Sukses

Berkurban Saat Wabah PMK, Fatwa MUI Wajibkan Pemerintah Jamin Ketersediaan Hewan Sehat

Melalui fatwa MUI ini, pemerintah diwajibkan menjamin ketersediaan hewan kurban yang sehat dan memenuhi syarat untuk dijadikan kurban, dengan tetap melakukan langkah pencegahan agar wabah PMK dapat terkendali dan tidak meluas penularannya.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh, menyampaikan, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menetapkan fatwa bernomor 32 tahun 2022 tentang hukum dan panduan pelaksanaan ibadah kurban saat kondisi wabah penyakit mulut dan kuku (PMK).

Melalui fatwa MUI ini, pemerintah diwajibkan menjamin ketersediaan hewan kurban yang sehat dan memenuhi syarat untuk dijadikan kurban, dengan tetap melakukan langkah pencegahan agar wabah PMK dapat terkendali dan tidak meluas penularannya.

"Pemerintah wajib memberikan pendampingan dalam penyediaan, penjualan, dan pemeliharaan hewan kurban untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan hewan kurban dan juga wajib mendukung ketersediaan sarana prasarana untuk pelaksanaan penyembelihan hewan kurban melalui rumah potong hewan (RPH) sesuai dengan fatwa MUI tentang standar penyembelihan halal agar penyebaran virus PMK dapat dicegah semaksimal mungkin," kata Asrorun saat jumpa pers daring, Selasa (31/5/2022).

Asrorun meminta kepada Umat Islam yang akan berkurban dan para penjual hewan kurban untuk wajib memastikan hewan yang akan dijadikan hewan kurban memenuhi syarat yang sah untuk dikurbankan. Khususnya dari sisi kesehatan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah.

"Umat Islam yang melaksanakan kurban tidak harus menyembelih sendiri dan/atau menyaksikan langsung proses penyembelihannya," ujarnya.

Selain itu, kepada Umat Islam yang menjadi panitia kurban bersama dengan tenaga kesehatan perlu mengawasi kondisi kesehatan hewan dan proses pemotongan serta penanganan daging, jeroan, dan limbahnya.

"Panitia kurban dan lembaga sosial yang bergerak di bidang pelayanan ibadah kurban diwajibkan menerapkan prinsip kebersihan dan kesehatan (higiene sanitasi) untuk mencegah penyebaran virus PMK secara lebih luas," tegas Asrorun.

Asrorun melanjutkan, dalam hal terdapat pembatasan pergerakan ternak dari daerah wabah PMK ke daerah lain yang menyebabkan kurangnya stok, maka umat Islam yang hendak berkurban dapat berkurban di daerah sentra ternak, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan mewakilkan (tawkil) kepada orang lain.

"Mereka juga dapat berkurban melalui lembaga sosial keagamaan yang menyelenggarakan program pemotongan hewan kurban dari sentra ternak atau lembaga Sosial Keagamaan yang memfasilitasi pelaksanaan kurban dan pengelolaan dagingnya agar meningkatkan sosialisasi dan menyiapkan layanan kurban dengan menjembatani calon pekurban dengan penyedia hewan kurban," Asrorun menutup.

2 dari 2 halaman

Fatwa MUI: Hewan Terjangkit PMK Sah Jadi Kurban dengan Beberapa Syarat Khusus

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan fatwa terkait hewan terjangkit penyakit mulut dan kuku (PMK), khususnya untuk yang akan dijadikan kurban pada Idul Adha mendatang.

Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh, menyampaikan, Komisi Fatwa MUI sudah melakukan kajian dengan para ahli penyakit hewan dan diskusi dengan para ulama tentang beredarnya wabah penyakit mulut dan kuku (PMK), yang menyerang hewan ternak.

Hasilnya, MUI menetapkan fatwa bernomor 32 tahun 2022 tentang hukum dan panduan pelaksanaan ibadah kurban dalam kondisi wabah PMK, yang terdiri atas empat poin.

"Hewan kurban yang terjangkit PMK, pertama hukum berkurban yang terkena PMK dirinci ada 4. A, hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori ringan, seperti lepuh ringan pada celah kuku, kondisi lesu, tidak nafsu makan dan keluar air liur lebih dari biasanya, hukumnya sah dijadikan hewan qurban. Karena gejala klinisnya ringan dan tidak mempengaruhi kualitas daging," kata Asrorun saat jumpa pers daring, Selasa (31/5/2022).

Point berikutnya, lanjut Asrorun, hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori berat seperti lepuh pada kuku hingga terlepas kukunya dan menyebabkan pincang sehingga tidak bisa berjalan dan menyebabkan kondisi fisik sangat kurus, maka hukumnya tidak sah menjadi hewan kurban karena termasuk kategori cacat.

"C, hewan terjangkit PMK dengan gejala klinis berat tetapi sembuh dalam rentang waktu yang dibolehkan qurban artinya dia sakit sebelum Idul Adha dan dia sembuh pada rentang masa 10 Dzulhijah sampai 13 Dzulhijah maka hewan itu sah dan boleh dijadikan hewan qurban," jelas Asrorun.

Terakhir, hewan yang terjangkit PMK dengan gejala klinis berat kemudian sembuh dari penyakit setelah lewat rentang waktu atau setelah 13 Dzulhijjah, maka hewan tersebut masuk dalam kategori shodaqoh dan bukan sebagai hewan kurban.

"Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya," tuturnya.

"Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, mengimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini," tandas Asrorun.