj kepala daerah tersebut bukan hasil dari usulan gubernur, melainkan usulan dari Menteri Dalam Negeri yang sudah dikomunikasikan dengan Ali Mazi.

"Khusus Sultra saya sudah komunikasikan dengan Pak Gubernur dan beliau memahami masalah itu," kata dia dalam keterangannya, Selasa (24/5/2022).

Menurut Tito, usulan tersebut bukanlah hak daripada Gubernur, melainkan hak prerogatif presiden.

"Mohon maaf saya dengan segala hormat kepada teman-teman gubernur, bukan berarti usulan itu adalah hak daripada gubernur. Ini UU memberikan prerogatif kepada Bapak Presiden, untuk gubernur kemudian didelegasikan kepada Mendagri untuk bupati dan wali kota," kata dia.

Dia pun menegaskan, usulan Pj kepala daerah telah diatur sesuai mekanisme undang-undang dan asas profesionalitas.

"Mengenai penjabat, ini sebetulnya kita sudah diatur dalam mekanisme yang ada, UU Pilkada. Undang-Undangnya dibuat tahun 2016 dan salah satu amanahnya adalah Pilkada dilakukan bulan November, spesifik tahun 2024, supaya ada keserentakan," kata Tito.

Dia menjelaskan, alasan pembuatan UU Nomor 10 Tahun 2016 yaitu pelaksanaan Pilkada Serentak pada tahun yang sama dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg). Dengan demikian, penerapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) paralel dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Berdasarkan UU tersebut, ketika masa jabatan kepala daerah berakhir harus diisi dengan penjabat. Penjabat yang dimaksud, untuk tingkat gubernur merupakan penjabat pimpinan tinggi madya, sedangkan untuk bupati/wali kota penjabat merupakan pimpinan tinggi pratama.

"Selama ini praktik sudah kita lakukan, tiga kali paling tidak, 2017 Pilkada itu juga banyak penjabat dan kita lakukan dengan mekanisme UU itu, UU Pilkada dan UU ASN. Kemudian yang kedua tahun 2018 juga lebih dari 100, dan paling banyak tahun 2020 kemarin itu lebih dari 200 penjabat," kata Tito.

 

3 dari 4 halaman

Dipandang Sesuai Aturan

Menko Polhukam Mahfud Md pun juga membenarkan langkah Mendagri Tito.

Dia menjelaskan, pengangkatan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sulawesi Tengah (Sulteng) Brigjen Andi Chandra As'aduddin sebagai Penjabat (Pj) Bupati Seram Bagian Barat sudah sesuai aturan.

Mahfud menjelaskan meski Brigjen Andi merupakan anggota TNI aktif, tetapi saat ini tengah ditugaskan di luar instansinya. Sehingga tidak menyalahi aturan anggota TNI/Polri aktif tidak bisa menjadi pejabat kepala daerah.

"Benar Brigjen Chandra sudah ditetapkan sebagai Penjabat Bupati. Dia memang anggota TNI tapi ditugaskan di luar instansi induknya," kata Mahfud dalam keterangannya.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, menurut Mahfud, anggota TNI dan Polri yang tidak aktif secara fungsional di institusi induknya bisa menjadi penjabat kepala daerah. Yang dilarang hanya anggota TNI dan Polri yang aktif di institusinya.

"Menurut putusan MK anggota TNI/POLRI yang tidak aktif secara fungsional di institusi induknya tapi ditugaskan di institusi atau birokrasi lain itu bisa menjadi Penjabat Kepala Daerah. Misalnya mereka yang bekerja di BNPT, Kemko Polhukam, Kemkum-HAM, BIN, Setmil, Lemhanas, dll," ujar Mahfud.

"Aturan dan putusan MK mengatur begitu. Brigjen Chandra itu sudah lama dipekerjakan di BIN," jelasnya.

Karenanya, masih kata Mahfud, penempatan TNI sebagai penjabat kepala daerah itu oleh undang undang, oleh peraturan pemerintah maupun vonis MK itu dibenarkan.

"Pertama begini, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI itu mengatakan TNI dan Polri tidak boleh bekerja di luar institusi TNI, kecuali di 10 institusi kementerian/lembaga, misalnya di Kemenko Polhukam, BIN, BNN, BNPT, dan sebagainya itu boleh TNI bekerja di sana," kata dia.

Kemudian ini juga diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN. Dimana di Pasal 20 itu disebutkan bahwa anggota TNI dan Polri boleh masuk ke birokrasi sipil asal diberi jabatan struktural yang setara dengan tugasnya. Kemudian ini disusul oleh Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017, di mana disitu disebutkan TNI Polri boleh menduduki jabatan sipil tertentu dan diberi jabatan struktural yang setara.

Menurut Mahfud, vonis MK ini yang sering disalahpahami. Vonis MK itu mengatakan dua hal.

"Satu, TNI dan Polri tidak boleh bekerja di institusi sipil. Tetapi disitu disebutkan, terkecuali di dalam 10 institusi kementerian yang selama ini sudah ada. Lalu kata MK, sepanjang anggota TNI dan Polri itu sudah diberi jabatan tinggi madya atau pratama, boleh, boleh menjadi penjabat kepala daerah. Itu sudah putusan MK Nomor 15 yang banyak dipersoalkan orang itu 2022, Nomor 15 Tahun 2022 itu coba dibaca putusannya dengan jernih," kata dia.

"Selain itu, kita sudah empat kali kok melakukan hal ini. 2017 kita menggunakan ini. 2018. Yang terbanyak itu tahun 2020, itu banyak sekali dan itu sudah berjalan seperti itu ketika ada Pilkada, Pilkada di era Covid," sambungnya.

 

4 dari 4 halaman

Dianggap Mencoreng

Politikus PKS Mardani Ali Sera mengatakan, jika disebut pemerintah digambarkan membangkitkan dwifungsi ABRI oleh sebagaian masyarakat dianggap wajar.

"Wajar ada kekhawatiran itu dan kasihan institusi TNI dan Polrinya karena bisa jadi bukan kemauan institusi," kata dia saat dikonfirmasi, Rabu (25/5/2022).

Terlebih, lanjutnya, pemerintah dalam menentukan Pj Kepala Daerah tak mengikuti apa yang menjadi putusan MK.

"Keputusan MK mesti dipatuhi. Ada klausul TNI/Polri aktif tidak masuk kategori, rawan digugat," ungkap Mardani.

Selain itu, syarat yang harus dibuat transparan serta akuntabel harus benar dijalankan dengan bekerja sama dengan daerah dan dibuat dalam aturan turunannya.

"Jadi ayo segera dibuat aturan turunan dari Pj Kepala Daerah," kata Mardani.

Sementara, Politikus PDIP yang juga anggota Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda meminta pemerintah untuk bisa memberi informasi objektif kepada publik terkait indikator penunjukan Pj Kepala Daerah, terlebih mengacu dengan putusan MK.

"Kendati itu bukan amar putusan MK melainkan hanya pertimbangan hukum, menurut hemat saya untuk menciptakan good governance, good democratical governance dan menciptakan demokrasi konstitusional kita yang kokoh akan lebih baik Presiden melalui Mendagri menyampaikan indikator itu karena secara objektif ada alasan mengapa mereka yang dipilih," kata dia.

"Misal, si jenderal ditaruh di tempat tertentu karena bisa jadi di situ sarang radikalisme maka yang cocok ditempatkan Kepala BIN daerah, penjelasan-penjelasan itu bisa disampaikan melalui Komisi II DPR RI," kata Rifqinizamy.